Haji dan Dialog Keberagaman
BELAKANGAN ini, media nasional dipenuhi pemberitaan haji, sekalipun secara teknis belum dimulai. Antusiasme muslim Indonesia untuk berhaji memang besar, sekalipun harus mengantre selama 20 tahun atau menabung selama 30 tahun.
Namun, tidak semua antusiasme diapresiasi. Dalam sebuah tulisan yang menjadi viral, kewajiban berhaji dipertanyakan. Konon, tidaklah pantas menghabiskan puluhan juta untuk ibadah personal ketika bangsa sedang sulit. Dana umat yang bisa mencapai 30 triliun itu lebih baik digunakan untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Secara matematis, ide ini logis. Tetapi, haji tentu tidak sesederhana motif ekonomi. Perjalanan Spiritual
Haji merupakan perjalanan spiritual, salah satu ritual penting agamaagama di dunia. Dalam agama Kristen, perjalanan ke Jerusalem dilakukan dengan mengunjungi tempat meninggal dan diangkatnya Kristus. Dalam ajaran Judaisme, perjalanan ke Jerusalem tiga kali setahun merupakan ritual sentral yang mendefinisikan seseorang sebagai Yahudi. Dalam agama Buddha, tirta yatra berfungsi untuk menyucikan diri, sebagaimana dicontohkan Siddharta di awal lahirnya Buddhisme.
Bagi umat Islam, perjalanan ke Makkah merupakan salah satu lima pilar agama. Layaknya perjalanan spiritual lain, haji merupakan perjuangan fisik, mental, dan tentu ekonomi. Karena itu, kewajibannya disertai syarat ’’mampu’’.
Tetapi, sebagaimana diyakini umat beragama, melakukan perjalanan ke rumah Tuhan merupakan undangan ilahiah: siapa pun yang terpanggil, bagaimanapun kondisinya, akan berjuang demi memenuhi panggilan.
Hasilnya, mayoritas jamaah sudah tua karena lama mengusahakan ’’kemampuan’’. Karena ’’kemampuan’’ ini pula, banyak pemuda ’’menunda’’ haji mereka. Padahal, sebagai muslim, berhaji penting untuk menguatkan keberagaman.
Haji merupakan pengalaman personal dalam komunal universal. Melalui pakaian (ihram) saja, manusia dapat belajar tentang kesetaraan di hadapan Tuhan, tidak peduli kewarganegaraan atau kelas sosial.
Pengalaman berhaji juga terbukti dapat meningkatkan kecintaan pada toleransi dan perdamaian. Dalam risetnya ( Estimating the Impact of the Hajj: Religion and Tolerance in Islam’s Global Gathering, 2008), Clingingsmith dkk membuktikan bahwa haji menumbuhkan penerimaan dan kemauan bekerja sama dengan ras berbeda. Selain itu, penelitian kepada 1.600 responden tersebut menemukan, haji meningkatkan pandangan positif muslim terhadap penganut agama lain. Tanpa Pemaksaan Kompromi
Temuan di atas dapat dibenarkan. Sebab, haji merupakan wujud dialog keberagamaan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dalam perkumpulan global di rumah Tuhan, seseorang akan menemui aneka praktik dan kepercayaan yang berbeda dari seluruh dunia.
Meski begitu, mereka tidak saling tuduh aliran sesat atau protes cara salat. Tidak ada kesempatan merusak harmoni kebersamaan karena semua berfokus pada tujuan yang sama: Tuhan. Melalui haji, kita belajar bahwa tidak perlu memaksakan kompromi demi bisa harmoni dalam perbedaan.
Tentang harmoni, Clingingsmith menyebut fakta unik dalam penelitiannya terhadap jamaah haji Pakistan, bahwa bangsa tersebut banyak belajar toleransi dari jamaah Indonesia. Menurut riset yang diselenggarakan delapan bulan setelah haji itu, kehadiran muslim Indonesia saat haji penting sebagai barometer muslim non-Arab.
Identitas muslim Indonesia sebagai bukan Arab penting bagi bangsa lain karena umat Islam ASEAN dikenal bergelut dengan interaksi agamabudaya yang intens. Lahirnya Islam di Bumi Arab sedikit banyak menghadirkan dilema bagi muslim non-Arab untuk memilah antara ajaran Islam dan budaya Arab.
Sayangnya, masih banyak yang gagal memahami bahwa tidak semua Arab adalah Islam. Didukung kurangnya ilmu dan inferioritas budaya, tidak sedikit yang latah mengadopsi semua yang berasal dari tanah tersebut demi tampak religius.
Berhaji di tanah Islam turun dan berkembang dapat menambah pemahaman ideologi secara kontekstual sekaligus global. Jika selama ini seseorang hanya mengenal Islam di negaranya, di masjidnya, atau di penjelasan ustadnya, dengan berhaji seseorang dapat mengalami hidup berdampingan dengan berbagai pemahaman dan praktik Islam di dunia.
Melalui perjalanan, manusia menjadi asing di tempat asing. Tetapi, dalam keterasingan, spiritualisme hadir menundukkan ego; untuk saling memberi pun menerima pemberian. Namun, pemberian dalam perjalanan tentu tidak melulu bernilai ekonomis. Makna adalah kekayaan yang didapat dari kesusahan beperjalanan. Sayangnya, kecuali yang bersusah dalam persiapan, mereka yang berhaji hari ini tidak lagi bersusah. Hotel berbintang, jalur ber-AC, dan fasilitas antar-jemput telah mengubah perjalanan spiritual menjadi wisata religi yang bisa di- ulang setiap ada rezeki.
Padahal, sebagai teladan, Nabi SAW tidak ’’rajin’’ berhaji, sekalipun dekat dan kaya. Perjalanan spiritualnya sebagai tamu Tuhan dilaksanakan sekali tetapi dengan hati. Melalui haji, beliau meneladankan keberagaman dengan menghadirkan saudagar dan mantan budak dalam satu baris; mengampanyekan kesetaraan denganmempersaudarakanpribumi dan non-pribumi; menawarkan perdamaian pada mereka yang berbeda keyakinan.
Saat ini kita memang perlu meninjau ulang haji. Tetapi, bukan karena berbiaya tinggi lantas tidak wajib. Justru dalam rangka merawat kebinekaan, kesadaran berhaji penting ditanamkan sejak dini. Dengan menjadi bagian muslim global, setidaknya kita tidak perlu kagetan mendengar Islam Nusantara, Wali Sanga, Khilafah, atau Sufisme sebagai segelintir spirit Islam.
Belakangan ini kebutuhan Islam toleran semakin kuat disuarakan dalam muktamar lembaga-lembaga besar Islam di Indonesia. Jika pemerintah serius ingin melahirkan generasi penjaga bineka, memberi ’’beasiswa haji’’ dapat menjadi terobosan revolusi mental yang hebat.
Maka, setidaknya para pemuda Islam tidak melulu harus ke Amerika untuk belajar toleransi beragama. Atau setidaknya berita haji tidak hanya diwarnai kisah haru wong cilik yang melahirkan sinisme ’’kemewahan’’ haji tidaklah wajib di saat sulit. (*)
Haji merupakan pengalaman personal dalam komunal universal. Melalui pakaian (ihram)
saja, manusia dapat belajar tentang kesetaraan di hadapan Tuhan, tidak peduli kewarganegaraan
atau kelas sosial.”
*) Pendiri Modesty Indonesia, alumnus Kajian Pluralisme Agama
Temple University, Philadelphia