Peran Ibu-Ibu S
eminggu terakhir, berita didominasi seputar terpuruknya rupiah terhadap dolar AS. Meski banyak yang tidak sepenuhnya paham tentang apa yang sebenarnya terjadi atau paham istilah-istilah teknis ekonomi, mulai muncul banyak kecemasan.
Bagi awam, yang dirasakan langsung adalah naiknya harga sejumlah komoditas. Salah satu lapisan yang paling merasakan dampak itu adalah ibu-ibu. Merekalah yang uang belanjanya berpotensi menurun, kemudian bingung memutarnya karena harga-harga naik. Cabai kini tidak bisa dibeli dengan uang kembalian beli daging atau tempe yang ukurannya semakin kecil.
Ibu-ibu tidak pernah mempermasalahkan buruknya kebijakan makro yang dibuat pemerintah. Misalnya, mengapa pemerintah tidak segera menurunkan harga BBM? Meski, banyak analisis bahwa harga BBM tidak akan naik lebih dari USD 60 per barel hingga 2018. Mengapa pemerintah justru berusaha mencari keuntungan di tengah situasi sulit sekarang ini?
Menteri ESDM Sudirman Said menyatakan, keuntungan yang diperoleh pemerintah digunakan untuk menutupi kerugian Pertamina beberapa bulan sebelumnya. Ibu-ibu tidak pernah akan mempertanyakan atau memprotesnya. Padahal, situasi menjadi tidak adil. Mereka tahunya berakrobat untuk menutupi defisit anggaran belanja rumah tangga.
Tetapi, justru pada ibu-ibu itulah kemampuan survive dari lesunya ekonomi global bermula. Pola sosial di Indonesia sangat unik. Ibu-ibu menjadi decision maker untuk belanja atau tidak dalam sebuah keluarga. Keputusan untuk terus belanja itulah yang akan membuat roda ekonomi mikro masyarakat terus berjalan.
Dalam situasi sulit seperti ini, yang paling dibutuhkan adalah pelumas agar mesin ekonomi tetap bergerak. Ibu-ibu dengan segala aktivitas belanja sudah menjadi penyangga kegiatan bisnis riil. Membuat kita lebih optimistis menatap situasi ekonomi sulit sekarang ini daripada krisis 1998.
Namun, pemerintah seharusnya juga segera melakukan langkah-langkah yang bisa menstimulus pergerakan ekonomi riil. Mi salnya, menurunkan harga BBM, segera me nyelesaikan infrastruktur agar komponen biaya lebih ringan, atau lebih memberdayakan kekuatan ekonomi riil yang sudah ada. Tujuannya, beban untuk
survive tidak hanya ditanggung masyarakat, tetapi sedikit diringankan lewat kebijakan pemerintah. (*)