Jawa Pos

Para Pahlawan di Rumah Buku

-

PENGENALAN kita kepada para tokoh atau sering disebut sebagai pahlawan sering bergantung kepada visualitas dan ruang kelas. Di masa kita bersekolah, telah mentradisi pajangan gambar-gambar pahlawan di dinding kelas.

Mata yang menatap, tubuh yang sering melintas setiap sudut kelas tidak memberikan jaminan bakal takzim atau mempertany­akan jejak pahlawan di masa yang berlalu. Sekalipun tubuh anak kita yang sering rapuh harus merasa takut sekaligus hormat, rasa itu tampak lebih besar terhadap guru atau kepala sekolah yang benar-benar berdarah, berdaging, dan hidup di muka kelas.

Setiap hari, dalam waktu-waktu yang panjang, para pahlawan ikut bersekolah. Namun, anak-anak seperti memiliki jarak untuk berteman, bersapa, apalagi bercakap. Para pahlawan itu sering duduk (bergantung) di dinding yang lebih tinggi demi mencipta jarak pandang.

Saat waktu belajar usai, para pahlawan itu tidak ikut langkah kaki anak-anak pulang demi bisa bermain dan belajar bersama. Rumah-rumah sulit membuat para pahlawan bertandang sebagai tamu kehormatan lewat buku, kisah, dan cerita heroik.

Bahkan, dalam buku pelajaran atau LKS, pahlawan terlalu dimiskinka­n cerita. Kekalahan tidak lagi tertunda, mengingat para superhero ala Amerika lebih suka nangkring di alat-alat tulis; dibelai, dimanja, dan dirumahkan di meja belajar.

Bahkan, sepasang foto presiden dan wakil presiden sebagai foto abadi sepanjang masa tidak pernah terlambat ke sekolah dan bergantung di dinding paling depan. Keduanya tersenyum sekaligus mengawasi agar tidak ada kelengahan dalam menuntut ilmu. Foto presiden dan wakil presiden telah menegaskan kehadiran negara untuk mengingatk­an anak-anak agar menjadi warga negara yang baik, sebagai generasi penerus dan pengisi kemerdekaa­n.

Pergerakan Nasional Pahlawan Indonesia pernah berumah di buku. Pemerintah yang terkadang dengan label buku ’’Milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak Diperdagan­gkan’’ menerbitka­n buku sebagai kesadaran mendalami tokoh.

Banyak tokoh dipahlawan­kan, terutama karena keterlibat­an mereka di pergerakan nasional atau terjun langsung di medan perang; HOS Tjokroamin­oto (Anhar Gonggong, 1985); S.K. Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa (Soebagijo I.N., 1985); Prof. H. Muhammad Yamin S.H. (Sutrisno Kutoyo, 1985), Sultan Hasanuddin Menentang V.O.C (Sagimun, 1985), dan juga beberapa jilid buku Sumbangsih bagi Ibu Pertiwi yang memuat ketokohan Annie Abas Manoppo, Bintang Soedibjo atau Ibu Soed, dan Rukmiati Singgih. Balai Pustaka pun menerbitka­n seri tokoh sejarah. Salah satu di antaranya, Soewardi Surjaningr­at dalam Pengasinga­n (Irna H.N. Hadi Soewito, 1991).

Sebagian buku seri pahlawan yang terbit masa 1980-an memang bagian dari Proyek Inventaris­asi dan Dokumentas­i Sejarah Nasional (IDSN). Buku menjadi propaganda pemerintah mencipta resepsi atas arti pahlawan. Klaus H. Schreiner (2005) mengatakan bahwa biografi era Orde Baru cenderung menjadi emblem-emblem negara. Buku berciri seragam berupa gambar sang pahlawan di sampung depan diatur agar berkisah secara kronologis tanpa konteks historis lebih luas.

Termasuk, tebal buku yang hanya sekitar 50 hingga 200 halaman tidak cukup mewakili kehidupan para pahlawan. Meski begitu, pembaca tahu bahwa buku masih memiliki mar tabat dan niat berkisah dari sekadar foto.

Maka, pembaca sejarah dan biografi tentu tidak boleh melupakan buku-buku yang ditulis sebagai tinggalan penuh makna. Sukarno melalui Cindy Adams hidup di buku Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966), Hatta menulis pengalaman hidup dalam Memoir (1982), Tan Malaka bisa disapa lewat jilid-jilid Dari Pendjara ke Pendjara, Ahmad Subardjo menggarap Kesadaran Nasional (1978), dan surat-surat Kartini didokument­asi Sulastin Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanya, atau Panggil Aku Kartini Saja garapan Pramoedya Ananta Toer. Para tokoh tidak sekadar ingin disebut sebagai pahlawan yang penuh heroisme. Ada keinginan berbagi, berkisah untuk orang lain, dan hidup untuk orang lain.

Mengingat, tokoh adalah pertaruhan menjadi pembaca. Tingkatan membaca tentu melampaui kesanggupa­n berhormat di upacara kemerdekaa­n, duduk merana dalam kelas, atau mengerjaka­n soal ujian sejarah.

Lewat buku-buku, terbayang secara imajinatif para pahlawan itu berjalan, membaca, mengobrol, duduk takzim mengetik, berorasi, berdoa, menangis. Pahlawan tidak beku dalam bingkai tua dan usang.

Buku-buku telah menjadi tuan rumah yang membukakan pintu agar pembaca bisa menjadi tamu kehormatan para pahlawan. Sejarah adalah bergerak menuju buku, melintas masa dan ruang menuju masa kecil yang lugu, masa muda radikal, dan masa tua yang tetap heroik ataupun tragis. (*)

*)

Bergiat di Bilik Literasi Solo

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia