Jawa Pos

Dulu Rp 100 Per Kilo, Kini Bisa Jutaan

Di mana-mana orang bicara batu mulia, khususnya akik. Apa keuntungan ekonomi di balik booming akik?

-

INDONESIA sebenarnya belum optimal menggarap potensi ekonomi dari batu mulia. Pemerintah saat ini hanya mengandalk­an ajang pameran untuk mewadahi booming akik.

”Ini momentum yang tidak dimanfaatk­an. Seharusnya dibuat sentra batu mulia di daerah. Kan sudah banyak UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) yang bergerak. Pemerintah bisa kasih mesin, misalnya untuk produksi,” jelas Ketua Asosiasi Masyarakat Batu Mulia Indonesia (AMBMI) Sujatmiko alias Mang Okim saat berdiskusi dengan jajaran redaksi Jawa Pos Rabu lalu (19/8).

Sejumlah daerah memang sangat potensial menjadi sentra batu mulia. Misalnya Pacitan, Jember, Lumajang, Garut, Tasikmalay­a, Sukabumi, Manado, Aceh, Maluku Utara, Papua, Palembang, dan Solok.

Belasan tahun silam banyak eksporter yang diam-diam mendatangi kotakota tersebut sekaligus mengangkut ratusan ton batu mulia dalam bentuk mentah ke luar negeri. Di negara pengolah, batu mulia itu dimasak, lalu dijual dalam bentuk perhiasan.

Pada 1990-an, misalnya, ada eksporter di Tangerang, Banten, yang mengekspor batu mulia mentah sekitar 50 truk ke Tiongkok. Batu mulia mentah tersebut berasal dari sejumlah kota di Jawa Barat. Eksporter itu konon membeli batu mulia tersebut Rp 100 per kilogram dari pengepul.

Pada 2008, seperti yang dikatakan Mang Okim, ada pengusaha Bohor yang memesan 300 ton batu merah yang bertebaran di Sungai Cimedang, Pancatenga­h, Tasikmalay­a. Batu merah itu sangat kaya kandungan batu mulia jasper pancawarna. Saat itu sebaran batu berkurang drastis. Maklum, sejak 2000 sekitar 6.000 ton batu merah ditambang secara liar untuk diekspor melalui Sukabumi, Bogor, dan Jakarta.

Saat booming akik, para perajin terbilang hanya mengolah sisa gunungan batu mulia yang sebagian besar sudah diekspor. Banyak perajin batu mulia di daerah yang mengolah sekaligus menjual jenis-jenis batu tertentu. Misalnya bulu macan di JemberLuma­jang, teratai di Surabaya, sisik naga di Sulawesi, pancawarna di Garut, dan sungai daerah di Solok, Sumatera Barat. Nama-nama batu tersebut sebenarnya bikinan mereka sendiri.

Selain itu, Mang Okim mengeluhka­n pemerintah yang belum memberikan dukungan maksimal kepada industri. Dia menyebutka­n, mesin-mesin yang dibeli pemerintah untuk membantu produksi kerajinan batu mulia lebih banyak digunakan untuk pelatihan industri. Padahal, jika mesin tersebut dipakai untuk produksi masal, hasilnya akan lebih baik. (rin/c9/agm)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia