Jawa Pos

Belajar Mengajukan Pertanyaan

-

Oleh A.S. LAKSANA

MEMBICARAK­AN kreativita­s selalu merupakan hal yang menyenangk­an. Dan ada satu hal yang selalu ingin kita ketahui tentang manusia-manusia: Kenapa mereka, para inovator dan penemu, berhasil dalam bidang yang mereka geluti, sementara kebanyakan orang lain tidak seperti mereka?

’’ Tidak ada formula ajaib,” tulis Warren Berger dalam bukunya, A More Beautiful Question. ’’Tidak ada penjelasan tunggal tentang keberhasil­an mereka. Namun, saya mencatat satu kesamaan di antara orang-orang brilian itu, yakni mereka biasanya luar biasa bagus dalam merumuskan pertanyaan.’’

Salah seorang ilmuwan genius Albert Einstein, yang juga dikenal sebagai orang yang sangat gemar bertanya, mengatakan bahwa hal terpenting dalam hidup ini adalah jangan pernah berhenti bertanya. Ia mengatakan itu karena mengajukan pertanyaan mengisyara­tkan bahwa kita masih mempertaha­nkan rasa ingin tahu kita. Dan keingintah­uan mendorong orang mengajukan pertanyaan dan berpikir: Kenapa seperti ini, kenapa situasi saya begini, kenapa saya bisa menjadi lebih baik dari sekarang, dan sebagainya.

Dalam pandangan Einstein, keingintah­uan adalah sesuatu yang suci. Kita bisa menganggap itu pernyataan bombastis. Tetapi, saya kira kebanyakan inovator dan orang-orang kreatif sering kali adalah orang-orang yang berpikir bombastis. Mereka cenderung berani membuat pernyataan-pernyataan hiperbolis dan itu membuat mereka memiliki cara berpikir yang berbeda dari orang-orang kebanyakan, yang bahkan takut untuk menyampaik­an pernyataan-pernyataan yang biasa saja.

Sebelum bertemu lagi dengan topik tentang pertanyaan di buku Warren Berger, saya membaca kali pertama tentang topik ini pada waktu SMP, dari sebuah majalah bekas yang saya beli di tukang buku loak langganan saya. Ada satu wawancara di majalah itu dengan Romo Mangun (Y.B. Mangunwija­ya) tentang pendidikan kita. Di sana Romo Mangun menyinggun­g-nyinggung mengenai murid sekolah yang tidak pintar bertanya. Saat membaca itu, saya diam-diam membenarka­nnya dan membayangk­an situasi kelas saya. Hampir semua murid seperti itu, kebanyakan tidak suka bertanya. Bukan karena mereka sudah sangat paham apa yang dijelaskan oleh guru, tetapi karena tidak tahu apa yang harus ditanyakan, juga takut dianggap tidak paham, atau memang karena tidak bisa bertanya.

Ketidakmam­puan bertanya itu, menurut Romo Mangun, menjadikan kita manusiaman­usia yang lemah dan tidak mampu berpikirkr­itisdangag­almengomun­ikasikan apa yang ada dalam kepala kita. Ia menghubung­kan urusan tersebut dengan kecenderun­gan pemerintah­an Orde Baru yang tidak menyukai pertanyaan. Dan, menengok kembali masa 32 tahun di bawah pemerintah­an Pak Harto, kita akan menyadari memang seperti itulah kenyataann­ya. Kita menjadi orang-orang yang takut bertanya. Sebab, pertanyaan adalah hal yang sangat sensitif bagi pemegang otoritas. Kekuasaan adalah sesuatu yang tidak boleh dipertanya­kan, kebijakan-kebijakan pemerintah­an tidak boleh dipertanya­kan.

Jika bagi Einstein keingintah­uan adalah sesuatu yang suci, bagi pemegang otoritas, yang suci adalah kekuasaan. Rasa ingin tahu hanyalah sesuatu yang akan mengguncan­g ketenteram­an, membuat orang tergelitik untuk memikirkan sesuatu, dan mempertany­akan apa-apa yang mereka alami sehari-hari dan ada apa di balik semua ini. Setiap jenis pertanyaan dengan demikian akan dianggap sebagai gejala-gejala perlawanan atau gejala ketidakpua­san terhadap situasi yang mereka alami.

Lebih dari itu, pertanyaan akan merangsang dan menyadarka­n orang untuk berpikir lebih jauh dan melihat adanya ketidakber­esan. Para pemegang otoritas biasanya selalu menghendak­i situasi tenteram saja dan kehidupan berjalan sebagaiman­a adanya. Dan itu tidak hanya terjadi di level negara. Saya kira di tingkat perusahaan juga dan di semua level otoritas.

Dunia bisnis, menurut Warren Berger, memiliki hubungan cinta/benci yang sedikit rumit saat berurusan dengan pertanyaan. Para pemimpin bisnis memiliki kecenderun­gan untuk mendorong para bawahannya agar giat bekerja, bertindak, dan tidak punya waktu untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan. Sementara itu, para bawahan menganggap bahwa mengajukan pertanyaan adalah tindakan berisiko yang bisa mengancam karir mereka. Orang yang sering bertanya bisa dipandang sebagai orang yang rewel atau cenderung membangkan­g dan tidak bisa bekerja.

Ironisnya, dalam sebuah riset yang melibatkan ribuan eksekutif bisnis, dinyatakan bahwa para pemimpin bisnis yang paling kreatif dan sukses biasanya adalah orang-orang yang ahli mengajukan pertanyaan. Mereka tahu bagaimana mempertany­akan kebijakan konvension­al di dalam perusahaan mereka, praktikpra­ktik yang dijalankan, bahkan validitas dari asumsi-asumsi mereka sendiri. Kesimpulan­nya: Mengajukan pertanyaan adalah faktor kunci bagi kesuksesan di kalangan para eksekutif inovatif.

Dan para inovator, sebagaiman­a Einstein, adalah orang-orang yang tetap mempertaha­nkan kesenangan bertanya sampai kapan pun. Mereka mempertaha­nkan semangat kanakkanak mereka dan tetap menjadi kanak-kanak dalam hal selalu ingin tahu terhadap banyak hal.

Ada studi mutakhir yang menyebutka­n bahwa usia empat tahun adalah masa puncak di mana kanak-kanak banyak mengajukan pertanyaan. Anak gadis berusia empat tahun, menurut studi tersebut, mengajukan 390 pertanyaan kepada ibunya dalam satu hari. Anak laki-laki empat tahun kurang lebih sama. Jumlah pertanyaan yang mereka ajukan itu makin menurun saat usia mereka bertambah. Dan dalam banyak kasus, orang menjadi tidak bertanya lagi.

Orang berhenti bertanya ketika beranggapa­n bahwa mengajukan pertanyaan menunjukka­n kebodohan atau mengajukan pertanyaan menunjukka­n bahwa ia tidak tahu apa-apa. Itu kesalahan pemahaman yang merugikan diri sendiri. Orang berhenti bertanya karena merasa dirinya sudah tahu tentang semua hal dan mereka menghentik­an rasa ingin tahu mereka.

Itu kekeliruan terbesar yang dilakukan manusia. Ketika ditanya tentang apa yang membedakan­nya dari orang-orang lain, Einstein mengatakan bahwa ia sebetulnya sama saja dengan semua orang lain. Hanya, ia lebih banyak bertanya dibandingk­an kebanyakan orang dan terusmener­us bertanya. Pada umur empat tahun, ia mengajukan pertanyaan: ’’Kenapa jarum kompas selalu menunjukka­n arah utara.” Sejak itu, ia gemar bertanya dan ia banyak mengajukan pertanyaan tentang apa pun.

Orang-orang lain yang bisa kita kategorika­n sebagai penanya-penanya besar adalah Steve Jobs dan pendiri toko buku online Amazon Jeff Bezos. Mereka berada di depan orang-orang lain karena terus mengembang­kan rasa ingin tahu di dalam diri mereka. Mereka selalu mengajukan pertanyaan dan itu memaksa mereka berpikir untuk menemukan jawaban atas pertanyaan­pertanyaan yang mereka ajukan. Dengan mengajukan pertanyaan demi pertanyaan itulah, mereka membuat perubahan.

Tetapi, pertanyaan yang seperti apa? Jika Anda pembaca yang baik, Anda akan tahu banyak buku yang membicarak­an tentang bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang tepat dan menemukan solusi yang tepat. Jadi, yang kita perlukan adalah bagaimana kita tahu cara menggunaka­n pertanyaan sebagai alat untuk memulai terjadinya perubahan di dalam diri. Kita tidak mengajukan pertanyaan untuk memperumit situasi kita sendiri. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat, kita akan melangkah ke jalan pemikiran yang tepat dan kita akan terpandu untuk mendapatka­n pemikiran-pemikiran yang lebih baik.

Di dalam pelajaran menulis kreatif, misalnya, kita akrab dengan metode mengajukan pertanyaan untuk merangsang lahirnya cerita, yakni dengan pertanyaan ’’ What if...?” Apa jadinya jika seseorang pada suatu pagi, saat bangun dari tidur setelah mimpi buruk, berubah menjadi serangga besar? Franz Kafka berandaian­dai dengan pertanyaan semacam itu dan menulis novelnya yang terkenal, Metamorfos­is. Apa jadinya jika seorang pengemudi ambulans dalam peperangan jatuh cinta kepada seorang perawat yang bertugas di medan perang yang sama? Hemingway melahirkan novel berjudul Pertempura­n Penghabisa­n.

Maka, bertanyala­h. Kita perlu mempertaha­nkan rasa ingin tahu dan terusmener­us mengajukan pertanyaan. Rasa ingin tahu membuat kita selalu bertanya dan pertanyaan mendorong kita untuk berpikir. Dan dalam hal kemampuan mengajukan pertanyaan itulah, manusia berbeda dari primata-primata lainnya. Di dalam keluarga primata, hanya manusia yang mengajukan pertanyaan. Simpanse, monyet, dan beruk tidak mengajukan pertanyaan.

Einstein sudah mengatakan bahwa rasa ingin tahu adalah sesuatu yang suci. Saya ingin menambahka­n bahwa rasa ingin tahu membuat kehidupan ini lebih menarik untuk dijalani, membuat hidup menjadi lebih indah, karena selalu ada sesuatu di luar apa-apa yang sudah kita ketahui. Itu menjamin kita terus berpikir, mendayagun­akan akal kita. Kita terus mencari tahu.

Saya pikir daya tarik kehidupan sudah berhenti pada orang-orang yang berhenti ingin tahu dan tidak lagi mengajukan pertanyaan. Ia sudah tidak mempermasa­lahkan apa-apa lagi, tidak memiliki pertanyaan apa pun mengenai dirinya, hidupnya, situasinya, maupun situasi orang-orang lain di sekitarnya. Hidup seperti sudah berakhir ketika orang berhenti bertanya.

Atau, lebih buruk dari itu, orang yang tidak pandai bertanya cenderung menghakimi. Itu gejala yang kita saksikan sedang menjamur dalam komunikasi kita dewasa ini. (*)

Akun Twitter: @aslaksana

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia