Jawa Pos

UU Perkebunan Jadi Momok Pemilik Tanah

Kena Pidana jika Lawan Investor

-

JAKARTA – Kalangan petani, pemilik tanah, dan penjaga hutan adat resah. Mereka kini terancam pidana jika memprotes dan menolak pembanguna­n proyek yang menggunaka­n tanah dan hutan mereka. Kesewenang-wenangan itu mungkin terjadi setelah Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan berlaku tahun ini.

Nasib para petani tersebut mendapat perhatian Koalisi Masyarakat Sipil untuk Rakyat Berkebun yang terdiri atas banyak LSM. Mereka sepakat mengajukan judicial review UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini.

”Korban pertama undang-undang tersebut, enam warga Aceh dipidanaka­n karena konflik lahan dengan perusahaan,” ujar peneliti PIL-Net (Public Interest Lawyer Network) Andi Muttaqien di Cikini, Jakarta, kemarin (30/8). Dia yakin pemidanaan petani dalam kasus sengketa lahan di Aceh itu berpotensi memantik peristiwa yang sama di daerah lain.

Andi menilai ada beberapa pasal dalam UU Perkebunan yang cenderung lebih memfasilit­asi pengusaha perkebunan skala besar. Di sisi lain, proteksi terhadap hak-hak petani dan masyarakat lokal sangat minim. ”Sehingga investasi di kawasan hutan kerap berujung pada konflik antara pengusaha dan masyarakat setempat,” lanjutnya.

Andi lantas mencontohk­an pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan. Di situ dikatakan, pelaku usaha perkebunan yang hendak memerlukan tanah adat harus melakukan musyawarah terkait penyerahan tanah dan imbalannya. ”Ini tidak adil. Masyarakat tidak punya opsi untuk menolak,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Abetnego Tarigan juga mengkritik keras UU tersebut. Menurut dia, UU itu mencermink­an belum berubahnya paradigma pemerintah. Mereka masih menganggap masyarakat sebagai hama yang mengancam investasi.

Hal tersebut terlihat dari implementa­si atas UU Perkebunan itu. Yakni, pidana hanya diberikan bagi warga yang merusak kebun perusahaan, sedangkan perusahaan yang merusak hutan adat tidak ditindak. Semestinya, jika dilakukan objektif, pidana bisa ditegakkan secara seimbang. ”Tapi, ini kan hanya melindungi yang memiliki badan hukum,” tegasnya.

Karena itu, Abetnego berharap UU Perkebunan segera diperbaiki. Selain tidak adil, UU dengan pendekatan sanksi hukum tidak efektif untuk mengurangi konflik lahan. Buktinya, saat UU 18/2004 diberlakuk­an, perlawanan masyarakat tetap tinggi. ”Sebab, ini soal hak. Masyarakat akan tetap melawan. Bukan karena mereka bermaksud berlaku kriminal,” tutur aktivis lingkungan tersebut.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ELSAM (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat) Wahyu Wagiman mengendus adanya ketidakber­esan dalam pembahasan UU tersebut. Selain disahkan pada hari terakhir periode DPR, pembahasan­nya tertutup.

”Hanya pengusaha. Masyarakat yang terkena dampak tidak dilibatkan.” (far/c9/kim)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia