Tinggal Nama
JARANGJARANG Cangik berceramah. Sekarang ponokawan perempuan itu
nggedebus di depan khalayak. Mungkin gegara panitia sudah mulai ngelindur. Begitu banyak para ahli lulusan universitas kok jebul yang didaulat memberi orasi malah Cangik, mamanya Limbuk. ’’Ah, sudahlah, Mak. Mosok panitia
ngelindur? Mana ada orang ngelindur dapat sponsor. Ini pasti pembicara yang direncanakan tiba-tiba batal. Terus, panitia kemarin minta emak jadi pengganti beliau,” Limbuk membesa-besarkan hati bundanya. Yang dibesarkan malah merasa dikecilkan. ’’Berarti aku ini cuma seperti ban serep, Mbuk?” Cangik balik bertanya.
’’ Ya, monggo saja, Mak. Semua di dunia kan kata emak sendiri tergantung sangkaan kita. Kalau Emak nyangkanya cuma jadi ban serep, ya ban sereplah Emak...’’
Hmmm... Limbuk kini mulai piawai menggunakan jurus-jurus dari dasar ilmu yang pernah diserapnya, yang sudah cukup lama dianggurkan. ’’ Lha
wong Tuhan saja tergantung sangkaan kita. Kalau kita sangka pemurah, ya pemurahlah Dia bagi kita. Kalau kita sangka kejam, ya kejamlah Dia pada kita. Kalau...’’
’’Sudah! Sudah! Aku belum butuh ceramahmu, Mbuk... Tadi aku cuma mau tanya, di acara seminar tentang pernikahan nanti Emakmu ini ban serep atau bukan?”
’’Lha, makanya Mak, tergantung sangkaan. Kalau aku menyangka Emak bukan cuma ban serep. Tapi ban serep terbaik. Seluruh masyarakat di dusun kita adalah ban serep, tapi Emaklah ban serep terbaik. Pas pembicara yang direncanakan batal, panitia minta gantinya Emak kan? Bukan ke yang lain-lain, kan?’’
Akhirnya Cangik berangkat.
Sebelum berceramah, ponokawan kerempeng berleher panjang itu cukup lama berdiri di depan mik. Hadirin masih gaduh. Lama-lama kebisingan ruangan mereda. Kayaknya hadirin mulai capek
ngrasani orang. Setelah lumayan lama dan ruangan betul-betul hening, barulah Cangik angkat bicara.
’’Maaf, tadi waktu dari awal berdiri di depan corong suara ini mestinya saya batuk-batuk atau berdeham. Supaya perhatian hadirin fokus ke panggung. Lagi pula, supaya saya kesannya tidak cuma berdiri plonga-plongo...”
Cangik menambahkan, mengapa semua basa-basi intro pidato tersebut tak ia lakukan? Sebab dia agak bingung memilih jenis suara batuk yang tepat. ’’Rupiah sudah tembus 14.000 per dolar AS, mungkin karena salah pembalut. Sejak itu semua orang jadi sensitif. Kalau batuk saya huk huk, nanti disangkanya saya orang yang ndak terpengaruh melemahnya rupiah dan
sedang menyindir yang kena pengaruh. Tapi kalau batuk saya hik hik, takutnya saya disangka sambat lantaran rupiah jeblok. Tidak baik kalau seminar ini diisi oleh pembicara tipe penggerutu... Betul, Ibu-ibu dan Bapak-bapak?’’
Betuulllllll....
Hadirin sudah membenarkan sikap Cangik. Mereka justru usul agar kebiasaan Cangik untuk tidak mengawali pidatonya dengan batuk maupun deham ditiru banyak orang. ’’Dulu waktu rupiah masih kuat, waktumanusiab el um tersinggungan seperti sekarang silakan batuk maupun berdeham dengan model apa pun... Kami tak akan tersinggung... Tapi jangan dalam keadaan seperti sekarang...”
Cangik lalu masuk ke inti tema seminar, yaitu tentang pernikahan.
’’Batuk maupun berdeham adalah soal bentuk ekspresi kita, Ibu-ibu dan Bapakbapak. Nah, soal ekspresi ini dari dulu bangsa kita sebenarnya sudah bingung. Malam pertama pernikahan sebaiknya kita lakukan dengan merem apa melek? Ini yang patut hadirin renungkan ketika membekali putra-putri Sampeyan tata cara pernikahan.’’
’’Di zaman rupiah masih normal, merem bisa bemakna baik. Artinya orang itu sudah tak bisa membandingkan keindahan yang baru dilihatnya dengan apa pun. Maka ia memilih merem. Tapi zaman ketika rupiah jeblok, merem bisa ditafsirkan sebagai ketakutan kita melihat kenyataan, ketakutan melihat suami dan masa depannya...”
Hadirin membenarkan Cangik. Mereka ingat kenapa ayah Kurawa, Destarastra, buta? Lantaran waktu malam pertama bersama Begawan Abiyasa, Dewi Ambika melakukannya dengan merem. Ia takut melihat kenyataan betapa buruknya wajah pertapa dari Sapta Rengga itu.
Hadirin pun ingat. Ayah Pandawa, Pandu Dewanata, tidak buta. Ia cuma teleng. Lehernya selalu memutar wajahnya yang pucat hadap ke kanan. Itu gegara di malam pertama bersama Sang Kresna Dwipayana, nama alias Abiyasa, Dewi Ambalika melakukannya dengan ketakutan. Wajahnya pucat. Dan ia palingkan wajahnya ke kanan.
*** Limbuk betul. Cangik memang ban serep, tapi bukan ban serep biasa. Hadirin terkesima pada ceramahnya. Dan, yang menarik, ada satu peserta yang memperluas tema dari sekadar persoalan malam pertama.
’’Sebenarnya trah Bharata itu kan putus cuma sampai di anak-anak Prabu Santanu di Hastina? Bhisma, putra Santanu dan Dewi Gangga, tidak punya keturunan karena bersumpah selibat. Adik tirinya, putra Prabu Santanu dan Dewi Setyawati yaitu Citranggada dan Wicitasrena wafat sebelum punya anak. Jandanya, Dewi Ambika dan Ambalika, dinikahi Abiyasa... Nah Kresna Dwipayana itu sendiri kan bukan keturunan Bharata? Dia anak Setyawati bersama suaminya yang lain, Resi Palasara?’’
’’Betul. Sampeyan cerdas banget... Maka, sesungguhnya, istilah Bharatayuda, perang keturunan Bharata itu salah kaprah, karena Pandawa dan Kurawa sudah bukan lagi keturunan Bharata... Keturunan Bharata sudah tidak ada...’’ Hadirin tercengang... ’’Ya, kita ini salah kaprah saja,” Cangik kembali menandaskan. ’’Banyak hal yang sebenarnya sudah tidak ada, tapi dibikin seolah-olah ada. Contohnya ya keturunan Bharata itu. Bharata sudah tidak ada. Pandawa dan Kurawa bukan keturunan Bharata, eh, tapi tetap saja perang alias yuda kedua pihak itu disebut Bharatayuda...’’
’’Setuju...,” ibu-ibu ada yang berdiri. ’’Kalau kita lihat gunungan wayang sekarang... di situ masih ada hutan, macan, dan banteng. Padahal macan kan sudah tidak ada? Banteng masih ada... Kenapa isi gunungan dalangdalang itu nggak banteng saja... Dan nggak usah pakai hutan... wong hutannya sudah gundul semua...’’
’’Ya, silakan Ibu bikin usulan saja ke DPR...,” tukas Cangik.
’’Bu, Cangik!” seorang remaja angkat tangan, ’’Kalau Indonesia sendiri sejak kapan sebenarnya sudah tidak ada?”
Di sini Cangik tak bisa menjawab. Di sini Limbuk mbatin bahwa seharusnya pembicara yang digadang-gadang itu tidak membatalkan acara. Dia pasti bisa tega menjawab pertanyaan rahasia itu. Hadirin hening sampai 40 hari 40 malam... (*)
* Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com / www.sudjiwotedjo.com / twiter @sudjiwotedjo