Berpindah dari Keuntungan Stagnan
Sakit Hati ’’Ajik’’ Gusti Ngurah Anom dan Krisna Oleh-Oleh Khas Bali Bali bukan hanya Kuta. Bali itu sekarang juga Krisna. Berdiri sejak delapan tahun silam, pusat oleh-oleh khas Pulau Dewata tersebut sekarang menjadi bila berkunjung ke Bali.
trademark
KESAN pengusaha sukses yang berhasil mengembangkan lini bisnis tidak tergambar gamblang dari sosok Gusti Ngurah Anom. Ditemui Jawa Pos di galeri seni dan kafe miliknya di Denpasar, lelaki yang akrab dipanggil Ajik (bapak dalam bahasa Bali, Red) itu tampil bersahaja. Berbalut kaus cokelat dengan celana jins biru, Ajik tampak seperti pengunjung lain. Namun, kesederhanaan tersebut, tampaknya, tidak lepas dari perjalanan hidupnya yang berliku.
Ajik kecil terlahir sebagai bungsu di antara tujuh bersaudara. Bapaknya adalah petani. Ibunya menjual kue. ’’Kami adalah keluarga paling miskin di daerah tempat tinggal kami waktu itu,’’ ujarnya.
Pemilik Krisna Holding itu menuturkan, semangat bekerja dan berwirausaha terbentuk ketika dirinya menghadapi masalah berat. Saat beranjak SMA, dia diberi tahu oleh ayahnya bahwa dirinya tidak bisa lagi melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. ’’Sakit sekali rasanya waktu itu. Sebab, saya sangat ingin sekolah dan kakak-kakak saya semua bisa sekolah,’’ kata dia.
Berangkat dari rasa sakit hati tersebut, Ajik kemudian kabur dari rumah tanpa uang sepeser pun. Dia bekerja di sebuah hotel melati di kawasan Sanur. Di hotel itu, Ajik menjadi petugas kebersihan hotel dan mencuci mobil para tamu hotel. Pekerjaannya dimulai sejak pagi sampai malam. Tujuannya hanya satu, mendapat uang. Sebab, Ajik sama sekali tidak bawa bekal. Bahkan, untuk beristirahat, dia menumpang tinggal di pos satpam hotel tersebut.
Selama dua tahun, Ajik mempertahankan pekerjaan itu. Tetapi, dia ’’dipaksa’’ berhenti lantaran sakit. Pria kelahiran Buleleng tersebut lantas beralih menjadi pekerja serabutan di sebuah perusahaan konfeksi. Dari situ, Ajik belajar berbagai hal tentang dunia konfeksi. Bidang konfeksi mungkin menjadi hoki Ajik. Selain belajar banyak hal, lelaki kelahiran 5 Maret 1971 itu bertemu dengan tambatan hati yang kemudian menjadi ibu empat anaknya, Ketut Mastrining.
Mastrining yang kebetulan teman sekolah Ajik juga bekerja di perusahaan tersebut. Menikah pada usia 19 tahun, salah satu alasan Ajik memilih Mastrining adalah kepiawaiannya menjahit. ’’Supaya saya bisa sukses sebagai orang konfeksi,’’ ucapnya, lantas tertawa.
Pada 2000, Ajik dan istrinya keluar dari perusahaan itu dan berwirausaha mendirikan perusahaan konfeksi baru. Bernama Cok Konfeksi, keduanya memulai wirausaha tersebut dengan modal pas-pasan. Tetapi, berkat kepiawaian mereka, Cok Konfeksi mulai dikenal dan dibanjiri order.
Ajik menyadari bahwa keuntungan dari bisnis konfeksi cenderung stagnan. ’’Ya paling hanya segitu-gitu,’’ ungkapnya. Ajik pun berniat berganti usaha. Untuk memilih usaha yang pas, dia dan istri melakukan survei selama dua bulan. Dari survei itu, Ajik mengukuhkan bahwa Bali yang sudah ternama sebagai destinasi wisata butuh pusat oleh-oleh dalam satu tempat.
Awalnya, Ajik memanfaatkan aset yang ada. Yaitu, menjual kaus. Sebab, berdasar survei, buah tangan berupa kaus paling banyak dicari. Dengan niat bulat, pada 2007 Ajik kali pertama mendirikan Krisna Oleh-Oleh Khas Bali di Denpasar.
Sama dengan bisnis lain, dia memiliki banyak kendala pada awal-awal berdirinya Krisna. Salah satunya, masalah supplier yang hanya mau bekerja sama dengan sistem beli-putus dan enggan menjadi supplier tetap berkala.
Kini Ajik sudah mempunyai lima pusat oleh-oleh khas Bali. Dia menggandeng 425 supplier dan menjual ribuan item oleh-oleh setiap hari. (rin/c14/tia)