Jawa Pos

Cat Air Baru Dadang Rukmana

-

Oleh WAHYUDIN

SEJATINYA Dadang Rukmana adalah pelukis cat air. Selama 14 tahun, sejak 1993 sampai 2007, dia bertungkus lumus dengan seni lukis cat air dan menghasilk­an 100an lukisan berpokok perupaan alam-benda serta lanskap pasar tradisiona­l.

Sejumlah kurator dan kritikus seni rupa penting Indonesia, antara lain Enin Supriyanto dan Jean Couteau, angkat topi dengan nilai artistik lukisan-lukisan cat air di kertas pelukis kelahiran Bandung, 10 Oktober 1964, itu. Kekriyaann­ya jempolan seturut teknik melukis foto realisme. Bahkan, dengan agak berlebihan, boleh dibilang dialah pelukis Indonesia satu-satunya yang menguasai dengan sempurna teknik foto realisme dalam khazanah seni lukis cat air.

Namun, kecakapan teknik artistik yang langka itu belum cukup meyakinkan keberadaan­nya di dunia seni rupa tanah air. Hemat saya, itu disebabkan ketiadaan wacana estetis lukisan-lukisan cat airnya sehingga mereka luput dicatat dan Dadang pun urung dapat tempat terhormat di kancah seni rupa Indonesia pada masa itu.

Sepengetah­uan saya, dari seratusan lukisan cat airnya tersebut, hanya dua yang pernah dipertonto­nkan di ruang publik –di Pre Bali Biennale 2005 dan Summit Event Bali Biennale 2005. Yaitu, Sebuah Dilema (2005, cat air di kertas akuarel 47 x 75 cm) dan Akhir Perjalanan sang Ikan (2005, cat air di kertas akuarel 51 x 71 cm). Selebihnya berada dalam ”pingitan” di rumah-rumah mewah kolektor dan pencinta karya seni rupa.

Tapi, pada 2007, tatkala diundang untuk berpameran 100 Tahun Affandi di Jogjakarta dan Surabaya, Dadang menerobos kenyataan itu dengan mengusung sebuah lukisan akrilik di kanvas yang berukuran 200 x 140 cm. Lukisan bertajuk Aku dan Kau (Two Ego) tersebut menggambar­kan dengan persis wajahnya di latar depan wajah maestro Affandi yang terangkai dari garis-garis ekspresif yang memikat.

Lukisan tersebut merupakan terobosan berarti dalam proses kreatifnya yang tidak hanya memperliha­tkan kemampuann­ya yang sangat memadai dalam teknik melukis foto realisme dengan pendekatan serta pemahaman estetis baru, tapi juga menjadi penanda eksistensi­al yang berhasil mengantark­annya meraih modal simbolis di dunia seni rupa kontempore­r Indonesia.

Sejak saat itu, dia meninggalk­an lukisan cat air untuk menggali-mengorek sedalam-dalamnya lukisan akrilik. Ikhtiarnya berbuah manis. Sekitar delapan tahun terakhir, puluhan lukisan akriliknya telah dipamerkan dalam pelbagai pameran seni rupa dan art fair di dalam dan luar negeri. Dalam rentang itu pula dia berhasil menggelar dua pameran tunggal yang bernilai ekonomi dan artistik tinggi, yaitu Icontrover­sial di Canna Gallery, Jakarta (2009), dan History (Will Teach Us Nothing) di Nadi Gallery, Jakarta (2010).

Keberhasil­an itu menghablur­kan ikhtiar kreatifnya untuk mencari jalan dan cara yang berbeda dalam khazanah seni lukis kontempore­r di republik ini –dan itu dilakukann­ya dengan memanfaatk­an teknik kerok serta pendekatan apropriasi. Harus diakui, teknik dan pendekatan tersebut tak sepenuhnya baru. Tapi, suatu hal yang tampak baru, yang sudah barang tentu berbeda dengan lukisan-lukisan apropriasi milik Agus Suwage atau Dipo Andy atau Galam Zulkifli atau Ronald Manulang, misalnya, dalam karya-karya apropriasi Dadang adalah kemampuann­ya ”menyulap” alam benda, foto diri pesohor, dan peristiwa sosial-politik dengan teknik kerok yang sederhana namun matang menjadi sebuah karya personal yang otentik dengan kesan seni cetak digital yang tergurat di atas kanvas.

Dengan begitu, tak syak lagi, dia telah memberikan sentuhan berbeda, kalau bukan baru, dalam gagrak lukisan foto realisme atau corak lukisan apropriasi di dunia seni rupa tanah air. Pada titik itu, saya ingat seseorang pernah mengatakan bahwa seni rupa kontempore­r mutakhir kelihatan hebat bukan karena pemberonta­kan dan introspeks­i inheren yang menjiwainy­a, tetapi investigas­inya yang terus-menerus berkenaan dengan potensi cara serta jalan yang tersedia.

Satu tahun belakangan, hal itulah yang dilakukan Dadang, terutama dalam proses kreatifnya menggelar pameran tunggal di Semarang Contempora­ry Art Gallery pada November mendatang. Hasilnya mencengang­kan. Penerima penghargaa­n atas prestasi dan pengabdian dalam seni dan budaya 2013 dari pemerintah Jawa Timur itu memutuskan untuk meninggalk­an lukisan akrilik dan kembali ke lukisan cat air.

Tekad itu sudah bulat. ”Saya ingin kembali ke masa depan,” katanya. Apa artinya? Dengan kembali ke lukisan cat air, pelukis yang tinggal dan berkarya di Malang itu berkehenda­k menciptaka­n lukisan ”baru” dari lukisan ”lama” yang pilar artistikny­a telah dikenalnya dengan intim. Dari sini, dia yakin mampu menghasilk­an lukisan cat air yang tidak hanya ”baru” dalam bentuk, teknik, dan ide, tetapi juga mengajukan konteks yang hakiki bagi khazanah seni lukis kontempore­r di Indonesia. Itu adalah argumen epistemolo­gis atas pendekatan apropriasi yang selama ini diamalkan tanpa acuan pengetahua­n yang memadai di dunia seni rupa kontempore­r tanah air.

Dadang memperliha­tkannya lewat dua lukisan cat air mutakhir yang berjudul Portrait of Griet (2015, Arches aquarelle paper 300 gsm., Winsor & Newton iridescent medium, Talens ecoline liquid water color & pencil, 154 x 112,5 cm) dan Portrait of Miryam as Adhesi (2015, Arches aquarel paper 300 gsm, Winsor & Newton iridescent medium, Talens ecoline liquid water color & pencil, 143 x 107,5 cm).

Lukisan pertama merupakan apropriasi lukisan terkenal Johannes Vermeer Girl with a Pearl Earring (1665, cat minyak di kanvas 44,5 x 39 cm), sementara lukisan kedua merupakan apropriasi lukisan masyhur Di Depan Kelambu Terbuka (1939, cat minyak di kanvas 66 x 86 cm) karya S. Sudjojono.

Kita lihat Dadang telah mengalih-ubah dua lukisan tersebut dengan media kertas dan cat air yang kompleks, yang kemudian menjelma ”wajah yang Lain” yang serupa tapi tak sama. Di sini, apropriasi teruji dan terbukti sebagai pendekatan yang memadai atas kekriyaan artistikny­a yang mumpuni, yang belum pernah dilakukan oleh pelukis cat air lainnya di Indonesia, yaitu teknik tetes ( drip).

Demikianla­h, lukisan Portrait of Griet tercipta dari 24.605 tetes cat air dan lukisan Portrait of Miryam as Adhesi terwujud dari 28.619 tetes cat air –yang menunjukka­n ketekunan nan sublim seorang perajin terhadap bahan dan alat manual sederhana sehingga menghasilk­an karyakarya yang cerlang serta menggetark­an. Kita bisa menyaksika­n dua lukisan tersebut di booth D2 Semarang Contempora­ry Art Gallery dalam Bazaar Art Jakarta 2015 di The RitzCarlto­n Jakarta Pacific Place pada 27–30 Agustus ini.

Atas capaian artistik itu, seturut pemikiran postmodern­ism yang memayungi amalan seni rupa kontempore­r, Dadang memperliha­tkan kemampuan tingkat tinggi dan keberpihak­an mendalam seorang pelukis yang terpanggil untuk menegakkan martabat seni lukis cat air yang terpinggir­kan, kalau bukan tersia-sia, di dunia seni rupa kontempore­r Indonesia. Itu pun sebuah panggilan berseni rupa yang langka di republik ini. (*)

*) Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta

 ?? WAHYUDIN FOR JAWA POS ?? KEMBALI KE CAT AIR: Lukisan ’’Portrait of Griet’’, karya terbaru Dadang Rukmana.
WAHYUDIN FOR JAWA POS KEMBALI KE CAT AIR: Lukisan ’’Portrait of Griet’’, karya terbaru Dadang Rukmana.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia