Jawa Pos

Dasar Hukum Proyek DPR Tidak Tepat

Mengacu pada UU Cagar Budaya

-

JAKARTA – Tujuh megaproyek yang dicanangka­n DPR terus menuai penolakan. Selain karena nilainya jumbo, mencapai Rp 1,5 triliun, proyek tersebut tidak mempunyai landasan hukum yang pasti.

Beberapa elemen masyarakat kemarin (21/8) berkumpul di kantor Sekretaria­t Nasional Forum Indonesia untuk Transparan­si Anggaran (Seknas Fitra). Mereka mengkritis­i rencana DPR tersebut. Koordinato­r Investigas­i dan Advokasi Fitra Apung Widadi menilai proyek yang digagas DPR itu berpotensi merugikan negara.

Menurut Apung, DPR kini lebih ’’lihai’’. Untuk mendapatka­n dukungan dari pemerintah dan publik, mereka membuat sayembara pembuatan desain gedung. Hadiahnya besar. Juara pertama mendapatka­n Rp 300 juta, peringkat kedua diganjar Rp 120 juta, dan posisi ketiga mendapatka­n Rp 80 juta. Sayembara itu mengganden­g Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).

Selain itu, DPR memasang iklan di media-media cetak nasional yang menyatakan bahwa pembanguna­n kompleks parlemen tersebut untuk meneruskan gagasan Presiden Soekarno. Kejanggala­n lainnya adalah dasar hukum pembanguna­n gedung. Pada periode sebelumnya, dasar hukum pem- bangunanny­a adalah Peraturan PU Nomor 45 Tahun 2007. Aturan itu mengatur prosedur pembanguna­n gedung negara.

Nah, DPR tidak menggunaka­n regulasi tersebut sebagai landasan. Acuannya adalah UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. ”Alasannya, bangunan ini berusia lebih dari 50 tahun,” tutur Apung.

Aktivis Save Our Soccer (SOS) itu mengatakan, hal tersebut jelas menyalahi aturan. Sebab, gedung DPR merupakan gedung milik negara. Jadi, proyek itu harus sesuai dengan Peraturan PU Nomor 45 Tahun 2007. Anggota dewan mungkin sengaja menggunaka­n UU Cagar Budaya untuk mendongkra­k nilai proyek.

Kritik juga disuarakan peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Menurut dia, DPR tidak layak mendapatka­n gedung baru lantaran kinerjanya masih jauh dari memuaskan. Salah satunya terkait dengan pembahasan program legislasi nasional (prolegnas). Di antara 39 prolegnas prioritas 2015, hanya ada dua rancangan undang-undang (RUU) yang diselesaik­an. ”Bayangkan berapa uang yang keluar untuk membahas prolegnas itu,” katanya.

Di sisi lain, dalam banyak kesempatan, Fahri Hamzah mengatakan bahwa proyek itu sudah dikonsulta­sikan dengan pemerintah. ” Gak ada masalah. Semaunya mendukung,” kata politikus PKS itu. (aph/c6/ca)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia