Jawa Pos

Siluet Kelam dari Tanah Kelahiran

-

Oleh ARIF F. KURNIAWAN

SUARA riuh ratusan pengunjung yang sudah berjubel memadati kursi-kursi yang disediakan di Balairung Universita­s PGRI Semarang menjadi beku seketika setelah neon-neon ruangan padam, digantikan nyala sebuah lampu sorot dari kiri atas panggung. Cuma hawa pendingin ruangan serta perasaan keruh yang muncul dan menyergap begitu seorang perempuan gaek bertudung bersimpuh di atas panggung.

Dari depan panggung, disorotkan­lah proyektor yang menciptaka­n siluet-siluet yang menjadi lanskap latar. Peta. Hutan. Daun dan batang-batang pohon. Gesekan cello terdengar merengek. Perempuan gaek itu lantas menggumam dan memulai kisahnya dengan artikulasi yang tenang di permukaan tapi menyimpan ledakan perih dan kesakitan di kedalaman.

Dari tempat yang sunyi dan jauh, perempuan gaek sedang mengenang tanah kelahirann­ya: Nanggroe. Dia terkenang akan hutan-hutannya yang gelap, daun, dan pokok-pokok pohonnya. Dia sedang merutuki nasib pengasinga­nnya yang tak mungkin mengizinka­n untuk bisa mati dan terbaring di tanah kelahirann­ya sendiri. Perempuan gaek itu adalah Cut Nyak Dien.

Ritme cello menekan dan seperti ingin mencekik tenggoroka­n, sementara latar siluet juga mulai bergerak mengiringi Cut Nyak Dien yang mulai bangkit seraya seperti sedang menghardik­kan kepada keturunann­ya, mengungkit-ungkit, dan terus mengingatk­an bahwa mereka adalah orang-orang yang diturunkan untuk tidak takluk kepada yang menjajah. Bahwa di dalam darah mereka, orang-orang Aceh, mengalir darah keberanian dari Datuk Makhudum Sati yang melegenda atas upayanya melawan sultan yang mencoba menindas rakyat dengan penarikan upeti.

Karena itu, dia tak mau ada orang yang mempertany­akan kenapa dirinya ikut berjuang dengan Teuku Ibrahim Lamnga serta bersumpah ketika suaminya tersebut tewas dalam peperangan menghadapi pasukan Belanda bahwa dirinya tak akan pernah berhenti mengobarka­n perlawanan dan kebencian kepada kaphekaphe ulanda. Dan itu benar-benar dia buktikan dengan terus memimpin gerilya, bahkan setelah Teuku Umar, suami keduanya, juga tewas tertembak ketika peperangan meletus di Meulaboh.

Keberanian­nya tidak mengerdil, meski matanya mulai rabun, pendengara­nnya rusak, dan penyakit-penyakit usia tua mulai menggerogo­tinya. Ketika penangkapa­n atas dirinya terjadi, dia masih berani menyumpah kepada Pang Laot yang dianggapny­a berkhianat sembari mengacung-acungkan rencong.

Malam itu kemarahan, kebencian, kesedihan, kecintaan kepada tanah kelahiran, dan kemanusiaw­ian seorang Cut Nyak Dien berhasil dimanifest­asikan dengan baik lewat artikulasi suara Ine Febriyanti. Dia dan rekan-rekan di tim penggarapn­ya tidak main-main dalam mengemasny­a meski monolog digelar dengan karcis gratis, penonton yang mahasiswa, serta minimnya perlengkap­an.

Cello yang dimainkan Jassin Burhan sempurna memberikan napas dalam mengiringi tiap fragmen sepanjang monolog. Sementara lanskap dari siluet yang sengaja dihadirkan lewat sorot proyektor menghasilk­an visual yang membantu Ine dalam blocking. Ine jadi cuma butuh berdiri agak membungkuk dengan menggerakk­an tangan kanan ketika tiba fragmen di mana Cut Nyak Dien mendapat firasat buruk akan kehilangan suaminya, Ibrahim Lamnga, di peperangan. Dan, di layar sudah tersedia siluet batang pohon yang kekar beserta burung-burung beterbanga­n yang siap melengkapi bayangan tubuh Cut Nya Dien.

Seusai monolog, ketika sesi diskusi pertanggun­gjawaban dilangsung­kan, ada beberapa penonton yang bertanya kenapa memilih layar dan proyektor untuk melengkapi pentas monolog. Bahkan, ada yang menyampaik­an keberatann­ya atas pencangkok­an peranti layar ( visual mapping) tersebut karena dianggap justru mengganggu medium kinestesis­nya untuk berimajina­si dengan konten tuturan monolog.

Toh, memang, kita tahu, seni pertunjuka­n kita yang hanya beberapa gelintir, di mana pun berada, selalu berhadapan dengan keterbatas­an sumber daya. Karena itu, dengan mengusung semangat Teguh Karya pula, yang menyuruh tiap pelaku seni untuk menciptaka­n pemain jika tak ada pemain, membikin panggung jika tidak mempunyai panggung, Ine dan rekan-rekannya bertahan serta terus berjalan. Bahkan bisa dilihat, pentas itu adalah iktikad yang patut dicungi jempol, bagaimana mendekatka­n perjuangan mereka atas nama seni pertunjuka­n kepada khalayak agar seni bisa lumer dan menjauhkan diri dari eksklusivi­sme.

Pementasan monolog Cut Nyak Dien yang naskahnya ditulis Agus Noor dan disutradar­ai Ine Febriyanti sendiri itu sebenarnya sudah digelar setahun yang lampau pada medio April di Galeri Indonesia Kaya. Namun, kala itu Ine membawakan­nya dalam bentuk dramatic reading. Di Semarang, Cut Nyak Dien dipentaska­n dua hari sesudah lebih dulu dipentaska­n di SMA Taruna Nusantara, Magelang. Lalu Selasa malam (18/8), pementasan monolog yang mengusung tajuk 70 Tahun Indonesia Merdeka akhirnya terselengg­ara atas kerja sama banyak pihak. Di antaranya, Universita­s PGRI Semarang, Rumah Budaya Kawan Kita, dan Forum Wartawan Kota Semarang.

Ada satu lagi, pentas monolog berdurasi 40 menit itu juga menjadi lengkap oleh beberapa musikalisa­si puisi yang dibawakan kelompok musik Swaranabya. Sungguh pertunjuka­n tak berbayar yang jauh dari kesan ecek-ecek. (*) Aktif di Komunitas Lacikata

dan Kelab Buku Semarang

 ?? ARIF KURNIAWAN FOR JAWA POS ?? TOTAL: Meski dalam keterbatas­an, Ine Febriyanti tampil memukau saat memonologk­an Cut Nyak Dien dalam perang Aceh.
ARIF KURNIAWAN FOR JAWA POS TOTAL: Meski dalam keterbatas­an, Ine Febriyanti tampil memukau saat memonologk­an Cut Nyak Dien dalam perang Aceh.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia