Apel Pagi, Sore, dan Malam Jadi Bagian Pengamanan
Di Balik Perkemahan Ratusan Warga Binaan Pemasyarakatan Se-Jawa dan Lampung Para warga binaan yang terpilih untuk berpartisipasi harus menjalani seleksi ketat. Pengamanan dilakukan mulai dengan sterilisasi area sampai melarang peserta memakai baju beba
GARIS polisi mengelilingi lahan seluas 5 hektare itu. Tapi, ratusan orang di dalamnya sama sekali tak merasa terpenjara. Dengan riang mereka mendirikan tenda, mengkreasikan tali sebagai pembatas, dan menghiasi pagar. ”Ayo ikat sini, satu.. dua.. tigaa.. tarik,” teriak seorang anggota regu Pendobrak memberikan komando.
Tenda dalam beragam ukuran pun akhirnya berdiri berjajar mengelilingi lokasi di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, tersebut. Baru sesudahnya sebagian anggota Pramuka itu rehat sejenak di bawah pepohonan. ”Kami merasa beruntung masuk penjara, Kak. Kalau nggak, belum tentu kami bisa ikut ke sini,” kata Subur sembari mengaso bersama Alvin, Fajar, Richard, serta Brandon yang merupakan rekan-rekan seregunya.
Pemuda 19 tahun itu adalah satu di antara 432 warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang berpartisipasi dalam perkemahan di Cibubur itu. Mereka berasal dari lembaga pemasyarakatan (lapas) se-Jawa dan Lampung
Kegiatan yang didukung penuh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Pemuda dan Olahraga –berlangsung pada 25 hingga 27 Agustus– itu merupakan penyelenggaraan kedua. Yang pertama digelar pada 2011.
Perkemahan tersebut merupakan bagian dari proses asimilasi WBP agar kelak siap kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu untuk memupuk nasionalisme. Tapi, bagi Subur yang sudah empat tahun mendekam di Lapas Pemuda II-A Tangerang, yang terpenting dari perkemahan tersebut adalah kesempatan menghirup kebebasan. Meski hanya tiga hari. Meski dalam batasan garis polisi.
Di Cibubur narapidana (napi) kasus narkoba itu merasa ”menjadi manusia” lagi. ”Kami belajar untuk saling berbagi,” kata Subur. ”Juga tanggung jawab, kepemimpinan, dan kebersamaan,” sahut Alvin dan Fajar bergantian.
Mayoritas peserta merupakan napi kasus narkoba, tapi bukan skala bandar. Untuk bisa ke Cibubur, mereka tak hanya harus aktif di kegiatan Pramuka di lapas masing-masing. Tapi juga mesti melalui beberapa tahapan lain. Yakni, setidaknya mereka telah menjalani setengah masa pidana dan tidak termasuk dalam kategori PP Nomor 28 Tahun 2006 serta pasal 372, 373, 374, 378, dan 379. Selain itu, perilaku mereka selama dipenjara menjadi pertimbangan.
Para peserta juga wajib menjalani sidang TPP (tim pengamat pemasyarakatan), yaitu wawancara personal dengan para petinggi dan petugas keamanan dari lapas masingmasing. Kualifikasi untuk peserta penegak berusia 16–20 tahun, sedangkan peserta pandega 21–25 tahun. ”Jika ada yang melarikan diri, bisa dipastikan tidak akan mendapatkan remisi dan dokumen disiplin dari lapas,” ucap Ketua Panitia Basmanizar.
Itulah salah satu tantangan terbesar kegiatan di Cibubur tersebut: keamanan. Meskipun para peserta sudah diseleksi ketat, potensi risiko selalu ada. Untuk itu, panitia bekerja sama dengan polres, polsek, dan polda.
Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan DKI Jakarta juga menurunkan 64 personel untuk turut mengawasi kegiatan tersebut. ”Polisi yang berjaga pakai baju kayak orang biasa dan ada di titik-titik terluar dari kemah,” kata Basmanizar sambil tertawa.
Sterilisasi wilayah setempat pun dilakukan sejak Senin (24/8). Tak sebatas itu, gugus depan pun memiliki pengamanan masingmasing. ”Dua petugas keamanan dari panitia dan dua pembina,” ucapnya.
Pembina seperti Luthfi Ari Bimoko menambah skema pengamanan tersebut. Misalnya dengan melarang ke-16 anggota Pramuka binaannya membawa baju bebas. Mereka wajib menggunakan baju pembinaan.
Setiap bepergian pun harus melalui izin pembina dan pengawalan tetap dilakukan. Pengamanan juga dilakukan dengan mengadakan apel dalam setiap gudep pada pagi, sore, dan malam. ”Lewat apel bisa dilakukan pengecekan jumlah anggota,” kata Luthfi yang sudah 2,5 tahun menjadi pembina Pramuka di Lapas Pemuda II-A Tangerang.
Tentu saja semua bentuk antisipasi pengamanan itu dilakukan sedemikian rupa agar tidak sampai menghilangkan unsur kegembiraan dalam perkemahan. Bagaimanapun, ini bagian dari proses asimilasi untuk menjadi warga sipil lagi. Memperlakukan mereka seperti saat di penjara jelas tidak akan membantu terwujudnya tujuan kegiatan.
Apalagi, bagi Subur dkk, misalnya, selama ini latihan Pramuka menjadi waktu yang paling ditunggu dalam setiap minggu. Sebab, kegiatan itu mengajarkan banyak hal yang bagi mereka sangat menyenangkan. Mulai tali-temali, berkemah, sampai memasak.
Mereka pun jadi bisa sejenak melupakan kesumpekan hidup di balik terali besi. Satu sama lain sesama anggota yang aktif dalam latihan juga menjadi semakin dekat. Bersamasama mereka saling menguatkan dan menyemangati. ”Insya Allah, apa yang kami peroleh di Pramuka bisa ditularkan nantinya,” tutur Subur yang bercita-cita menjadi ustad.
Menurut Kepala Bidang Pembinaan, Bimbingan Kemasyarakatan, Pengentasan Anak, dan Informasi Komunikasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta Divisi Pemasyarakatan Herna Lusy, Pramuka adalah salah satu kegiatan yang bisa dipilih napi untuk mengisi waktu luang. ”Kegiatan Pramuka itu murah dan mengajarkan banyak hal positif ke warga binaan,” katanya.
Tak ubahnya kegiatan perkemahan Pramuka lainnya, berbagai lomba juga diadakan. Karena itu, dengan segala keterbatasan, semua peserta juga serius mempersiapkan diri. ”Kami berlatih untuk memupuk rasa percaya diri,” kata Subur yang tergabung dalam regu bernama Pendobrak.
Saat pembukaan kegiatan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly berjanji mengalokasikan dana khusus agar kegiatan Pramuka bagi WBP bisa berjalan rutin. Dukungan serupa dilontarkan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang menganggap Pramuka sebagai kegiatan yang tepat untuk para warga binaan yang disebutnya sebagai ”aset negara”. ”Banyak produk kreatif yang dihasilkan mereka (dari balik penjara),” ujar Nahrawi. (*/c9/ttg)