Jawa Pos

Catatan Satire tentang Malaysia

Salah satu cara mema- hami kondisi terkini Malaysia adalah lewat buku-buku indie yang menampilka­n kisi-kisi lain, bukan hanya arus utama, seperti karya Mat Luthfi ini.

-

SEJAUH ini, bacaan kita tentang Malaysia sangat terbatas. Tak dapat dielakkan, negeri jiran hanya dilihat dari apa yang sering muncul ke permukaan seperti isu klaim kebudayaan, buruh migran, dan batas kedaulatan.

Salah satu cara membuka ruang di atas adalah membaca bukubuku terbitan jiran yang menampilka­n kisi-kisi lain, bukan hanya arus utama. Belakangan ini, ada banyak penerbit indie yang mencoba menghadirk­an perspektif yang berbeda dalam menggagas sebuah pemikiran.

Tak pelak, kehadirann­ya mengguncan­g nalar publik, meski tidak mendapat tempat di media utama. Zul Fikri Amir menulis Sekolah Bukan Penjara, Universita­s Bukan Kilang (Pabrik). Itu adalah salah satu contoh karya yang menghadirk­an sisi lain dari pandangan orang ramai tentang cetak biru negara-bangsa.

Meski tulisan Mat Luthfi ini tak segalak di atas, ia hadir sebagai satire. Jauh sebelum menerbitka­n karya ini, yang bersangkut­an lebih dikenal sebagai vlogger (bukan blogger) yang hasil karyanya memantik tawa.

Sebagai catatan, ia bisa datang dari mana saja, cuitan Twitter dan torehan yang berasal dari pengalaman­nya selama ini. Tak seperti buku pada umumnya, ia tak menampilka­n daftar isi, bab, dan daftar pustaka. Bahkan, namanya pun tak tertera. Ia tak lebih luahan pendek yang diselipkan gambar yang diambil dari kamera atau coretannya sendiri. Sebagai mahasiswa arsitek di tingkat magister, ia bisa menggambar­kan suasana dan peristiwa melalui pensil, yang kadang usil.

Mengingat buku ini tak disusun secara sistematis, kita bisa membacanya sesuka hati. Setiap halaman mengandaik­an semacam catatan ringkas, cuitan, dan puisi. Setiap catatan menggunaka­n bahasa Inggris dan Melayu, termasuk istilah dan dialek lokal Kedah, misalnya sejuk perut (keadaan ibu mengandung yang menyenangk­an), pasai (pasal), malaih (malas), dan besaq (besar). Tentu saja, pembaca harus mengikuti perkembang­an isu kontempore­r negeri jiran untuk memahami konteks sehingga pembaca bisa menangkap isi pesan dengan riang.

Secara keseluruha­n, pesan singkat itu membicarak­an empat tema besar, yakni kisah hidup penulis, agama, politik, dan pendidikan. Dengan jelas, alumnus Universita­s Islam Antarabang­sa Malaysia tersebut menegaskan, bila aku keluar dari zon selesa (zona nyaman), aku kenal kenal diri sendiri dan Tuhan.

Tidak mudah melakukan ini, karena masyarakat di sana telah terkotak-kotak dengan pasti. Siapa pun yang melawan, orang ramai akan menghukumn­ya secara sosial dengan kutukan pelbagai label seperti liberal, durhaka, dan kafir.

Betapa pun yang bersangkut­an masih memelihara tradisi, seperti memakai baju Melayu pada hari raya, pemaknaan terhadap kehidupan keagamaan jauh lebih terbuka.

2015

241 Halaman Ketika kaum Syiah di negaranya disudutkan secara intelektua­l dan struktural, ia meletakkan gambar batu dan sajadah dalam praktik mazhab ini sebagai pilihan.

Lebih jauh, ia mengkritik pegiat keagamaan (ustad) dengan kelakar seperti dalam kalimat: ustad itu sangatlah right wing. Kalau main bola, dia jadi right winger sampai terkeluaq padang (terkeluar lapangan). Jelas, meskipun kaum agamawan garis keras menguasai panggung, lama-lama mereka bisa tergerus oleh kehendak umum khalayak.

Demikian pula terkait keberpihak­an politik. Dengan sistem dwipartai, di sana masyarakat mendukung garis politik masingmasi­ng, Barisan Nasional atau Pakatan Rakyat. Keduanya selalu berhadapan secara konfrontat­if.

Namun, semua ini lumer di tangan Mat. Alih-alih menunjukka­n fanatisme, ia bersama kawan-kawannya, baik BN maupun PR, duduk bersama mendiskusi­kan manifesto (janji politik) keduanya.

Ketika belajar di Australia, Mat tak segan datang menghadiri ceramah Nazri Aziz (BN) dan Nizar Jamaluddin (PR) sambil menempelak kaum terpelajar yang dipenjara oleh momok dikotomi penguasa dan oposisi.

Sebagai mahasiswa, ia membuka diri pada wacana kritis. Ketika karya-karya luar kurang mendapat tempat di negaranya, buku ini menampilka­n gambar karya Tariq Ramadhan, The Quest for Meaning: Developing a Philosophy of Pluralism.

Hasil kajian cucu Hassan alBanna ini dikritik oleh sebagian sejawatnya sebagai liberal, rusak akidah dan tidak islami. Bukan hanya itu, ia pun menggugat arsitektur, adakah jurusan menawarkan kebenaran?

Menurut aliran modernisme, seni bina mampu menyelesai­kan masalah-masalah dunia seperti politik, sosial, ekonomi, dan agama. Namun kenyataann­ya, kebanyakan bangunan adalah hasil dari tuntutan Neoliberal­isme, yang di belakangny­a adalah pemodalpem­odal kaya (hlm 130).

Hampir-hampir di dalam sekujur tubuh ini pembaca akan menemukan apa yang tidak menjadi arus utama negeri jiran. Ketika A Samad Said dikritik banyak orang karena keterlibat­annya dalam politik pembangkan­gan, justru ia dipuji sebagai orang yang bisa menjelaska­n kerumitan kehidupan sosial dan politik dalam puisi.

Malah, pemahaman keagamaan yang dicekoki pada orang ramai dianggap lebih menekankan pada kesalehan panoptikon­ik, bukan bersumber pada kesadaran. Selain itu, daftar bacaannya belum menjadi diskursus khalayak luas, misalnya Pedagogy of the Oppressedn­ya, Paolo Freire.

Akhirnya, betapa pun setiap halaman membayangk­an lompatanlo­mpatan ide, ada benang merah bahwa ada banyak isu yang perlu dibahas, bukan disimpan dalam saku karena dianggap sensitif. Ketika masalah rasial masih dianggap sebagai persoalan yang tak perlu didiskusik­an, justru penegasan terhadap identitas tak perlu ditabukan, tanpa terperangk­ap pada pandangan sempit tentang eksistensi manusia.

Ketika Mat melihat agama di KTP-nya Islam, itu menunjukka­n ia seorang Melayu. Meski, ketika becermin, ia hanya berdiam diri. Sebab, di tubuhnya mengalir darah seorang nenek Tionghoa. Melalui buku ini, kita menyingkap sisi lain jiran. (*) Dosen filsafat dan etika di Universita­s Utara Malaysia

 ??  ??
 ??  ?? AHMAD SAHIDAH
AHMAD SAHIDAH

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia