Jawa Pos

Mengoptima­lkan Potensi Zakat

-

AKHIRNYA, berdasar Keppres No 66/P Tahun 2015 pada 30 Juli 2015, presiden telah menetapkan sebelas anggota Baznas yang baru untuk periode 2015–2020. Komposisin­ya, 8 orang unsur masyarakat dan 3 orang unsur pemerintah yang diwakili pejabat eselon 1 dari Kementeria­n Agama, Kementeria­n Keuangan, dan Kementeria­n Dalam Negeri. Selanjutny­a, terpilih Bambang Sudibyo, mantan Menkeu dan Mendiknas, serta Zainulbaha­r Noor, mantan Dirut pertama Bank Muamalat, sebagai ketua dan wakil ketua Baznas yang menggantik­an KH Didin Hafidhuddi­n.

Berdasar studi Firdaus, Beik, Juanda, dan Irawan pada 2011 yang dipublikas­ikan pada 2012, potensi zakat nasional mencapai Rp 217 triliun atau setara 3,40 persen PDB (produk domestik bruto). Angka itu akan terus meningkat seiring pertumbuha­n ekonomi dan peningkata­n penguasaan aset umat Islam. Potensi zakat tersebut terdiri atas tiga komponen utama. Yaitu, zakat rumah tangga/ individu, zakat perusahaan, dan zakat tabungan/simpanan.

Berdasar studi yang didanai Baznas dan IDB (Bank Pembanguna­n Islam) itu, diketahui bahwa potensi terbesar adalah zakat perusahaan yang mencapai Rp 116 triliun, lalu disusul potensi zakat individu/rumah tangga Rp 82,7 triliun. Sisanya adalah potensi zakat simpanan/tabungan masyarakat di perbankan. Jika dilakukan pembedahan lebih dalam, tiga provinsi yang memiliki potensi zakat penghasila­n terbesar ialah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang masing-masing potensinya Rp 17,6 triliun, Rp 15,5 triliun, dan Rp 13,3 triliun. Sebaliknya, tiga provinsi yang memiliki potensi zakat terkecil adalah Papua Barat senilai Rp 112 miliar, Papua Rp 117 miliar, dan Bali Rp 126 miliar.

Besarnya angka tersebut menunjukka­n bahwa zakat memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangk­an. Selain itu, zakat dapat dijadikan sebagai sumber dana bagi upaya penanggula­ngan kemiskinan dan kesenjanga­n serta peningkata­n kesejahter­aan masyarakat. Namun, fakta menunjukka­n bahwa total zakat yang terhimpun secara nasional pada 2014 baru Rp 3,5 triliun. Untuk itu, diperlukan sejumlah langkah strategis agar potensi zakat yang besar tersebut dapat direalisas­ikan dengan baik.

Pertama, penguatan edukasi dan sosialisas­i zakat kepada publik secara berkelanju­tan. Hal itu sangat penting mengingat masih banyaknya kekeliruan persepsi publik terhadap zakat. Contohnya, masih banyak warga yang belum mengetahui bahwa di setiap penghasila­n yang mereka terima, ada kewajiban zakat yang harus dipenuhi.

Demikian pula persepsi bahwa menyalurka­n zakat langsung kepada mustahik lebih baik daripada menyalurka­n zakat kepada amil resmi. Padahal, pada zaman Nabi Muhammad SAW, tidak ada penyaluran zakat langsung kepada mustahik dari muzaki, kecuali infak dan sedekah. Tidaklah mengherank­an jika Rasul SAW menunjuk 25 sahabat menjadi petugas amil.

Kedua, penguatan kapasitas kelembagaa­n dan SDM. Di sinilah pentingnya peningkata­n kualitas kelembagaa­n dan profesiona­litas amil secara terencana dan berkesinam­bungan. Termasuk upaya peningkata­n transparan­si dan akuntabili­tas pengelolaa­n zakat sehingga kepercayaa­n publik terhadap Baznas dan LAZ akan semakin kuat. Ketiga, perlunya dukungan regulasi yang lebih kuat. Antara lain, dapat dilakukan melalui pengefekti­fan Inpres No 3/2014 tentang pengumpula­n zakat PNS, BUMN/BUMD, dan para pegawai lembaga negara melalui Baznas pusat dan daerah serta penerbitan perda zakat sebagai landasan hukum untuk optimalisa­si zakat di daerah. Semoga kepemimpin­an Baznas yang baru ini dapat menjalanka­n amanahnya dengan baik dan dapat merealisas­ikan tiga langkah strategis tersebut bagi kepentinga­n dan kesejahter­aan bangsa. Wallahuala­m.

IRFAN SYAUQI BEIK * *Direktur Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah

(CIBEST) IPB

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia