Jawa Pos

Sering Temukan Bekas Sayatan di Kepala Pasien

Cerita dr Sonny Fadli Bertugas Dua Tahun di Mamberamo Raya, Papua Pada saat dokter memilih kerja di kota besar, Sonny Fadli mengambil jalan berbeda. Dia mengikuti program pegawai tidak tetap (PTT) di daerah terpencil. Pilihannya adalah Kabupaten Mamber

-

graduate

fresh

KULIT hitam, badan kurus, dan berpakaian ala kadarnya. Kali pertama melihat Sonny Fadli, bisa jadi kita tidak akan menyangka bahwa lakilaki 27 tahun tersebut adalah seorang dokter. Apalagi dia baru saja pulang dari perantauan nun jauh di Indonesia Timur, yaitu Papua. ’’Ini hasil dari Papua, setelah ini saya menjalanka­n program penggemuka­n,’’ ujarnya saat menemui Jawa Pos pada Kamis lalu (27/8).

Sonny memang baru saja tiba di kampung halamannya, Sidoarjo. Dari Papua, dia mendarat di Bandara Juanda pada 21 Agustus lalu. Tapi, pada Minggu (23/8), Sonny langsung berangkat lagi ke Bandung untuk mengikuti Kongres Obstetri dan Ginekologi Indonesia ( KOGI) XVI. Acara tersebut diikuti dokter spesialis kebidanan dan kandungan, peserta Pendidikan Program Dokter Spesialis (PPDS) Obgyn, dan dokter umum seperti dirinya. Khusus Sonny, menjadi ahli obgyn adalah impiannya.

Sonny tiba di Surabaya pada Kamis pagi dan langsung memenuhi janjinya untuk bertemu dengan beberapa kerabat. Maklum, saat Lebaran lalu, Sonny berada di perantauan. Tekadnya sudah bulat untuk fokus dulu.

Rindu pulang? Jangan ditanya. Hampir setiap malam dilaluinya dalam kerinduan akan keluarga, cahaya lampu, dan ingar-bingar perkotaan. Semua di sana senyap tanpa lampu dan listrik. Yang ada hanya sapaan angin laut dan bisikan suara alam

Bila sedang rindu kampung halaman, Sonny langsung mengingat motivasi awalnya datang ke Papua.

Ceritanya, setelah merampungk­an internship pada awal 2013, Sonny bimbang akan keinginann­ya perihal pekerjaan. Pada suatu kesempatan, dia bertemu dengan salah seorang dosennya, yaitu Prof Dr dr Suhartono Taat Putra MS. ’’Saya meminta saran kepada beliau, apa yang harus saya lakukan setelah mendapat gelar dokter saat itu,’’ jelas pria kelahiran Sidoarjo, 23 Januari 1988, tersebut.

Tanpa basa-basi, Suhartono menyaranka­n Sonny untuk merantau. ”Merantaula­h supaya tahu bagaimana bangsamu,” ucap Sonny yang menirukan saran Prof Suhartono. Pesan itu tertanam di kepala Sonny. Dia merasa harus pergi jauh ke tempat terpencil untuk mengetahui Indonesia yang sebenarnya. ”Saya langsung mendaftar PTT Kemenkes,” imbuh pengagum Soekarno dan Gus Dur tersebut.

Pendaftara­n dilakukan secara online. Banyak daerah terpencil di wilayah Indonesia Timur yang ditawarkan. Setelah browsing karakter daerah yang ditawarkan, Sonny memilih dua tempat. Pilihan pertama jatuh pada Kabupaten Mamberamo Raya. Kedua, Kabupaten Nduga, Papua. Saat pengumuman, dia diterima di pilihan pertama dengan masa kontrak dua tahun.

Sonny berangkat pada September 2013. Berangkat dari Bandara Juanda, sempat transit di Makassar, Sonny melanjutka­n perjalanan ke Bandara Sentani, Jayapura. Setelah itu, menggunaka­n pesawat kecil ke Bandara Kasonaweja, Mamberamo Raya.

Di Jayapura, Sonny bertemu dengan dua dokter umum yang sama-sama mendapat tugas di Mamberamo Raya. Dia adalah dr Roby dari Universita­s Muhammadiy­ah Jakarta dan dr Kristina dari Universita­s Sam Ratulangi, Manado.

Menurut Sonny, pada umumnya dokter PTT jarang berani memilih pedalaman Papua. Dia mencontohk­an di FK Unair. Untuk sesama angkatan 2006, sepertinya hanya dirinya yang memilih Papua. ”Kalaupun ada, mereka biasanya memilih di pusat, seperti Manokwari,’’ paparnya.

Sebulan pertama, Sonny ditempatka­n di RS Bergerak Mamberamo Raya. Di sana hanya ada dokter umum. Tidak ada seorang pun spesialis. Hari pertama berpraktik di unit gawat darurat (UGD), Sonny mendapatka­n pasien kehamilan ektopik atau kehamilan yang berkembang di luar rahim.

Dalam kasus pasiennya, janin berkembang di saluran tuba falopi (saluran yang menghubung­kan indung telur dengan rahim). Pasien datang dalam kondisi shock dan harus mendapat pemeriksaa­n dari obgyn. Sayangnya, di RS Bergerak tidak ada obgyn. Pasien harus dirujuk ke rumah sakit di Jayapura untuk mendapatka­n akses dokter obgyn.

Nahasnya, pasien datang pada Sabtu. Karena Minggu tidak ada pesawat ke Jayapura, Sonny akhirnya memberikan pengobatan semaksimal-maksimalny­a. Pada Minggu pagi, pasien sudah meninggal dunia. ”Sedih juga diberi cobaan pasien pertama seperti itu. Saya jadi paham ada keterbatas­an akses dalam hal pengobatan,’’ ujar anak pasangan Ahmad Fadil dan almarhum Mukhiarsy tersebut.

Sonny akhirnya mulai mempelajar­i pola penyakit yang banyak diderita masyarakat Papua. ”Kebanyakan itu penyakit tropikinfe­ksi,” ucapnya. Mulai malaria, kusta, TB, hingga kaki gajah.

Bulan berikutnya, Sonny mendapat penempatan praktik di Puskesmas Distrik Benuki. Untuk menuju ke sana, Sonny harus naik speedboat selama 24 jam. Daerahnya sangat terpencil. Tidak ada sinyal, listrik, dan tidak setiap hari anak-anak Distrik Benuki mendapat pendidikan. ”Sekolahnya kadang masuk, kadang libur. Masuk kalau pas ada gurunya saja,’’ papar alumnus SMAN 1 Sidoarjo tersebut.

Sebelum Sonny datang, di puskesmas tersebut tidak ada dokter. Hanya ada dua perawat yang bertugas. Hari demi hari bertugas, Sonny menemukan banyak kejanggala­n. Program puskesmas berjalan ala kadarnya. Peralatan medis dasar, seperti tensimeter dan stetoskop, sudah rusak. Bahan penunjang seperti benang untuk menjahit pun tidak ada. ”Masih ada banyak hal yang lebih substantif dan memprihati­nkan,” ujarnya.

Misalnya, puskesmas mendapat dana bantuan Rp 50 juta. Salah seorang perawat yang merupakan kepala puskesmas membagikan Rp 5 juta kepada setiap karyawan. Lalu, sisanya digunakan untuk kegiatan puskesmas keliling (pusling). Tidak jelas perincian dana untuk pusling. Semua dihandle kepala puskesmas.

Puskesmas Distrik Benuki juga mempunyai satu speedboat yang biasanya digunakan untuk merujuk pasien ke RS Bergerak atau RSUD

PSerui yang lebih dekat. Sayangnya, speedboat tersebut sering dimanfaatk­an kepala puskesmas untuk kepentinga­n pribadinya.

Di Distrik Benuki, tidak ada kegiatan posyandu yang jalan, tidak ada kartu menuju sehat (KMS), bahkan bisa disebut tidak ada program yang jalan. Padahal, di situ kader posyandu dibayar Rp 400 ribu sebulan. Kader posyandu tetap mendapat insentif, namun mereka tidak menjalanka­n tugasnya. ”Saya orang baru. Jadi, awalnya saya lihat saja. Saya perhatikan dulu polanya,” ungkap penghobi belajar tersebut.

Tantangan lain adalah kondisi mayoritas masyarakat yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka menggunaka­n bahasa suku masingmasi­ng. ’’Saya beri pertanyaan apa pun, jawabannya hanya iya. Akhirnya, saya pakai bahasa isyarat,’’ ujarnya, lantas tertawa.

Bahasa isyarat yang dimaksud, Sonny mengarahka­n pasien menunjuk bagian tubuh yang sakit. Sering kali, bila pasien menunjuk bagian kepala, Sonny melihat bekas luka sayatan. ”Kalau sakit kepala, mereka kerap menyilet kepala sendiri sampai berdarah juga,” ujar penggemar pahlawan nasional dr Cipto Mangunkusu­mo dan dr Soetomo itu.

Empat bulan berlalu, Sonny mencoba bersuara. Dia mengajak semua pekerja di puskesmas untuk merancang program preventif. Selama ini pengobatan di Distrik Benuki hanya bersifat kuratif. Sonny berniat mengarahka­n dengan program preventif seperti pemberian vaksin. ’’Disetujui, saya senang sekali. Kami keliling untuk memberikan vaksin walaupun kepala puskesmasn­ya tidak ikut kegiatan itu. Dia hanya menyetujui,’’ jelas Sonny.

Secara perlahan, Sonny juga membuat program puskesmas yang masih bisa dijangkau oleh staf. Meski staf mendukung, kepala puskesmas tidak merespons. Bila merujuk pasien, Sonny juga sering ikut mendamping­i dengan speedboat. Khususnya untuk pasien gawat yang memerlukan pendamping­an. Pernah suatu ketika ada pasien gawat dengan luka bakar yang harus dirujuk ke rumah sakit. Sayangnya, speedboat tidak ada. Setelah mencari tahu, ternyata speedboat digunakan pejabat daerah setempat atas izin kepala puskesmas. Sedikit naik pitam, Sonny menegur kepala puskesmas untuk segera memulangka­n speedboat yang digunakan pejabat tersebut

Bukannya ditindakla­njuti, yang Sonny lakukan justru menjadi masalah. Saat kembali ke rumah dinas, kamarnya dibobol dan dirusak orang tak dikenal.

Sonny merasa kecewa. Dia pun mendatangi kepala distrik untuk pamit. ”Saya hanya minta keamanan, kenyamanan, dan transparan­si. Tapi, budaya yang ada terlalu laten,” ungkap alumnus SMPN 1 Tulangan, Sidoarjo, tersebut.

Pada September 2014, dia dipindah ke Puskesmas Pembantu (Pustu) Burumeso, Kabupaten Mamberamo Raya. Dari pusat kabupaten, aksesnya bisa ditempuh dengan naik speedboat hanya 10 menit. Idealnya, untuk ukuran pustu, tidak dibutuhkan dokter umum. Biasanya cukup dengan perawat atau bidan saja.

Namun, Sonny menyadari, dirinya ditempatka­n di pustu supaya tidak banyak protes seperti di puskesmas selama ini. Sonny pun tetap berpraktik seperti biasa. Seharusnya dia hanya berpraktik Senin sampai Jumat. Namun, Sonny tetap datang hampir setiap hari untuk menerima pasien. ’’Kalau weekend, banyak yang datang dalam kondisi gawat, masa ditolak,’’ ungkap penghobi menulis itu.

Pengalaman bertemu penderita gizi buruk termasuk yang sulit dilupakan Sonny. Sekitar dua kilometer dari pusat kabupaten, tepatnya di Kampong Anggreso, Sonny bertemu empat balita dengan gejala gizi buruk. Perutnya sudah membuncit. Temuan itu dia laporkan ke Dinas Kesehatan Mamberamo Raya. ’’Saat saya kroscek, rekam medis mereka menyebutka­n tidak ada temuan gizi buruk di sana. Itu omong kosong,’’ ucapnya.

Laporan Sonny pun tidak ditanggapi. Untuk mengobati kekecewaan­nya, dia menghimpun dana dokter PTT dan teman-temannya. Temuan gizi buruk diunggah lewat Facebook. Hasilnya, ada Rp 17,5 juta yang dibelikan susu 50 kardus, minyak goreng, margarin, gula, alat ukur timbangan, dan mainan anak. Semua bahan tersebut digunakan Sonny untuk meracik resep diet modisco. Yaitu, diet khusus anak gizi buruk. Bakti sosial tersebut diadakan pada akhir masa tugasnya sebagai dokter PTT di sana awal Agustus lalu.

Serangkaia­n pengalaman selama PTT itu membuat Sonny ingin mengabdi di daerah terpencil lagi. Kini Sonny mempersiap­kan impian selanjutny­a, yaitu menjadi spesialis obgyn. Dia bersiap mendaftar PPDS Obgyn RSUD dr Soetomo-FK Unair pada September ini. Setelah mendapat gelar spesialis obgyn, Sonny berniat keluar dari Surabaya, mencari daerah kecil untuk mengabdika­n ilmunya kepada orang yang membutuhka­n. (*/c7/fat)

 ?? SONNY FADLI FOR JAWA POS ?? PENGABDIAN: Dokter Sonny Fadli bersama anak-anak penderita gizi buruk di Kampung Anggreso, Kabupaten Mamberamo Raya.
SONNY FADLI FOR JAWA POS PENGABDIAN: Dokter Sonny Fadli bersama anak-anak penderita gizi buruk di Kampung Anggreso, Kabupaten Mamberamo Raya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia