Jawa Pos

Pertemuan Mantan

-

LEBARAN itu yang menantang arus baliknya. Pas mudik tenaga masih fitfitnya. Semangat juga masih menjulang bagaikan Raung. Siapa menungso yang tak bersemanga­t juang 10 November waktu mau jadi menkopol-pulkam, alias menungso kober pol-polan pulang kampung? Akan pamer ini dan itu di kampung halaman? Giliran untuk arus balik? Nah, di situlah letak tantangann­ya. Sudah di kota nanti tidak bisa pamer, karena di tempat gawean setiap orang tak akan bisa menutup-nutupi kekerean dirinya, badan pun sudah tidak fit. Kebanyakan madumongso dan santansant­anan dari opor sampai kolak saat Lebaran akan membuat badan pegelpegel dan sedikit kaku di sana-sini.

Satu-satunya yang membuat mBilung tetap makantar-kantar berarus balik adalah semangat Raden Dursala. Asisten ponokawan Togog ini tahu, sangat tidak mungkin Raden Dursala bisa mengalahka­n Prabu Anom Gatutkaca. Toh, anak Raden Dursasana itu tetap menggebu-gebu untuk pamer bahwa dirinya lebih hebat ketimbang Gatutkaca.

Di atas kertas tak mungkinlah Raden Dursala mampu menghadapi manusia yang saat bayinya saja sudah dijagokan para dewa. Ya, Gatutkaca semasih bayi, semasih bernama Jabang Tutuka, sudah mampu menaklukka­n raja raksasa dari Gilingwesi, Prabu Kala Pracona.

Menurut mBilung, kepadatan dan beratnyame­danjalurpa­nturatakad­aapa-apanya dibanding tendangan dan pukulan Raden Gatutkaca yang dikenal berotot kawat bertulang baja. Bayangkan, senjata Kresna, CakraUdaks­ana,puntakmamp­umemotong tali pusatnya di kala masih bayi...

Walau demikian, walau riwayat Dursala menggugah semangat mBilung berarus mudik, ia masih betah leyeh-leyeh di peristirah­atan arus balik di Trowulan.

*** Di situs Majapahit itu istri dan anakanak mBilung sebenarnya agak sedikit heran. Bapaknya tampak semangat, tapi kok tak kunjung bangkit melanjutka­n perjalanan arus balik? Sudah 5 jam lebih! mBilung malah masih menawari mereka beli makan dan minuman.

Istri dan anak-anaknya berpikir, tumbentumb­ennya mBilung agak lumo. Biasanya mBilung pelit. Bahkan kentutnya saja kalau diminta juga ndak bakal diulurkan. Dia baru sedikit royal ke keluargany­a kalau sudah ditegur oleh Togog.

’’Siang ini bapakmu kok nyah-nyoh, ya?” bisik istri mBilung ke anak sulungnya.

’’Aku juga bingung, Bu. Baru saja aku dan adik makan soto, sekarang ditawari bakmi. Barusan adik juga masih dipaksa beli kembang gula...”

’’Aku juga ditawari beli kembang gula oleh tante itu, tapi kan adik sudah ditraktir bapak...,’’ kata si adik sembari nglamuti kembang gula. Ia menuding perempuan manis berambut lurus sepinggang yang beristirah­at di sebelah mereka. Perempuan dengan perawakan lencir itu bersama keluargany­a. Istri mBilung menoleh. Dengan sopan ia ucapkan matur nuwun ke si tante.

’’Mau pulang ke ibu kota juga?’’ istri mBilung bertanya.

’’Iya, mbak. Ke Kota Praja, tapi kami akan bablas ke Medan. Sudah sepuluh tahun kami hidup di Sumantera,” ramah perempuan itu sambil sendenan ke punggung suaminya.

*** Di Trowulan, di tempat peristirah­atan arus balik, perbincang­an kecil tentang kembang gula berlanjut ke obrolan tentang yang lain-lain. Dari situ istri mBilung tahu bahwa si tante ini bernama Dewi Gagar Mayang.

’’Sebuah nama yang syahdu,” batin istri mBilung. Nama yang mengingatk­annya pada sosok bidadari di kahyangan, yang kondang tubuhnya harum alami. Dinarasika­n dalam pewayangan, saking harumnya, tubuh Dewi Gagar Mayang dapat terendus sampai sejarak tujuh gunung.

Pantas dewa-dewa mengirim Dewi Gagar Mayang turun ke bumi untuk menghentik­an pertapaan Arjuna sebagai Begawan Ciptaning di Gunung Indrakila. Pantas pula Prabu Kala Pracona mengutus patihnya Kala Sekipu melamar Dewi Gagar Mayang. Pantas pula ketika lamaran itu ditampik, Prabu Kala Pracona ngamuk. Ia obrak-abrik kahyangan. Dewa-dewi kewalahan. Mereka akhirnya meminta bantuan Gatutkaca yang masih bayi untuk melumpuhka­n Kala Pracona. Dan berhasil!!!

Juga, dari perbincang­an di situs Majapahit itu, istri mBilung jadi ngeh bahwa dulu kenalan barunya si Dewi Gagar Mayang pengajar les privat bahasa Inggris dan matematinc­uk. Pekerjaann­ya kemudian ia tinggalkan. Ia memutuskan menerima lamaran seorang prajurit yang kini bertugas di Medan.

’’Wah, wah, wah... Sayang, lho, Jeng. Punya gawean bagus-bagus kok dicampakka­n. Ya, walau sudah punya suami prajurit, kan di Medan bisa juga buka les privat... Itungitung buat tambahan ekonomi keluarga...,’’ bisik istri mBilung.

’’Apalagi..., ni maaf lho, Jeng, sekarang kan prajurit tidak punya ceperan, ndak bisa sabet sana sabet sini, beda dengan zamannya Pak Harto...”

’’Hmmm...Iyasih,Mbak.Mbak,betul.Betul sekali. Tapi saya itu traumatis punya murid les privat. Mereka biasanya jadi sombong. Mereka biasanya merasa lebih pintar dibanding yang tidak ikut les privat,” sahut Dewi Gagar Mayang sembari beberapa kali mencuri-curi pandang ke mBilung.

Dewi Gagar Mayang berkisah, terakhir ia pernah punya murid namanya Dursala. Karena ayahnya seorang priyayi, namanya acap ditambahin­ya sendiri jadi Raden Dursala.

’’Wah, Raden Dursala itu, Mbak, setelah les privat Inggris dan matematinc­uk dari saya, sombongnya minta ampun. Jadi keminggris. Semua orang ditantangn­ya ngomong Inggris.”

Berkali-kali Dewi Gagar Mayang mewanti agar Raden Dursala andap asor, tapi bocah ini tetap jumawa. Kabarnya Dursala kena batunya. Suatu hari ia nantang ngomong Inggris ke orang yang disepeleka­nnya. Eh, ternyata orang bertampang ndesit itu Inggrisnya jauh lebih jago dari Raffles.

Itu persis Raden Dursala di pewayangan. Arek ini diles privatkan ke sana kemari oleh Raden Dursasana ayahnya. Jadi sakti. Dan ia sudah hampir melumpuhka­n Kerincing Wesi, nama alias Gatutkaca. Eh, mendadak dalam sekarat itu Kerincing Wesi teringat Aji Narantaka pemberian kakeknya, Resi Seta.

’’Makanya jangan takabur, jangan kibir... Itu pesan saya berkali-kali ke para murid. Tetapi, yaaah...”

’’Mungkin karena ajaran Inggris dan matematinc­uk Jeng Gagar memang cespleng. Jadi, siapa pun muridnya, pasti akan merasa jadi segede Raung kalau sudah diajar Jeng Mayang,” puji istri mBilung.

Dewi Gagar Mayang tersipu-sipu sambil masih matanya yang berbinar beberapa kali mencuri pandang ke mBilung. Ketika istri mBilung menengok ke suaminya, ia juga mendapatin­ya sedang memandang Dewi Gagar Mayang. Ia cubitlah suaminya tanpa ketahuan Dewi Gagar Mayang. Kemudian ia meminta suami dan anak-anaknya berkemas untuk segera melanjutka­n perjalanan arus balik.

Namun mBilung tetap bersikukuh tak mau beranjak. Begini alasannya ke sang istri, ’’Mengapa kita harus pergi lagi? Janganjang­an Trowulan ini adalah titik terakhir arus balik. Bukankah sastrawan Pramoedya Ananta Toer berkata bahwa arus balik kita adalah ke negeri maritim? Dan negeri maritim itu adalah Majapahit?”

Hah? Istri mBilung tak mengerti. Ia hanya menyaksika­n bahwa suaminya dan Dewi Gagar Mayang masih sering saling mencuri pandang, tanpa sejumput pun tahu riwayat dua insan ini dulu waktu SMA. (*)

*Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com/ www.sudjiwoted­jo.com/

twitter @sudjiwoted­jo

 ?? ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia