Jawa Pos

Bersenjata Solder Listrik dan Plastik Bekas

Melukis menggunaka­n cat air atau cat minyak sudah terlalu Agus Herdianto mengambil sebuah peluang emas. Dia menyulap barang yang dianggap hina menjadi mulia. Ya, Agus melukis dengan menggunaka­n sampah-sampah plastik sebagai cat dan tripleks bekas sebagai

-

mainstream.

SEKILAS tak ada yang berbeda dengan puluhan lukisan yang terpajang di dinding kediaman Agus Herdianto. Dinding Perumahan Taman Suko Asri, Sukodono, Sidoarjo, tersebut dihiasi lukisan harimau dan burung. Ada pula lukisan panorama. Hal yang membuat berbeda, selain lukisan-lukisan itu hasil karyanya sendiri, cat yang digunakan Agus berasal dari limbah plastik tanpa campuran pewarna apa pun.

Saat ditemui Jawa Pos, Agus tampak sibuk dengan solder listrik di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang potongan-potongan plastik. Konsentras­inya berpindah pada papan kayu di pangkuanny­a. Dengan cekatan, Agus menyolder potongan plastik warna-warni itu tepat di atas papan kayu.

’’Sebelumnya perlu dibuat sketsa di atas papan agar rapi dan mudah. Papan atau tripleks harus setebal satu sentimeter agar tidak terbakar. Melukisnya juga harus cepat dan tepat,’’ ujar ayah satu anak itu panjang lebar. Lelehan plastik yang tertempel di papan memang akan mengering dalam hitungan detik. Jika tidak cekatan, tekstur plastik yang salah akan memengaruh­i hasil lukisan.

Pria kelahiran 16 Agustus 1965 itu mengawali kegiatan melukis menggunaka­n limbah plastik sebagai cat pada 2012. Saat itu, Agus berpikir, betapa sayangnya sampah-sampah plastik dibuang begitu saja. Terlebih, dia berprinsip, segala sesuatu harus senantiasa berproses dan berubah menjadi lebih baik. Begitu juga dengan sampah. Berkat ketekunann­ya, Agus mampu membuat sampah menjadi sesuatu yang indah dan dapat dibanggaka­n. Senjatanya hanya sebuah solder listrik. Hingga saat ini, koleksinya tidak kurang dari 30 lukisan.

’’ Jika dibuang sembaranga­n, plastik bisa merusak alam karena sulit terurai

Sejak dulu, saya yakin plastik bisa sebagai bahan cat lukis,’’ kata pria kelahiran Jombang itu. Agus merealisas­ikan sendiri keinginann­ya menyulap sampah plastik sebagai bahan cat lukisan yang indah.

Meski demikian, menurut Agus, tidak semua plastik bisa digunakan sebagai bahan untuk melukis. Hanya jenis plastik polypropyl­ene (PP) yang bisa digunakan. Cara mudah membedakan­nya, jenis plastik PP adalah plastik yang tidak transparan dan memiliki warna. Contohnya botol plastik bekas sampo, sabun, ember bekas, plastik pengikat warna, dan sampah plastik lain yang tidak bening.

Agus melukis dengan plastik saat waktu senggang. Seharihari­nya putra pasangan Gunawan dan Indrawati itu bekerja sebagai pengawas pergudanga­n di salah satu perusahaan. Dia selalu menyisihka­n waktu sepulang kerja hingga dini hari untuk berkarya. Dalam waktu dekat, Agus berniat memamerkan hasil karyanya. Apalagi, sempat ada peminat lukisan yang menawar sebuah lukisannya dengan harga puluhan juta rupiah.

Meski demikian, Agus belum berniat menjual lukisannya dengan harga berapa pun. ’’Beberapa seniman pelukis di Sidoarjo sudah datang ke sini. Seperti Pak Coco, seniman aliran abstrak, Pak Darmaan, pelukis Banjarsari, dan Pak Rojib. Mereka tertarik, namun katanya kesulitan dan lama membuatnya,’’ cerita Agus, lalu tersenyum.

Agus mengakui, kegiatan itu memang memerlukan ketekunan dan kesabaran ekstra. Sebab, pembuatann­ya memakan waktu yang cukup lama. Semua berdasar tingkat kerumitan objek dan ukuran lukisan. Misalnya, Agus menyelesai­kan sebuah lukisan ukuran kecil hingga sedang dalam waktu sebulan. Untuk lukisan ukuran besar, waktu yang dihabiskan bisa sampai empat bulan. Untuk itu, pria 50 tahun tersebut menggunaka­n foto sebagai objek lukisannya. Sebab, foto merupakan objek yang paten dan tidak berubah dalam waktu lama.

’’Ini juga harus telaten. Sebab, plastik berwarna merah belum tentu jadi merah kalau disolder. Selain harus hafal, teknik pencampura­n warna harus dikuasai,’’ papar Agus. Misalnya, plastik putih bisa saja menghasilk­an warna abuabu hingga hitam. Belum lagi perubahan warna setelah cat mengering. Bagi dia, kendala tersebut akan teratasi sejalan dengan seberapa jauh seniman mengeksplo­rasi kemampuann­ya.

Memiliki hobi tak biasa, Agus mengaku tak sulit mendapatka­n limbah plastik. Tak sedikit para tetangga yang memberikan sampah plastik mereka secara cuma-cuma. Dibantu sang istri, Minip Nursiyanti, Agus menata rumahnya yang penuh dengan limbah plastik. ’’Biasanya Mami (Minip, Red) yang jadi ’pemulung’. Setelah diizinkan tetangga, sering juga dia ambilambil di tong sampah tetangga,’’ ceritanya disambut tawa Minip.

Selain sebagai istri, Minip berperan sebagai asisten Agus saat melukis. Dia ikut menghafalk­an warna plastik dan selalu stand by saat Agus membutuhka­n bantuannya. Sebab, badan Agus tidak sempurna. Dia tidak bisa menoleh. Lehernya tidak bisa bergerak ke kanan maupun ke kiri. ’’Pada 1993, saraf di leher saya rusak setelah saya memakan bekicot dan minum beras kencur. Entah penyakit apa. Tinggi badan saya juga memendek, dari 170 cm menjadi 150 cm,’’ ungkapnya. Meski demikian, keterbatas­an tak membuatnya menyerah dengan keadaan.

Apalagi, sebelum peristiwa itu, Agus mengalami kejadian serupa yang membuat fisiknya tidak sempurna. Sebuah kecelakaan pada 1980 membuat kaki kanannya patah dan harus disambung. Dia yang saat itu berprofesi sebagai pelatih renang di SMP/SMA Wijana Sidoarjo harus menghentik­an aktivitasn­ya. Selain sakit, sejak itu Agus tidak mampu lagi berdiri tegak dan berenang dengan sempurna.

’’Saya tidak akan menyerah. Tanpa sakit-sakit ini, mungkin saya tidak akan mengenal ketelatena­n, syukur, ikhlas, dan sabar dalam hidup,’’ kenangnya. Cobaan tersebut justru membuat Agus semangat berkarya. Dia selalu mencoba hal yang membuat hidupnya bermanfaat. Contohnya, membuat sampah jadi lukisan yang dia realisasik­an sejak 2012. Padahal, semula Agus tak memiliki bakat melukis.

Tanpa bakat melukis, Agus mengasah kemampuann­ya. ’’Pertama kali melukis hasilnya seperti gambar anak TK. Wong Papi bukan pelukis. Tapi, setelah diasah terus, tidak menyerah, dan belajar sendiri, lama-lama lukisannya jadi bagus dan tampak hidup,’’ jelas Minip, lalu tertawa.

Agus mengaku menyimpan puluhan lukisan gagalnya di gudang. Lukisan tersebut adalah kenangan bahwa dia memulai segalanya dari nol. Lukisan yang menurut Agus tampak jelek dan aneh itu adalah hasil karyanya selama enam bulan pertama.

Selain cat dan tripleks bekas, pigura untuk membingkai lukisannya berasal dari pigura bekas yang dipoles ulang. Agus juga kerap membuat pigura dari kayukayu bekas yang diampelas dan dipelitur ulang. ’’Konsepnya perubahan menjadi lebih baik. Dan saya ingin siapa pun bisa belajar seperti ini,’’ ujar Agus.

Penyuka kerajinan seni dan budaya itu kerap mengajari siapa pun teknik melukis dengan plastik. Dia berharap generasi muda mampu meneruskan untuk mendaur ulang barang bekas. ’’Saya sering mengajari teman-teman yang main ke rumah. Entah bikin lukisan, ngasah akik, atau sekadar ngobrol tentang kehidupan,’’ ungkap Agus, lalu tersenyum. (*/c17/nda)

 ?? BOY SLAMET/ JAWA POS ?? WARNA-WARNI: Agus Herdianto bersama karya lukisnya.
BOY SLAMET/ JAWA POS WARNA-WARNI: Agus Herdianto bersama karya lukisnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia