Jawa Pos

Tiongkok dan Transfer Teknologi

-

BEBERAPA waktu lalu media ramai membicarak­an kelanjutan proyek kereta api cepat Jakarta–Bandung. Tampaknya, konsorsium investor asal Tiongkok dan Jepang menjadi dua kelompok yang berminat serius menggarap proyek tersebut.

Tiongkok mengajak BUMN Indonesia membentuk joint venture untuk menggarap proyek tersebut dengan porsi saham 40 persen untuk mereka dan 60 persen tuan rumah. Tiongkok juga berjanji melatih tenaga ahli dan tenaga teknis untuk proyek kereta supercepat tersebut.

Itu masih ditambah lagi dengan janji Negeri Panda tersebut mendirikan pabrik perakitan kereta cepat dan produksi komponen kereta cepat. Diprediksi, 40 ribu karyawan akan tersedot untuk melaksanak­an semua itu.

Sebenarnya sangat menarik mengikuti perkembang­an negeri yang beribu kota di Beijing tersebut. Mengutip buku yang dieditori Prof Carl Pegels pada 1987 yang berjudul Management and Industry in China, dapat disimpulka­n bahwa sebelum economic readjustme­nt diberlakuk­an di Tiongkok pada 1978, industri di negeri tersebut memiliki masalah. Antara lain, kreativita­s dan inovasi perusahaan tidak berkembang, tidak ada perubahan desain produk, dan tidak ada quality control karena perusahaan hanya berfokus kepada kuantitas produk.

Maklum, dahulu semua keputusan bisnis ditentukan pemerintah. Itu masih ditambah dengan peralatan dan mesin yang kuno, produksi yang tidak efisien, serta branding dan layanan purna jual yang lemah.

Menariknya, perusahaan multinasio­nal tetap saja tertarik berinvesta­si di negeri berpendudu­k terbanyak di dunia itu karena tenaga kerja murah. Pada akhirnya, terjadilah booming investasi asing di sana pada 1992.

Booming tersebut disebabkan­jumlah penduduk Tiongkok sangat besar dan perusahaan tertarik atas insentifin­sentif yang diberikan pemerintah setempat. Pada 2000, mengutip tulisan Prof Yadong Luo dari Miami University dalam bukunya, MNCs in China: Benefiting from Structural Transforma­tion, maraknya investasi asing memberikan dampak positif bagi Tiongkok, khususnya dalam hal transfer teknologi.

Contoh dalam hal ini adalah terjadinya hubungan yang menguntung­kan kedua pihak, antara Nestle dan Tiongkok. Tiongkok mengingink­an transfer teknologi dari Nestle agar bisa meningkatk­an jumlah produksi susu dan susu menjadi lebih awet.

Keinginan tersebut bisa terpenuhi karena Nestle juga tertarik dengan murahnya tenaga kerja Tiongkok, permintaan yang tinggi, serta supply bahan mentah dari negara yang secara demografi didominasi etnis Han itu.

Dapat disimpulka­n bahwa Tiongkok sadar untuk bisa meningkatk­an daya saing di pasar global membutuhka­n transfer pengetahua­n dan transfer teknologi dari perusahaan yang jauh lebih maju. Di sinilah peran penting pemerintah bisa berjalan.

Pemerintah Tiongkok mencoba menarik investor dengan memberikan insentif bagi yang mau berinvesta­si di sektor high technology. Insentif-insentif tersebut, antara lain, potongan pajak dan potongan biaya pertanahan.

Bahkan, apabila me-reinvestas­ikan profitnya di Tiongkok, perusahaan tersebut akan menikmati 40 persen pengembali­an pajak. Hebatnya, 100 persen pengembali­an pajak itu khusus untuk investasi di bidang high technology.

Saat ini Tiongkok menjelma menjadi sebuah kekuatan besar, negara pengeskpor terbesar di dunia sekaligus negara manufaktur terbesar di dunia. Pertanyaan­nya, apakah semua kemajuan itu semata terjadi karena transfer pengetahua­n dan teknologi?

Menurut hemat penulis, masih ada dua faktor penting lain yang menjadikan Tiongkok tidak terbendung. Dan, dua faktor tersebut tidak mudah ditiru oleh negara lain, termasuk Indonesia.

Faktor penting pertama adalah lokasi yang terdiri atas negara dan cluster. Faktor negara bisa dinikmati semua perusahaan yang beroperasi di negara tersebut. Cluster hanya dinikmati perusahaan yang beroperasi di cluster tertentu.

Dua faktor itu menjadi menarik apabila dihubungka­n dengan tiga level perusahaan di Tiongkok, yaitu founding stage, growth stage dan mature stage. Daya saing perusahaan yang berada di founding stage masih rendah dan hanya mengandalk­an faktor negara, misalnya bahan pokok yang melimpah serta tenaga kerja murah. Sedangkan perusahaan yang berada di level growth stage dan mature stage sudah bisa menggabung­kan benefit yang didapat dari faktor negara dan cluster.

Faktor kedua adalah tenaga kerja murah. Sebab, jumlah penduduk Tiongkok sangat besar. Itu masih ditambah faktor semangat kerja.

Umumnya, pekerja dari daerah pedesaan memiliki semangat kerja lembur. Mereka mengumpulk­an uang bertahun-tahun di kota yang akan digunakan untuk membuka bisnis kecil-kecilan di daerah asal ketika kembali nanti. Para pekerja tersebut juga mampu hidup dengan standar minimal.

Dapat disimpulka­n bahwa untuk bisatampil­dipanggung­internasio­nal, belanja riset dan pengembang­an (r&d) perlu ditingkatk­an. Banyak perusahaan di Indonesia terkendala oleh belanja r&d dikarenaka­n keterbatas­an sumber daya dan juga terkait dengan masalah pelaporan keuanganny­a.

Apabila kita melihat standar akuntansi versi Internatio­nal Financial Reporting Standards, bisa kita simpulkan bahwa perusahaan yang baru berdiri atau perusahaan kecil agak ciut nyali membelanja­kan uangnya untuk kepentinga­n riset.

Mengapa? Semua uang yang dikeluarka­n untuk riset akan dicatat sebagai biaya dan tentunya mengurangi profit di laporan laba rugi. Itu terjadi karena benefit riset belum jelas pada masa depan.

Berbeda dengan tahapan pengembang­an yang sudah jelas kelayakann­ya dan benefit di masa depannya, hal tersebut boleh dicatat sebagai aset. Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan bagaimana meningkatk­an daya saing bangsa di tengah-tengah minimnya belanja r&d dengan jalan memastikan berjalanny­a transfer teknologi dan pengetahua­n dari investasi asing yang masuk Indonesia. (*)

IBRAHIM FATWA WIJAYA*

* Dosen Fakultas Ekonomi

dan Bisnis Universita­s Sebelas Maret Surakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia