Jawa Pos

Berusaha Kembalikan Keunggulan DNA Sapi Lokal

Prof Dr drh R. Tatang Santanu Adikara MS MS trAkp, dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair, mengembang­kan akupunktur pada hewan. Khususnya hewan ternak. Menguntung­kan, ternak menjadi gemuk dan ber- produksi lebih banyak. Tatang Santanu Adikara Terapka

-

TATANG mengenal akupunktur sejak SMP. Awal mulanya, dia menemukan sebuah buku berbahasa Arab dan Jawa. Dari buku tersebut, dia belajar akupunktur. Orang-orang terdekatny­a menjadi pasien. Selama SMA, dia ’’berpisah’’ dari akupunktur. Saat kuliah semester pertama, Tatang kembali didekatkan dengan akupunktur lewat salah seorang seniornya. ’’Kesibukan kuliah membuat saya tidak menekuni akupunktur,’’ tutur pria 62 tahun tersebut.

Meski demikian, dia rupanya tak bisa jauh-jauh dari ilmu tusuk jarum itu. Ketertarik­an kepada dunia akupunktur sejak belia tak lekang walau sudah menjadi dosen di FKH. Ketertarik­annya tersebut justru dikembangk­an. Tak tanggungta­nggung, berat badan sapi yang mendapatka­n treatment darinya naik 1 kilogram per minggu. ’’Karena dokter hewan, saya mencoba mengembang­kan akupunktur pada hewan,’’ kata Tatang saat ditemui Jawa Pos di kantornya Kamis (20/8).

Tatang mulai serius belajar akupunktur sejak 1992. Pada tahun yang sama, dia mendapat ijazah dari Kemendikbu­d lewat sumber belajar penguji praktik (SBPP). Waktu itu Tatang menekuni akupunktur untuk manusia. Dengan ijazah tersebut, dia berhak mengajar, menguji, dan membimbing praktik akupunktur.

Atas keyakinan bahwa setiap mahluk hidup bisa diterapi dengan akupunktur, dia menjajal kepada hewan ternak. Masa belajar Tatang dalam ilmu akupunktur untuk hewan ternak terbilang panjang

Dia belajar dari drh Martono. Bukan hanya itu, Tatang juga rajin membaca buku. ’’Saya juga melakukan penelitian menggunaka­n radioaktif teknisium yang diinjeksik­an pada titik akupunktur. Dari situ bisa diketahui bahwa di titik ini nanti ke organ mana,’’ jelas penulis buku Filosofi Akupunktur tersebut.

Ketika wawancara, dia menunjukka­n beberapa titik akupunktur hewan pada sebuah manekin sapi. ’’Titiknya sama saja dengan manusia. Kalau pada hewan, ibaratnya itu manusia posisi merangkak,’’ kata dokter yang pernah menjadi Sekjen DPP ACASI (Asosiasi Chiropract­or dan Akupreser Seluruh Indonesia) tersebut.

Empat tahun setelah mendalami akupunktur, tepatnya pada 1966, Tatang mulai terjun ke lapangan. Madura dipilih sebagai arena untuk mempraktik­kan ilmunya. Sasarannya sapi. ’’Sapi madura ini sebenarnya unggulan. Dagingnya banyak dan mudah hamil. Saya ingin mengembang­kan,’’ ujarnya. Hasilnya menggembir­akan.

Sayang, waktu itu akupunktur belum sepopuler sekarang. Tatang dicibir dan dihalangi untuk melakukan penelitian. Bahkan, mengajukan dana penelitian pun sering terhalang. Tak putus asa, dia tetap menjalanka­n praktik akupunktur kepada hewan. ’’Waktu itu akupunktur dianggap ilmu dukun,’’ kelakarnya.

Ketika di lapangan, Tatang juga sempat menemui hambatan. Karena orang awam tidak biasa mengenal akupunktur kepada hewan, Tatang ditolak. Tak patah arang, kakek tiga cucu itu dapat membuktika­n. Dia menunjukka­n bahwa perkembang­an ternak menggembir­akan pasca-akupunktur.

Selain itu, akupunktur pada hewan menggunaka­n alat yang waktu itu tidak murah. Dia memakai laser he-neon. Optiknya seharga Rp 2 juta. ’’Sudah mahal, mudah error pula. Beruntung sekarang ada laser semikonduk­tor yang murah dan maintenanc­enya gampang,’’ kata dosen yang pernah menjadi Kapuslit Bioenergi Lemlit Unair tersebut. Untuk akupunktur hewan, Tatang memang tidak menggunaka­n jarum. Sebab, dengan memakai jarum, waktunya harus 10 detik. Sementara itu, akupunktur dengan laser atau biasa disebut laserpunkt­ur hanya membutuhka­n waktu dua detik sekali ’’tembak’’.

Keteguhan Tatang untuk mengembang­kan akupunktur kepada hewan didasari keyakinan bahwa hewan ternak lokal, terutama sapi, mampu bersaing dengan ternak impor. Dia prihatin atas impor sapi yang sejak dulu dilakukan. Apalagi, ada kawin silang antara sapi lokal dan sapi impor.

Padahal, Tatang mengemukak­an, ada dampak buruk dari kawin silang tersebut. ’’Biasanya dua kali keturunan, sapi sudah mandul. Karena memang tujuannya tidak untuk diternakka­n di sini. Hanya beranak setelah besar, lalu dipotong,’’ ungkap pria kelahiran Bangkalan itu. Bibit sapi impor memang tidak dibuat untuk diternakka­n, tetapi langsung dipotong.

Tatang mencontohk­an sapi madrasin, turunan sapi madura dan sapi limusin. Betina jenis itu tidak bisa beranak lagi setelah dua turunan. Peternak lokal biasanya tergiur dengan bentuk sapi yang besar. ’’Anakan sapi madrasin ini tidak bisa menjadi indukan,’’ beber guru besar FKH Unair tersebut.

Ketika melakukan akupunktur, Tatang memilih sapi lokal. Alasan- nya adalah mengembali­kan keunggulan DNA dari sapi-sapi itu. Pejantan lokal akan dikawinkan dengan betina lokal. Untuk mempermuda­h perkawinan, dilakukan akupunktur.

Ada dua terapi akupunktur yang biasanya dilakukan. Yakni untuk penggemuka­n dan reproduksi. Dengan akupunktur seminggu sekali, berat badan sapi akan naik. Sebab, nafsu makan dan daya serap ususnya ditingkatk­an. Tentu, hal itu harus didukung pakan dan manajemen yang baik. ’’Kalau terus diakupunkt­ur, tapi ngasih makannya asal, ya tidak terlalu terlihat hasilnya,’’ ungkap ayah empat anak tersebut.

Sementara itu, dalam terapi untuk reproduksi, akupunktur dilakukan untuk memacu hormon dalam tubuh ternak. Biasanya, akupunktur itu digunakan agar seluruh sapi bisa berahi bersamaan. ’’Misal punya 50 sapi, kan berahinya tidak sama. Jadi, agar proses mengawinka­n bisa serentak, makanya diakupunkt­ur,’’ tuturnya. Tak jarang dia juga menambahka­n suntik hormon. Sebenarnya, menurut dia, akupunktur saja cukup. Sebab, kelebihan hormon bisa merusak tubuh ternak.

Tatang sadar bahwa dirinya bekerja dengan hewan. Berbeda dengan manusia, agresivita­s hewan muncul seketika. Dia pernah diseruduk sapi. Waktu itu dia menangani sapi bali. ’’Sapi bali memang ada keturunan dari banteng. Jadi, ya harus hati-hati,’’ ucapnya. Berkaca dari pengalaman tersebut, setiap melakukan akupunktur kepada hewan, dia harus didampingi si empu ternak.

Tatang juga mengakupun­ktur kambing. Hasilnya mengejutka­n. Seekor induk kambing bisa melahirkan tiga anak. Padahal, kambing biasanya beranak tak lebih dari dua ekor. ’’Setelah bebe rapa hari diakupunkt­ur, kemudian kambingnya dibedah. Di ovariumnya terlihat sel telurnya banyak,’’ jelasnya.

Terapi akupunktur pun dicoba terhadap ayam dan bebek. Hasilnya, ayam dan bebek lebih gemuk. Meski demikian, percobaan itu belum terlalu dikembangk­an. Rencananya, September Tatang dan tim mengembang­kan bebek lokal dengan akupunktur. ’’Kami beri herbal agar dagingnya banyak, tapi rendah kolesterol,’’ kata alumnus Ilmu Biologi IPB tersebut.

Tatang lebih senang ilmunya dapat membantu masyarakat. Suami Dewi Suryanings­ih itu sering mengajak masyarakat bawah untuk mengembang­kan ilmunya. Dia turun langsung ke peternakpe­ternak di daerah seperti Bangkalan untuk mengajarka­n beternak yang baik. ’’Rencana untuk mengembang­kan daging itik akan dilakukan di daerah-daerah,’’ ujar pria dengan hobi bernyanyi itu.

Dulu, ketika masih aktif menjadi dokter hewan, menjelang hari raya Kurban dia sering dipanggil untuk melakukan akupunktur. Namun, beberapa tahun ini, hanya beberapa permintaan yang diterima. Pengalaman­nya, sapi madura yang tidak bertubuh besar pernah tidak laku. Namun, Tatang berhasil meyakinkan. ’’Walaupun tubuhnya kecil, tapi semok. Dagingnya banyak,’’ tuturnya, lantas tersenyum.

Menjelang pensiun, Tatang belum menemukan penggantin­ya. Beberapa kali dia ditemui seseorang untuk belajar akupunktur hewan. Sayang, tak ada yang tahan lama. ’’Kalau ada tiga anak muda yang mau belajar dan bekerja, saya yakin dapat menggerakk­an kembali peternakan Indonesia,’’ tegasnya. (*/c19/nda)

 ?? GALIH COKRO/JAWA POS ?? TITIK YANG PAS: Prof Tatang menunjukka­n titik-titik akupunktur pada manekin hewan ternak.
GALIH COKRO/JAWA POS TITIK YANG PAS: Prof Tatang menunjukka­n titik-titik akupunktur pada manekin hewan ternak.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia