Hasil Revolusi Enam Tahun
PADA level Liga Champions yang penuh bintang, FC Astana boleh dianggap sebelah mata. Nemanja Maksimovic dkk bahkan mungkin tidak bermain di dunia yang sama dengan klub-klub langganan penggembira fase grup. Misalnya, juara Swiss Zenit St Petersburg atau jagoan Yunani Olympiacos.
Namun, yang perlu dicermati, mereka tidak memerlukan waktu lama untuk menembus babak utama Liga Champions. Astana hanya butuh waktu enam tahun. Ya, tak sampai satu dekade untuk bisa berlaga di kompetisi antarklub paling elite di Benua Biru.
’’Ini adalah hasil revolusi yang matang,’’ kata Kaisar Bekenov, direktur umum klub, sebagaimana diberitakan Futbol Grad.
FC Astana, yang awalnya bernama Lokomotiv Astana, berdiri pada 2008. Klub itu diciptakan untuk menjadi representasi ibu kota Kazakhstan yang berlaga di Kazakh Premier Legaue. Sejak awal, klub tersebut memang didanai pemerintah dan disponsori perusahaan kereta api negara Kazakhstan Temir Zholy.
Pada 2011, agar lebih populer dan diterima masyarakat internasional (nama Lokomotiv memang agak-agak berbau kiri), namanya diubah menjadi FC Astana. Mereka bergabung dengan Astana Presidential Sports Club pada 2013. ’’Perubahan nama ini sudah melalui riset mendalam dan melibatkan fans,’’ ujar Bekenov.
Sebagaimana proyek mercusuar pada umumnya, FC Astana didanai habis-habisan. Bahkan sebelum Astana Presidential Sports Club berdiri. Salah satu yang paling monumental adalah pembangunan stadion megah bernama Astana Arena.
Stadion modern yang dibuka pada 2009 itu menghabiskan anggaran USD 185 juta atau Rp 2,6 triliun. Hasilnya worth it. Michel Platini, presiden UEFA, menyebutnya sebagai venue tercantik di seluruh Eropa.
Setelah gabung dengan manajemen besar Astana, tentu keuangan mereka makin lancar. Skuad FC Astana kini merupakan yang termahal di seluruh Liga Kazakhstan.
Transfermarkt mencatat, bujet belanja mereka musim lalu mencapai EUR 13,8 juta atau setara dengan Rp 217,7 miliar (sekali lagi, tolong jangan bandingkan dengan Real Madrid atau AC Milan).
Salah satu pembelian termahalnya adalah Maksimovic dari klub Slovenia NK Domzale senilai EUR 2 juta (sekitar Rp 31,5 miliar). Lagi-lagi, itu angka yang sangat remeh untuk ukuran kontestan Liga Champions.
Tapi, coba bayangkan seandainya Samruk-Kazyna mau menggelontorkan uang lebih banyak. Katakanlah sekitar Rp 7,35 triliun seperti yang dihamburkan Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan untuk membangun Manchester City. Mungkin, klub yang hanya butuh enam tahun untuk menembus Liga Champions itu bisa berbicara banyak. (c19/na)