LUNCURKAN ROKET MILITER BELANDA
Dwi Hartanto baru saja mengharumkan nama Indonesia. Kandidat doktor Space Technology & Intelligent System Technishe Universiteit Delft (TU Delft) Belanda itu berhasil merancang bangun (SLV) Juni lalu.
satellite launch vehicle
DWI menuturkan, rancangan SLV diinisiatori pemerintah Belanda. Dia menilai bahwa sudah saatnya Negara Kincir Angin mandiri di bidang SLV. ’’Praktis, SLV juga dapat mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa,’’ ujarnya.
Karena itu, pada 2012 TU Delft bersama Ministerie van Defensie (Departemen Pertahanan Belanda) dan Nationaal Lucht-en Ruimtevaart Laboratorium (Laboratorium Antariksa Nasional) memulai riset-riset mengenai SLV.
Dwi dan tim memulainya dengan melakukan riset di beberapa bidang utama. Antara lain, mere volusi teknologi
nya dengan teknologi desain material dan aerodinamik dari struktur pasif roket, serta auto-guidance radar dan sistem sensor roket.
Selain itu, dia melakukan riset sistem komputer dan kendali roket, desain sistem aerodinamik aktif roket, dan desain payload serta subsistem roket. ’’Hasilnya adalah rancangan roket jenis tiga tingkat yang menggunakan hybrid
Roket itu juga dilengkapi sistem aerodinamik aktif dan sistem komputer serta kendali roket modern,’’ jelas Dwi.
Banyaknya riset menjadi salah satu penyebab pembuatan SLV modern tersebut cukup lama. Dwi menyatakan, pembuatan SLV membutuhkan waktu 3 tahun 7 bulan. Pada 5 Juni, SLV yang diberi nama The Apogee Ranger V7s (TARAV7s) itu sukses diluncurkan dari fasilitas tes roket dan alat tempur Ministerie
Dwi menuturkan, waktu peluncuran TARAV7s tepat pukul 12.00 CET.
Menurut Dwi, TARAV7s merupakan proyek besar dan ambisius. Selain melibatkan kementerian besar di Belanda, TARAV7s termasuk roket berkelas. Ya, roket berdiameter 310 milimeter tersebut mampu memberikan trust 200kN. Artinya, TARAV7s mampu mengantarkan modul scientific orbital payload (micro dan nanosatellite) di orbit 347 kilometer. ’’Melebihi sekitar 23 persen dari titik jelajah jenis roket-roket lain di kelas yang sama,’’ ucapnya.
Selain itu, kata Dwi, kelebihan TARAV7s adalah inovasi di bidang aerodinamik. Sistem tersebut bertugas menstabilkan, mengendalikan, dan memaksimalkan trajectory (lintasan) serta apogee roket dengan menetralkan berbagai macam gangguan. ’’Misalnya, perubahan arah angin yang masif dan tiba-tiba atau perubahan serta keadaan layer-layer atmosfer,’’ ungkap Dwi.
Jerih payah Dwi merancang TARAV7s, tampaknya, tidak siasia. Sebab, roket tersebut telah memecahkan berbagai rekor. Di antaranya, supersonic liftoff dan pencapaian titik jelajah apogee 23 persen lebih tinggi untuk jenis kelas roket yang sama.
Posisi Dwi Hartanto dalam rancang bangun teknologi dirgantara itu patut dicatat sebagai prestasi yang luar biasa. Sebab, riset bidang teknologi tersebut tergolong sensitif karena menyangkut rahasia kenegaraan dan intellectual property (IP). Selain itu, semua anggota timnya adalah orang Belanda, kecuali Dwi.
Dia mengungkapkan beberapa kali ditawari koleganya dari Kementerian Pertahanan Belanda untuk berganti paspor. Tujuannya, memudahkan akses untuk keluar masuk military test facility. ’’Tapi, tidak saya terima. Saya yakin bahwa kenegaraan saya bukan hambatan selama keahlian dan kontribusi saya pada riset masih dibutuhkan,’’ ucapnya.
Benar saja, meski masih berwarna negara Indonesia, Dwi bisa berkarya di negara orang. Sebelumnya, Dwi terlibat dalam kesuksesan proyek mematangkan platform teknologi dan mengorbitkan active nano-satellite pertama di dunia. Teknologi itu lantas menjadi barometer dan acuan desain standar teknologi active nano-satellite pada universitasuniversitas di seluruh dunia.
Dwi juga menjadi salah satu ahli di balik suksesnya beragam misi-misi ilmiah pada peluncuran active nano-satellite Delfin3Xt, Delfi-SMART, dan DelFFisat yang dalam persiapan tahap akhir untuk diluncurkan pada akhir 2015. (rst/c15/ai)