Jawa Pos

Global Citizen dan Bangga Indonesia

-

SAYA bangga Indonesia! Saya cinta Indonesia! Mengapa?

Sedih juga rasanya. Di saat banyak negara (khususnya yang maju) sudah berpikir bagaimana menciptaka­n segala sesuatu yang global dan universal, masih ada beberapa negara yang sibuk dengan diri sendiri, pusing mendefinis­ikan diri sendirinya apa (seperti kita?)

Jangan salah paham, saya bangga jadi orang Indonesia. Kalau tidak, mungkin saya memilih untuk tidak pulang setelah lulus kuliah belasan tahun lalu.

Tidak hanya bangga, saya (dan saya tidak sendirian) selama ini rasanya juga berupaya untuk ikut membuat perubahan, men-trigger kemajuan, dalam beberapa bidang.

Kan percuma bilang ’’Saya bangga jadi orang Indonesia’’ tapi ternyata tidak ngapa-ngapain, dan malah merongrong Indonesia itu sendiri ke tempat yang lebih terpuruk.

Dan sudah terlalu banyak yang seperti itu. Setiap terpilih atau maju jadi sesuatu, dengan lantang bilang ’’Saya cinta (pilih organisasi atau cabang olahraga)!’’. Sayangnya, lantas ternyata juga tidak mampu berbuat apa-apa atau bahkan memperburu­k situasi.

Dan kadang, itu juga membuat saya berpikir. Apa yang membuat saya bangga jadi orang Indonesia?

Lha wong parodinya juga ada. Bahwa orang Indonesia itu dikenal jam karet, dan –ayo kita semua harus berani jujur– ada malasnya.

Lihat saja kalau cari tempat parkir, selalu cari yang paling dekat, walau harus berebut. Padahal, parkir agak jauh kadang hemat waktu, meski harus jalan sedikit lebih banyak.

Lihat saja kalau antre. Senang sekali dusel-duselan yang kalau dipikir mungkin bikin segalanya lebih lama.

Lihat saja kalau berlalu lintas, lalu ada dua kendaraan berebut satu jalur. Tidak ada yang mau mengalah, walau sebenarnya kalau saling bergantian­itusama-sama menghemat waktu.

Bangga akan kekayaan alamnya? Iya. Tapi, lihat dan pikirkan bagaimana kita kalah jago dalam mengelola kekayaan alam kita sendiri.

Bangga akan keindahan alamnya? Iya. Tapi, lama-lama kok kita rusak sendiri ya? Mungkin cuman di negara ini ada mahasiswa yang mengaku kelompok pencinta alam, lalu camping di tempat wisata indah, lalu buang bungkus mi instan sembaranga­n…

Nah, mencari alasan untuk bangga saja susah, apalagi untuk cinta. Jangan-jangan benar juga ungkapan orang lama itu: Bahwa cinta itu buta. Bagus jelek pokoknya cinta!

Sambil berusaha menemukan alasan konkret mengapa saya bangga jadi orang Indonesia, saya hanya bisa sedikit menelan ludah, agak menggigit jari, dan sambil mengelusel­us dada ketika bilang ’’Saya bangga jadi orang Indonesia…’’

Dan saya sekarang paling mengernyit atau justru makin mempertany­akan motivasi seseorang, ketika orang itu dengan lantang bilang dia cinta sesuatu. Apakah itu cinta Indonesia, cinta basket, atau cinta apa lah…

*** Ini ungkapan yang sangat sering saya gunakan di kolom Happy Wednesday: ’’Ketika kuliah dulu…’’

Ketika kuliah dulu, di salah satu kelas bisnis, kami diajari konsep ’’ global citizen’’. Waktu itu, dosen saya mendefinis­ikannya agak spesifik: Orang yang lahir di satu negara, belajar di negara lain, lalu mencari hidup di negara yang lain lagi.

Karena itu diucapkan pada zaman pra-dominasi internet, maka mungkin definisi tersebut masih bisa diterima.

Bahwa untuk menjadi global citizen, seseorang harus terekspos dengan dunia lain, dalam hal ini negara yang berbeda. Kemudian, harus terekspos lagi dengan dunia yang berbeda lagi, sebelum bisa menyatakan dirinya sebagai seseorang yang bisa hidup dan berbuat di mana-mana.

Pada zaman sekarang, tentu definisi itu agak out-of-date.

Untuk jadi global citizen sekarang mungkin hanya perlu smartphone. Buka YouTube, rajin baca Wikipedia, dan suka sama Mbah Google, maka seseorang sejak dini sudah bisa terekspos dengan dunia luar yang macam-macam.

Ketika ke luar negeri, tidak perlu lagi adaptasi pengetahua­n. Banyak yang sudah bisa dipelajari dan ditonton langsung via internet.

Membiasaka­n diri dengan makanan juga tidak perlu ke luar negeri, ada banyak restoran aneka hidangan internasio­nal yang bertebaran di mana-mana.

Hanya dengan modal smartphone, kalau ketemu orang dari negara mana saja, sangat mudah untuk cari ice breaker alias pengawal percakapan. Dan ice breaker bisa berlanjut jadi percakapan panjang, jadi pertemanan, persahabat­an, kerja sama bisnis, dan seterusnya dan seterusnya.

Meski demikian, mungkin syarat membaca dan menonton saja tidak cukup untuk jadi global citizen. Bukankah pelajar yang pintar menghafal dan mengerjaka­n tugas sekolah kan juga belum tentu jago dalam ke- hidupan nyata?

Merasakan sendiri, meresapi sendiri, menghadapi konflik-konflik pribadi sebagai efek dari proses adaptasi, mungkin tetap harus dibutuhkan sebelum seseorang bisa menjadi global citizen yang sesungguhn­ya.

Sebab, dia harus bisa memahami dan kemudian menerima kenyataan bahwa di sini dan di sana itu banyak perbedaan.

Dan ini jauh lebih mahal dari smartphone…

*** Bersyukurl­ah keluarga-keluarga yang mampu, bersyukurl­ah anakanak yang orang tuanya mampu. Mereka bisa sejak dini terekspos dengan dunia lain.

Ketika banyak orang sampai dewasa masih bingung karena harus makan nasi, banyak anak muda kita yang sudah tidak harus makan nasi sejak dini.

Ketika banyak orang sampai dewasa masih bingung casciscus pakai bahasa Inggris, sekarang banyak anak kecil yang sudah bisa conversati­on pakai bahasa Inggris, Mandarin, atau Arab.

Harapannya, mereka yang masuk kelompok beruntung itu kelak bisa menjadi pembawa perubahan. Dulu katanya generasi saya (Gen X) yang bakal membawa perubahan, ternyata belum. Generasi Y kayaknya juga belum bisa mengubah. Semoga generasi-generasi berikutnya ini benarbenar bisa membawa perubahan.

Bagaimana dengan mereka yang kurang beruntung?

Ya saya berharap, mereka yang beruntung juga ikut membuat program supaya ada orang kurang beruntung lain yang bisa merasakan pengalaman itu.

Karena itulah, dalam kegiatanke­giatan anak muda yang kami buat di Jawa Pos dan grup, kebanyakan memberikan hadiah belajar atau berlibur ke luar negeri. Baik itu basket pelajar, kompetisi jurnalisti­k, dan yang sekarang sedang kami tekuni: Pramuka.

Percuma diberi hadiah uang tunai kalau hasilnya bukan pelajaran. Lebih baik diberi kesempatan untuk ’’merasakan dan meresapi’’ sesuatu yang hanya bisa didapat dengan mengunjung­i negara maju.

Ya, belum tentu mereka kembali dengan sesuatu. Sama seperti anak yang kuliah di luar negeri, belum tentu bisa pulang berbuat sesuatu.

Tapi, kalau di antara 1.000 anak yang berangkat, satu saja mendapat ’’inspirasi tingkat dewa’’, maka dia akan bisa membawa perubahan dan kebaikan yang luar biasa.

Anggap saja kita bermain probabilit­as. Semakin banyak yang mencicipi jalan menuju global citizen, semakin banyak pula yang berpeluang menjadi seseorang.

Dan kelak, menjadi orang-orang yang membuat kita benar-benar cinta dan bangga jadi orang Indonesia, tanpa ada pertanyaan atau konflik batin yang mempertany­akan kenapa kita cinta dan bangga Indonesia.

Kelak, sumber daya kita bisa habis. Kelak, keindahan negeri kita bisa terkikis. Tapi, sumber daya manusianya masih bisa diperjuang­kan.

Percuma jadi negara yang pemakai smartphone- nya tergolong terbanyak di dunia, kalau ternyata pemakainya kalah smart sama phonenya atau negara pembuat phonenya… (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia