DemiMerah Putih di Merbabu
Mendaki Gunung Rayakan 17 Agustus Setiap 17 Agustus, rasanya, gunung lebih ramai daripada mal. Berbondong-bondong orang datang, berniat mengibarkan bendera Merah Putih. Saya dan temanteman dari komunitas backpacker Joglosemar tak ketinggalan. Sore itu, 16
INI pendakian tertinggi saya sejauh ini. Sebelumnya, saya hanya mendaki gunung-gunung yang bahkan tingginya tak sampai 2.500 mdpl. Maklumilah, saya masih tergolong newbie.
Dan…, pendakian itu pun dimulai! Dengan menggendong carrier 60 liter berisi logistik dan perlengkapan, kaki ini mulai menapaki jalur via
base camp Selo, Boyolali. Jalur dari base camp ke Pos 1 masih berupa hutan dan semak-semak dengan medan cenderung datar. Hanya ada beberapa tanjakan yang tak begitu curam. Namun, karena jalur pendakian sangat ramai, setiap pendaki harus antre dan kadang berjalan pelan-pelan karena di depan sudah banyak orang. Sesekali saya dan teman-teman break untuk makan, minum, dan mengatur napas. Setelah mendaki selama kurang lebih tiga jam, saya sampai di Pos 1. Semakin ke atas, udara malam semakin terasa dingin.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Pos 2. Di sinilah tanjakan curam yang membuat deg-degan harus saya lalui. Tanjakan yang tak hanya berbatu, tapi juga penuh debu, licin, dan dengan kemiringan 60–70 derajat.
Begitu padatnya jalur pendakian, saya harus mengantre untuk melewati tanjakan curam itu. Hingga akhirnya tiba giliran saya. Dengan masih menggendong carrier 60 liter, sehatihati mungkin saya melewati tanjakan tersebut. Ternyata tanjakan seperti itu tak hanya sekali saya jumpai, tetapi berkali-kali.
Udara dingin, debu yang licin dan membuat batuk, penerangan remangremang dari senter dan headlamp, serta medan yang menuntut keberanian seolah menjadi setting dramatis dalam momen pendakian kali ini. Di sinilah saya temukan orang-orang yang tak segan mengulurkan tangan dan memberikan bantuan kepada orang yang tak dikenal, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan, bahkan tak tahu wajah orang yang diuluri tangan karena mayoritas mengenakan masker.
Setelah pendakian selama enam jam yang diwarnai adegan nyaris jatuh dan terpeleset, saya sampai di Puncak Batu Tulis atau Pos 3. Hamparan tenda berwarna-warni diterpa angin yang mengembuskan dingin hingga sumsum tulang menyambut. Debu-debu beterbangan, menyusup ke sela masker dan kacamata yang saya kenakan.
Angin bertiup semakin kencang ketika saya dan teman-teman mulai mendirikan tenda. Badai!!! Tuhan, jika Engkau belum berkenan menghentikan angin ini, kuatkanlah kami, doa saya dalam hati. Begitu tenda selesai didirikan, saya langsung masuk tenda dan membungkus diri dengan sleeping bag. Sementara itu, di luar, angin semakin menggila.
Keesokan harinya, matahari bersinar begitu cerah menyambut hari kemerdekaan. Saya berlari menuju bukit sambil membawa Sang Merah Putih yang terlipat rapi. Bersama munculnya matahari di ufuk timur, saya membentangkan Sang Merah Putih. Dirgahayu Indonesiaku! Dengan berlatar Gunung Merapi dengan Puncak Garuda, Merah Putih yang saya kibarkan tampak begitu tegar diterpa angin pagi. Teruslah berkibar Merah Putih-ku. Siapa pun pemimpin negeri ini, Merah Putih tetap di hati.