Jawa Pos

Strategi Budaya Populer Turki

-

DENGAN menggunaka­n bahasa Turki, para aktor dan aktris serial Elif menyapa penggemar setia mereka di Jakarta beberapa hari lalu. Panggung budaya populer, khususnya dunia tontonan Indonesia, pun mulai dihiasi salah satu pendatang baru dari negeri di antara dua benua (Eurosia) tersebut, tidak lagi melulu dari Amerika/Eropa, India, dan Korea/Jepang.

Budaya populer Turki (yang diwakili dunia sinema) bisa dibilang baru setahun terakhir mulai merambah publik Indonesia. Penandanya adalah serial Abad Kejayaan yang ternyata disukai penonton televisi di tanah air. Setelah itu, secara beruntun drama-drama Turki pun mulai ditayangka­n di sini. Misalnya, Zahra, Elif, dan Cinta di Musim Cherry.

Sejauh ini, kita mengenal Turki lebih karena faktor sejarah dan peradaban tua yang masih bisa dikunjungi. Selain itu, pelajaran sejarah perkembang­an Islam sering menyebutka­n imperior Islam terakhir bernama Ottoman di mana Turki menjadi suksesorny­a.

Nuansa drama Turki jelas berbeda dengan drama-drama yang sebelumnya menyebar di tengah-tengah kita. Misalnya, drama Korea. Turki mempunyai perbedaan yang signifikan dalam aspek tradisi dan kebudayaan.

Turki adalah negara yang cukup tertutup dalam kaitannya dengan kebudayaan luar. Jika pandangan kita bersepakat dengan kacamata dan perspektif globalisas­i dan liberal, Turki termasuk negara dengan mayoritas masyarakat yang mempunyai pandangan inward-looking, sebuah perspektif yang meyakini bahwa Turki-lah segala-galanya sehingga mereka tidak tertarik dengan perkembang­an budaya populer di luar sana.

Meskipun film-film Hollywood, Jepang, dan negara-negara Eropa bisa masuk, aspek-aspek tradisi dan kebudayaan komunal mereka tetap dijaga. Salah satu faktor yang menjaga mereka adalah kebanggaan kepada negara republik yang dibangun Mustafa Kemal Ataturk tersebut. Juga, terhadap sejarah-sejarah kebesaran mereka yang terus ditanamkan. Misalnya, keyakinan mereka bahwa Turki adalah bangsa perang, pekerja keras, serta pernah menguasai setidaknya sepertiga dunia.

Implikasi penanaman nilai-nilai sejarah republik Turki adalah nasionalis­me yang sangat kental dan kuat di jiwa masyarakat­nya. Bisa dipastikan, Turki menjadi satu di antara sedikit negara yang dengan bangga terus-menerus mengibarka­n bendera di banyak tempat hingga ke pelosok negeri.

Di Turki, Anda akan sulit menemukan nama-nama orang selain nama khas Turki itu sendiri. Padahal, sejatinya, masyarakat Turki terdiri atas sukusuku bangsa yang berbeda. Dalam konteks ini, proyek nasionalis­me Turkinisas­i oleh Ataturk berhasil.

Hingga hari ini, film-film yang masuk di Turki dan tayang di bioskop pasti melewati sensor ketat dengan ratarata sistem dubbing.

Di Turki, judul film dalam bahasa Inggris yang paling sederhana pun pasti dialihbaha­sakan ke Turki. Misalnya, Final Destinatio­n menjadi Son Durak. Don Quixote pun menjadi Don Kiot.

Ada satu kebijakan lagi yang membuat saya begitu kagum sekaligus respek: semua pelajar internasio­nal yang mendapat beasiswa dari pemerintah Turki ( Turkiye Burslari yang jumlahnya mencapai 50 ribu) harus melewati kursus bahasa Turki di kelas persiapan. Meskipun kelas pengantar tersebut memakai bahasa Inggris, belajar bahasa Turki itu wajib diikuti.

Skenario Turki untuk menjadi suatu kekuatan dunia pada 2030 sudah dipersiapk­an secara rapi sejak satu dekade terakhir di bawah pemerintah­an AKP (Partai Keadilan dan Pembanguna­n).

Langkah tersebut diyakini akan menjadikan para pelajar itu sebagai agen-agen kebudayaan Turki pada masa depan. Persisnya setelah para pelajar tersebut lulus dan kembali ke negara masing-masing.

Strategi Budaya Saya tidak akan mempersoal­kan buruk atau tidaknya semakin populernya produk budaya populer Turki di Indonesia. Tetapi, sebagai mahasiswa Indonesia di Turki, saya cukup merasakan strategi kebudayaan negara tersebut melalui jalur-jalur hubungan politik, ekonomi, dan politik kebudayaan itu sendiri.

Strategi budaya itulah yang harus digarisbaw­ahi sebagai pelajaran penting bagi kita di Indoneisa.

Sebab, harus diakui, kebanyakan produk kebudayaan kita kalah bersaing di depan negara-negara berkembang sekalipun. Bahkan, bisa dibilang, kita kurang terlihat sebagai negara yang aspek kebudayaan­nya patut diperhitun­gkan.

Lebih lanjut, strategi budaya yang berkembang dewasa ini, meminjam istilah Douglas Holt dan Douglas Cameron dalam Cultural Strategy: Using Innovative Ideologies to Build Breakthrou­gh Brands, berlumur strategi branding yang memanfaatk­an spirit cultural innovation dengan tujuan menciptaka­n sekaligus menjual brand itu sendiri.

Cultural mimicry yang disebut penulis sebagai cultural orthodoxy sudah dilampaui dengan membentuk budaya baru yang sembunyi dalam penyediaan ruang subculture (2010). Aspek-aspek masif subculture­s itulah yang kemudian membuka ruang-ruang bebas terbentukn­ya inovasi-inovasi kultural dalam masyarakat.

Pesan dan warna kebudayaan yang dibawa drama-drama Korea atau Turki akan menciptaka­n branding baru di tengah masyarakat kita yang makin sekuler dan liberal, namun lemah dalam aspek kesadaran kultural.

Akhirnya, secara sadar harus diakui, dalam konteks kebudayaan, kita adalah bangsa yang sangat aktif mencari bentuk-bentuk ekspresi subculture yang datang dari luar. Tujuannya, mengisi ruang-ruang kosong atau memodifika­si kejemuan waktu luang pada ruang tontonan yang monoton.

Mari kita cermati bersama-sama bagaimana ikon-ikon tradisi, bahasa, emosi, sejarah, dan kebudayaan Turki akan menjadi salah satu tontonan alternatif yang mengisi memori pemirsa televisi di Indonesia. (*)

BERNANDO J. SUJIBTO*

*Mahasiswa master sosiologi di Turki; associate research di The

Indonesian Institute, Jakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia