Susun Aturan, Contoh Thailand
Demam batu akik yang melanda seluruh penjuru daerah tidak boleh berakhir cepat. Penyetaraan harga batu akik kini mulai dirancang Asosiasi Batu Mulia Indonesia ( Abami). Itu dilakukan agar popularitas akik tidak lekas memudar. Standardisasi Harga Batu Aki
SUATU waktu, pakar batu mulia Danil Alamsyah Limantara kaget bukan kepalang ketika ada yang menawarkan batu pancawarna bergambar seharga Rp 5 miliar. Menurut penjualnya, batu tersebut istimewa karena memiliki visualisasi layaknya ratu pantai selatan yang sedang menari. Meski dikatakan langka, dia tidak serta- merta tertarik. ’’ Padahal, kalau ditawarkan Rp 1 juta saja, saya masih mikir,’’ katanya kepada koran ini di Batu Nusantara Show and Contest Piala Puan Maharani di BSD, Tangerang Selatan. Tidak hanya sekali itu saja dia tahu ada batu yang dijual kelewat mahal.
Alamsyah yang sudah menekuni batu selama 40 tahun itu mengatakan kerap menemui penjual yang mematok harga keterlaluan. Meski demikian, dia tidak bisa berbuat banyak karena standardisasi harga batu akik di Indonesia memang belum ada. Jadi, wajar ada penjual yang mencoba peruntungan dengan menjual mahal.
Agar tren batu akik tersebut tak lekas memudar, kini saatnya para penjual introspeksi diri. Dia meminta penawaran harga batu akik yang wajar-wajar saja. Dengan begitu, daya beli masyarakat tetap ada. ’’Demamnya sudah terlalu puncak. Harga kita sudah keblinger dan tidak masuk akal,’’ tuturnya.
Meski demikian, lanjut Alamsyah, batu akik tidak harus dihargai murah. Sebab, batu-batu tersebut juga tidak didapatkan dengan mudah. Persediaannya di alam juga terbatas. Bahkan, proses menjadi batu hingga memiliki daya pikat membutuhkan waktu jutaan tahun. Karena itu, dia tetap yakin ada beberapa jenis batu yang layak dibanderol tinggi. ’’Batu akik yang bagus tetap bertahan dan makin mahal. Tetapi, tetap harus masuk akal,’’ katanya.
Sementara itu, Pembina Asosiasi Batu Mulia Indonesia (Abami) Jenderal TNI (pur) Wiranto tidak sepakat jika tren batu akik disebut menurun. Di beberapa daerah, antusiasme masyarakat masih cukup tinggi. Namun, dia sependapat bahwa harga batu yang dijual saat ini sudah sangat berlebihan. ’’Harga terlalu overpriced. Tidak teratur,’’ katanya.
Saat ini Abami menyusun sebuah regulasi supaya kegiatan perbatuan itu bisa lebih sehat. Cara Abami selaku organisasi nirlaba itu disebut Wiranto mencontoh Thailand. Di Negeri Gajah Putih, kata dia, juga diawali sebuah organisasi, lantas diadopsi pemerintah.
Dari harga yang kelewat mahal itulah, minat orang terhadap batu tertentu menurun. Misalnya, batu bacan yang menurut dia terlalu tinggi. Ujungujungnya, pasar menjadi jenuh karena yang membeli itu-itu saja. Masyarakat lain tidak bisa menjangkaunya. ’’Akhirnya, cari batu yang lain,’’ tuturnya. Misalnya, orang meminati jenis batu lain, seperti hijau botol Aceh, raflesia Bengkulu, atau baru biru langit dari Baturaja. Abami juga ingin mengeksploitasi daya tarik batu lain supaya tidak fanatik ke satu jenis saja. Cara itu diyakini bisa menekan harga batu yang terlalu mahal. ’’ Jangan sampai karena red baron itu mahal, lantas raflesia direkayasa. Saya pernah melihat sendiri itu,’’ terangnya.
Soal kapan usul regulasi itu bisa selesai, Wiranto menyebut seharusnya tidak lama. Dia sudah meminta kepada Ketua Abami Indra Fahrizal untuk segera menyelesaikannya. (dim/ c7/ git)