Banyak Sengketa, Kekurangan Dana
HINGGA dua bulan berlangsungnya proses pilkada serentak, 35 kasus pengajuan sengketa diterima Bawaslu. Terdapat enam sengketa yang teregistrasi setelah penetapan pasangan calon. Selebihnya adalah sengketa yang diajukan pasangan calon karena gagal mendaftar.
Enam sengketa yang diregister pasca penetapan calon berasal dari Kabupaten Mamuju Utara (Sulbar), Majene (Sulbar), Nabire (Papua), Supiori (Papua), Tanah Datar (Sumbar), dan Pesisir Selatan (Sumbar). ’’Yang di Majene diajukan oleh parpol, sedangkan di kabupaten lainnya oleh pasangan calon,’’ terang anggota Bawaslu Nasrullah kemarin (28/8).
Hingga 27 Agustus, Bawaslu mencatat adanya 307 dugaan pelanggaran pilkada. Di antara jumlah tersebut, 110 dugaan sudah dirupakan rekomendasi dan diserahkan ke KPU. ’’Dugaan pelanggaran terbanyak ada di Provinsi Sumatera Utara,’’ ujarnya.
Pada perkembangan yang sama, Bawaslu mengeluhkan belum cairnya anggaran secara penuh. Di Malinau, Kalimantan Utara, misalnya, anggaran yang cair baru Rp 250 juta. Padahal, kebetutuhannya lebih dari Rp 1 miliar. Anggaran tersebut hanya cukup untuk sebulan. Kondisi tersebut dikhawatirkan memengaruhi kinerja anggota panwaslu di lapangan.
Nasrullah curiga ada maksud tertentu di balik lambannya pencairan anggaran pengawasan. Sebab, saat naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) ditandatangani, kedua pihak sudah sepakat dengan nilai anggaran. ’’Tampaknya, ada upaya sistematik untuk menghilangkan power pengawas,’’ katanya.
Hal itu dilakukan dengan modus mencairkan anggaran secara bertahap. Lalu, saat tiba waktu pencairan tahap berikutnya, pihak pemda beralasan tidak ada dana. Bahkan, ada yang meminta anggota panwaslu menghadap kepala daerah terlebih dahulu. Tentu saja permintaan tersebut tidak dipenuhi pihak panwaslu. ’’Banyak kawan kami yang terpaksa berutang ke Bawaslu povinsi,’’ katanya. (byu/c4/ca)