Anggota Dewan pun Jadi Korban
Parkir berlangganan mengusik hak warga Gresik. Sudah setahun Mahkamah Agung membatalkan kebijakan tersebut, Dinas Perhubungan Gresik tetap memberla kukannya. Masyarakat menjerit.
RABU sore (26/8) Nur Rahman keluar dari Pasar Baru Gresik, Jalan H Samanhudi. Dia kesal. Seorang juru parkir meminta dia membayar uang parkir Rp 2 ribu. Meski sudah menunjukkan stiker parkir berlangganan di sepeda motornya, Nur tetap ditarik. Juru parkir
ngotot minta uang. ”Malas debat kusir. Akhirnya saya bayar saja,” kata warga Kelurahan Karangturi itu dengan nada kesal.
Itu bukan pengalaman pertama. Di lokasi yang sama Januari lalu, Nur kena tarikan parkir untuk mobilnya. Nilainya Rp 5 ribu. Padahal, di papan pengumuman tertulis tarif parkir roda empat hanya Rp 2 ribu. ”Heran lihat juru parkirnya. Bukan masalah uangnya,” tambah lelaki 45 tahun tersebut.
Juru parkir memang tidak pilihpilih ”korban”. Anggota DPRD Gresik Saichu Busiri pun mengaku pernah jadi sasaran. Sudah berusaha menunjukkan stiker parkir berlangganan di mobilnya, masih juga dia kena pungutan. ”Sama orang yang mengerti aturan saja, jukir tidak peduli kok,” ungkapnya.
Kebijakan parkir berlangganan diberlakukan dengan dasar Perda No 16/2012 tentang Perubahan atas Perda 4/2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Perda tersebut adalah produk inisiatif DPRD Gresik periode 2009– 2014. Secara teknis, aturan itu dituangkan dalam Peraturan Bupati (Perbup) No 53/2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Parkir.
Sebetulnya Dinas Perhubungan (Dishub) Gresik berencana menerapkan parkir berlangganan sejak 1 Januari 2014. Namun, protes warga begitu masif. Salah satunya menyangkut praktik pungutan ganda di lapangan. Berlangganan atau tidak tetap bayar parkir. Kebijakan itu pun baru diberlakukan per 1 Mei 2014.
Baru dua bulan diterapkan, ada warga
Sama orang yang mengerti aturan saja, jukir tidak peduli kok.”
Anggota DPRD Gresik
Gresik yang menggugat ke Mahkamah Agung (MA). Mereka bernama Eko Nyoman Hermanto, warga Desa Kepatihan, Kecamatan Menganti, dan Abdul Ghofar, warga Desa Petisbenem, Kecamatan Duduksampeyan.
Gugatan dilayangkan pada 10 Juli 2014. Pada 9 September tahun itu juga, MA mengeluarkan putusan bernomor 49/P/HUM/2014. Intinya, mencabut pemberlakuan parkir berlangganan.
Namun, putusan MA seperti menjadi macan kertas. Pemkab Gresik yang diwakili dishub masih memberlakukan parkir berlangganan itu hingga kini. ’’Jadi, sudah setahun pemkab mengabaikan putusan MA,” kata Noer Fattah Syafi’i, kuasa hukum warga penggugat.
Noer menyampaikan, parkir berlangganan menabrak dua undangundang sekaligus. Yaitu, UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. ”Sejak putusan itu ditetapkan, secara etika dan moral, pemkab sudah tidak memiliki legitimasi lagi dalam memberlakukannya,” tegas dia.
Mengapa putusan tersebut seperti diabaikan? Noer menyatakan, pemkab sebagai tergugat beralasan belum menerima salinan putusan. Begitu pula dirinya sebagai pihak penggugat. Namun, sebagai penyelenggara pemerintahan, pemkab seharusnya taat aturan hukum. Sebab, putusan MA bersifat final. (mar/c10/roz)
Saichu Busiri