Imigran pun Tertular ’’ Virus’’ Enggan Punya Anak
Ketika Negara Maju Makin Pusing Urusi Krisis Penduduk Pertumbuhan perekonomian Singapura yang begitu pesat tidak diikuti pertumbuhan penduduk. Jika angka kelahiran tidak kunjung naik, populasi penduduk tua akan menguasai Singapura dan otomatis menguran
’’Tantangan Singapura bergantung pada kerangka waktu. Yaitu, 10 tahun ke depan adalah perekonomian, 25 tahun lagi adalah masalah populasi, dan 50 tahun mendatang adalah identitas diri,’’ ujar Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong saat memberikan kuliah umum yang digelar Ho Rih Hwa Leadership.
Perekonomian dan pertumbuhan penduduk menjadi sorotan utama saat ini. Sebab, angka pertumbuhan penduduk Singapura tahun ini diperkirakan menjadi yang terendah dalam satu dekade ini. Pertumbuhan penduduk di Negeri Merlion tersebut sempat mencapai 5,5 persen pada 2008. Namun, setelah itu, angka kelahiran terus menurun tajam. Pada 2014, angka kelahiran penduduk hanya 1,4 persen.
Berdasar data, sampai akhir 2014, penduduk Singapura didominasi orang yang berusia 50– 64 tahun. Diperkirakan, akhir 2015, jumlah pen- duduk yang berusia 65 tahun ke atas mencapai 440 ribu orang. Jika angka kelahiran tidak kunjung naik, pada 2030 jumlah manula itu bisa mencapai 900 ribu orang. Ibarat piramida terbalik, jumlah penduduk tua akan semakin membengkak dan jumlah kelompok usia produktif terus menyusut.
Calon orang tua di Singapura selama ini memang harus berpikir berkali-kali untuk memiliki anak atau menambah momongan. Sebab, biaya hidup di negara itu sangat tinggi. Mayoritas orang tua bekerja, sedangkan tempat penitipan anak sangatlah mahal. Bahkan, setelah disubsidi pemerintah, orang tua masih harus membayar SGD 700 (Rp 6,9 juta) untuk penitipan anak setiap bulan.
Sejatinya, sejumlah perusahaan sudah mendukung program pemerintah. Mereka menawarkan kepada perempuan yang memiliki anak kecil untuk bekerja di rumah dan hanya sesekali datang ke kantor. Sayang, tidak semua atasan bisa diajak berkoordinasi. Biasanya sistem itu tidak terlalu berhasil.
’’Saya pernah ditawari bekerja full-time dari rumah. Tetapi, enam bulan kemudian saya merasa sangat tertekan. Salah satu alasannya, atasan langsung saya tidak mendukung peraturan tersebut,’’ ujar Mandy Loh, warga Singapura yang menjadi penulis lepas.
Persaingan di dunia kerja yang sangat tinggi juga membuat penduduk usia produktif abai pada pernikahan. Banyak pula yang sudah menikah dan mengaku belum siap mental untuk memiliki momongan. Banyaknya imigran yang datang ke Singapura juga tidak mengubah demografi penduduk. Sebab, mereka yang berpindah kewarganegaraan itu rata-rata juga enggan memiliki anak.
’’Banyaknya penduduk yang berusia tua ini menimbulkan masalah yang lebih dalam. Perekonomian bakal stagnan atau bahkan menurun. Masyarakat akan berubah menjadi pesimistis, bukannya berpandangan ke depan, berorientasi pada atau bahkan terus memandang kejayaan masa lalu. Saya pikir negara yang seperti ini adalah tempat yang menyedihkan untuk ditinggali,’’ ujar Lee akhir Juni lalu.
Karena itu, kata dia, solusi terbaik bagi warga Singapura adalah menikah dan punya anak. Dia berjanji, pemerintah akan membantu mereka yang mau menikah, memiliki momongan, dan menjaga keluarganya. Tidak hanya melalui bonus-bonus, pemerintah juga bakal menyediakan tempat penitipan anak yang berkualitas serta mengurangi tekanan dalam sistem pendidikan.
’’Itu hanyalah kebijakan. Pemerintah tidak bisa menyelesaikan masalah ini hanya dengan kebijakan-kebijakan. Dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk mengubah norma dan budaya agar menjadi negara yang ramah keluarga. Hal itu tentu membutuhkan waktu,’’ tegasnya. (Channel News Asia/The Asian Parent/sha/c5)