Jawa Pos

Eddy Sultan Berkorban untuk Ludruk, Saelan Pilih Jadi Dalang

Orang-Orang yang Mengabdi untuk Pelestaria­n Kebudayaan Jawa di Suriname (2)

- ARIEF SANTOSA, Suriname

Sama-sama bernama Eddy dan sama-sama berjuang menghidupk­an kesenian Jawa di Suriname. Yang satu, Eddy Sultan, dikenal sebagai dedengkot ludruk. Satunya lagi, Eddy Saelan, menjadi dalang wayang kulit. Inilah cerita mereka.

SUASANA pasar malam menyambut peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname di Desa Purwodadi, Lelydorp, Distrik Wanica, begitu ramai malam itu (5/8)

Warga tumplek bleg memadati pusat keramaian di pojok perempatan Jalan Soekoredjo dan Jalan Poerwodadi tersebut. Tidak hanya dari desa setempat, banyak pula pengunjung yang datang dari desa-desa tetangga atau bahkan dari distrik lain.

Mereka berduyun-duyun pergi ke pasar malam tidak semata-mata ingin berbelanja atau cuci mata, tetapi juga karena ada pertunjuka­n ludruk Suriname. Bagi masyarakat keturunan Jawa di negara Amerika Selatan tersebut, kesenian ludruk masih mampu menyedot perhatian. Karena itu, di mana pun ada ludruk, penonton pasti meluber.

’’ Soale marakke ngguyu. Awak dewe mesti kepingkel-pingkel nek nonton ludruk (Sebab, bisa membuat tertawa. Kami selalu terpingkal­pingkal kalau nonton ludruk),’’ ujar Amat Frenky Dikromo, warga Purwodadi.

Dan malam itu, Amat dan ratusan warga lainnya benar-benar terpuaskan ketika menyaksika­n penampilan kelompok ludruk Lair Bangun Utomo pimpinan Eddy Sultan. Selama sekitar dua jam, perut penonton dikocok oleh banyolan-banyolan tokoh Kendo-Kenceng yang jadi roll dalam lakon Ketemu Adine Dewe itu. Ludruk dari Desa Tamansari, Distrik Commewijne, tersebut memang ngetop karena kompak dan ’’profesiona­l’’. Kelompok itu adalah satu di antara segelintir grup ludruk yang masih eksis di Suriname.

’’ Tanjung Perak kapale kobong, monggo pinarak kamare kosong…,’’ ujar Kenceng disambut tawa riuh penonton. ’’ Kuwi lak ludruke wong teko Suroboyo, ludruk Suriname duwe jula-huli dewe… (Itu kan ludruk Surabaya, ludruk Suriname punya jula-juli sendiri…),’’ timpal Kendo.

Ya, sejatinya tidak banyak perbedaan yang signifikan antara ludruk Suriname dan ludruk dari Indonesia. Misalnya, pertunjuka­n diawali dengan tari ngremo, lalu disusul narasi sinopsis cerita, baru kemudian lakon dimainkan. Seperti halnya di Surabaya, ludruk Suriname mempunyai tokoh perempuan yang diperankan laki-laki dengan dandanan menor. Biasanya dia jadi tokoh yang diperebutk­an.

Di sepanjang permainan, tokoh KendoKence­ng, meski bukan pemeran utama, tetap paling bisa menghidupk­an suasana dengan guyonan-guyonan yang kadang nyerempet saru. ’’ Ndo, jaran apa sing manuke nang geger (Ndo, kuda apa yang burungnya di punggung),’’ kata Kenceng memberikan tebakan kepada Kendo. Kendo menjawab sekenanya. Tawa penonton pun makin riuh.

Selama pertunjuka­n, saya benar-benar dibuat terpana. Sebab, penampilan Eddy cs memang seperti ludruk yang biasa manggung di gedung THR atau Wonokromo Surabaya (dulu, ketika masih eksis). Nyaris sama. Iringan musiknya (meski dengan alat sederhana dan buatan sendiri) dan tembang-tembang yang dilantunka­n, semua berirama ludruk. Bahkan, bahasa yang dipakai, Suroboyoan, masih kental.

’’ Yo, aku mung sak dermo pingin nguri-uri supoyo ludruk ora ilang teko Suriname. Aku sak konco ngusahakke supoyo ludruk iki iso koyo ludruk Suroboyo. Opo yo pada koyo ngono? (Ya, saya hanya ingin melestarik­an ludruk agar tidak hilang dari Suriname. Saya dan kawankawan berusaha agar ludruk ini bisa seperti ludruk Surabaya. Apa ya sudah sama?),’’ ujar Eddy Sultan, nama panggung Eddy Kartodikro­mo.

Eddy kini menjadi seorang di antara sedikit tokoh ludruk di Suriname. Ketika satu per satu penggelut ludruk meninggal atau berhenti manggung, Eddy tetap bertahan. Padahal, kesenian tradisiona­l warisan nenek moyang orang Jawa yang diturunkan lebih dari seabad silam itu tidak bisa lagi dijadikan sarana untuk mencari penghidupa­n. ’’Pertunjuka­n kami masih ditonton itu saja sudah senang. Kami sadar, tidak mungkin bisa mencari uang dari ludruk,’’ kata pria yang masih membujang, meski umurnya sudah menginjak 50 tahun itu.

Bagi Eddy, ludruk adalah hobi dan cara untuk bisa melestarik­an salah satu seni tradisi orang Jawa tersebut. Karena itu, dia tidak pernah berharap mendapatka­n job manggung dengan honor yang besar.

’’ Sing penting ojo sampe ngrepotke sing nanggap. Pokoke iso dinggo tuku lenga mobil lan tuku rokok wae wis cukup. Wong iki hobi (Yang penting jangan sampai merepotkan yang mengundang. Pokoknya bisa untuk beli bensin dan beli rokok saja sudah cukup. Ini kan hobi),’’ papar Eddy yang sehari-hari bekerja sebagai sopir pribadi.

Ludruk Lair Bangun Utomo sudah 15 tahun berdiri. Hingga kini masih laris ditanggap di berbagai hajatan. Misalnya, pesta perkawinan, sunatan, ulang tahun, atau pasar malam. Mereka tidak pernah menolak job manggung, asalkan waktunya tidak bertabraka­n dengan jadwal manggung yang sudah ada. Minimal dua kali pentas dalam sebulan. Tetapi, kadang bisa tiga kali dalam seminggu.

Dengan mengendara­i tiga mobil butut, sepuluh anggota ludruk Lair Bangun Utomo akan menyeberan­gi Sungai Suriname menuju keramaian-keramaian yang mengundang mereka. Paimin Sowiraun Semijoyo, Ribut Kartodikro­mo, Marcell Amat Irsyad, Henfri Kerto- sari, Samidi Ronorejo, dan pemain musik yang sudah thuyuk-thuyuk dengan senang hati akan memuaskan rasa haus hiburan warga.

’’Kepuasan kami kalau yang nonton banyak. Tak peduli dibayar berapa,’’ tandas Eddy yang sejak umur 10 tahun ikut kelompok ludruk di desanya.

Eddy Saelan yang berkiprah sebagai dalang punya cerita lain. Pria 62 tahun itu belum lama memutuskan pilihan menjadi seniman wayang kulit. Baru setahun ini. Meski masih seumur jagung, keputusann­ya tersebut layak diapresias­i, mengingat profesi dalang di Suriname makin sepi peminat. Saat ini, tinggal hitungan jari dalang yang masih sering menggelar pakeliran di negara kelahiran legenda bola AC Milan Clarence Seedorf itu.

Maka, Academy Jawa yang diprakarsa­i tokoh Partai Pertjajah Luhur Paul Salam Somohardjo pun kemudian mengadakan pendidikan dalang. Paul lantas mendatangk­an dalang dari Solo, Ki Djoko Sarwono. Selama setengah tahun, Ki Djoko melatih sejumlah warga Suriname. Hasilnya, tiga dalang baru lahir di negara itu. Mereka adalah Eddy Saelan, Jhoni Sonto Tenoyo, dan Legimin Madiwiryo.

Beberapa kali tiga dalang tersebut tampil dalam satu pakeliran. Misalnya, saat ditanggap panitia pasar malam Purwodadi (8/8). Mereka tampil membawakan lakon Panca Daya untuk menyambut peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa di Suriname. Meski masih terlihat kaku, penampilan mereka memberikan harapan masa depan kesenian wayang kulit dan seni pedalangan di negara itu.

’’ Aku ngono pingin dadi dalang soale wis jarang sing gelem ngugemi seni tradisi iki (Saya ingin jadi dalang karena sudah jarang orang yang mau menggeluti seni tradisi ini),’’ ujar Eddy Saelan di rumahnya yang sederhana di Desa Sidadadi 96, Lelydorp.

Memang, Eddy kini punya banyak waktu untuk ikut melestarik­an budaya Jawa. Sebab, dia sudah pensiun dari statusnya sebagai pegawai negeri di Kementeria­n Pertanian Suriname. ’’ Wayahe aku melu nguri-uri budayane para leluhur (Waktunya saya ikut melestarik­an budaya para leluhur),’’ tutur suami Edna Soetini Saelan, 63, tersebut.

Eddy berharap, meski sudah tidak muda, dirinya bisa mengajak anak-anak muda keturunan Jawa di Suriname untuk ikut berkiprah dalam seni pewayangan. ’’ Alhamdulil­lah, aku iso nggeret papat nom-noman melu wayang iki (Alhamdulil­lah, saya bisa menarik empat anak muda ikut wayang ini),’’ tandas mantan pemain ludruk, ande-ande lumut, dan dagelan itu. (*/c5/bersambung)

 ?? ARIEF SANTOSA/JAWA POS ?? PROFESIONA­L: Eddy Sultan diapit Henfri Kertosari (kiri) dan Mercell Amat Irsyad di belakang panggung saat tampil di pasar malam Purwodadi. Foto kanan, dalang Ki Eddy Saelan sedang beraksi.
ARIEF SANTOSA/JAWA POS PROFESIONA­L: Eddy Sultan diapit Henfri Kertosari (kiri) dan Mercell Amat Irsyad di belakang panggung saat tampil di pasar malam Purwodadi. Foto kanan, dalang Ki Eddy Saelan sedang beraksi.
 ?? ARIEF SANTOSA/JAWA POS ??
ARIEF SANTOSA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia