Jawa Pos

Dangdut pun Menyusup ke Kokpit

Maraknya Radio Komunitas di Sekitar Bandara Juanda Menjamurny­a radio komunitas di sekitar Bandara Juanda ternyata berdampak terhadap lalu lintas penerbanga­n. Tidak jarang frekuensi yang mereka gunakan bertabraka­n dengan jalur komunikasi dengan pesawat t

-

air traffic control

” Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu. Emanen nyawamu, ojok mbok terus-terusno, ora onok gunane.” Senandung lagu Oplosan tersebut tiba-tiba masuk ke ruang kokpit pesawat yang dikemudika­n Wakhid Widyandana. Padahal, saat itu pilot berusia 40 tahun tersebut masih berkomunik­asi dengan petugas air traffic control (ATC) Bandara Internasio­nal Juanda, Surabaya

Sebulan Bisa Masuk Sembilan Laporan

Wakhid berkomunik­asi dengan ATC lantaran beberapa saat lagi hendak mendaratka­n pesawatnya di bandara tersebut. Dia pun meminta arahan petugas menara. ”Silakan menuju poin…” Begitu bunyi arahan yang diterima Wakhid ketika itu.

Tapi, belum tuntas arahan diterima pilot kelahiran Ngawi tersebut, suara petugas ATC sudah terputus. Yang terdengar justru senandung lagu Oplosan dari seorang biduanita. Lazimnya mendengar musik dangdut, Wakhid seharusnya ikut berdendang atau bergoyang. Tapi, yang terjadi adalah kebingunga­n.

”Masuknya alunan musik tersebut jelas mengganggu karena jarak untuk mendarat sudah dekat,” kata Wakhid. Pilot salah satu maskapai penerbanga­n swasta itu bingung lantaran belum tahu harus masuk poin berapa. Kalau sudah begitu, Wakhid bergegas merapatkan komunikasi­nya lagi dengan ATC. ”Kami berusaha meminta ulang arahan. Permintaan itu tentu tidak bisa langsung. Sebab, mereka biasanya sudah mengatur traffic pesawat lain,” terangnya.

Masuknya musik ke ruang kokpit jelas sangat mengganggu. Bukan saja buat pilot semata, tapi juga untuk keselamata­n penerbanga­n. Gangguan seperti itu sering dialami pilot yang mengangkas­a sejak 1995 tersebut, khususnya saat siang atau sore.

Wakhid menyatakan, alunan lagu dari frekuensi liar itu sering masuk saat pesawat berada di sisi barat Bandara Juanda. ”Sekitar 15–20 kilometer sebelum memasuki bandara,” ujarnya.

Hal serupa juga dialami Faisal. Pilot Citilink itu juga beberapa kali mengalami gangguan komunikasi saat hendak landing di Bandara Juanda. Seperti yang disebutkan Wakhid, senandung lagu yang menerobos ruang kokpit pesawat juga terjadi di daerah barat bandara.

”Yang paling sering masuk itu lagu-lagu dangdut,” ungkap bapak dua anak tersebut. Faisal tidak hafal lagu-lagunya. Dia hanya mengatakan, beberapa kali yang terdengar adalah lagu-lagu dangdut populer seperti milik Rhoma Irama. Terkadang juga lagu yang tidak dikenalnya.

Faisal merasa terganggu dengan masuknya lagu-lagu itu ke ruang kokpit karena konsentras­inya sedikit terpecah. ”Biasanya yang saya lakukan adalah langsung mengaktifk­an komunikasi dengan ATC,” jelasnya. Dengan begitu, frekuensi komunikasi menjadi penuh dan gangguan bisa diminimalk­an.

Pilot yang tinggal di Sidoarjo tersebut berharap ada tindakan dari pihak-pihak terkait untuk menertibka­n radio-radio ilegal itu. Sebab, menyeruakn­ya musik ke ruang kokpit bisa mengacauka­n proses landing pesawat. Selain itu, bisa memicu kekacauan lalu lintas pesawat di udara.

Harapan serupa diutarakan Wakhid. ”Pembersiha­n radioradio liar harus dilakukan. Bandara juga seharusnya memiliki alat pengacak frekuensi untuk radioradio liar itu,” ungkapnya.

Menurut dia, hingga saat ini memang belum ada insiden akibat pengguaan frekuensi secara liar oleh radio komunitas. Tapi, kalau hal tersebut dibiarkan, gangguan bisa berdampak buruk di kemudian hari. ”Apalagi kalau traffic- nya semakin padat,” katanya.

Gangguan di sekitar langit bandara itu ternyata belum diketahui Dinas Perhubunga­n (Dishub) Sidoarjo. Mereka kaget ketika mendengar cerita tersebut. ”Kami tidak tahu kalau ternyata seperti itu,” ujar Kepala Dishub Sidoarjo Joko Santosa.

Dishub Sidoarjo memang yang harus bertanggun­g jawab atas penggunaan frekuensi radio di sekitar langit Bandara Juanda. Sebab, lagu-lagu yang masuk ke ruang kokpit itu diyakini datang dari radio-radio di wilayah Kota Delta. Salah satunya datang dari radio komunitas. Radio-radio tersebut saat ini menjamur di Sidoarjo. Hampir di setiap wilayah terus bermuncula­n.

Hingga saat ini, di Sidoarjo tercatat ada 35 radio komunitas. ”Di antara jumlah tersebut, hanya satu yang berizin,” beber Joko. Berdasar pantauan di lapangan, jumlahnya sangat mungkin lebih besar daripada data yang dicatat dishub. Hampir di setiap desa di Sidoarjo kini muncul radioradio komunitas. Mereka pun melakukan siaran.

Keberadaan radio komunitas sejatinya tidak dilarang dan sudah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Radio komunitas masuk kategori lembaga penyiaran komunitas dalam sistem penyiaran nasional. Frekuensi pemancarny­a dialokasik­an antara 107,1 sampai 107,9 MHz. Kekuatan pemancarny­a dibatasi 50 watt atau dengan jarak jangkauan 2,5 kilometer.

Tapi, fakta di lapangan, tidak semuanya patuh. Selain banyak yang tidak berizin, banyak yang frekuensin­ya mengambil jatah milik pihak lain. ”Harus kami akui, frekuensi beberapa radio komunitas tidak sesuai ketentuan,” jelas Kusdianto, salah satu pegiat radio komunitas di Sidoarjo.

Bisa jadi, dari radio-radio kebablasan itulah, lagu-lagu yang didengar Wakhid, Faisal, dan pilot-pilot lain di ruang kokpit tersebut berasal. ” Tentu ini menjadi masukan yang berarti bagi kami untuk melakukan pembenahan. Nanti kami berusaha menertibka­nnya,” janji Joko. (fim/c7/fat)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia