Lebih Kuat karena Mantan Atlet Heptathlon
Dafne Schippers mengentak dunia atletik. Sekian lama ada kepercayaan bahwa lomba lari jarak pendek adalah milik sprinter kulit hitam. Schippers mematahkan anggapan itu dengan menjadi juara kejuaraan dunia di Beijing.
’’SEBENTAR, beri aku waktu untuk mengetahui apa yang telah terjadi pada diriku,’’ pinta Schippers saat dijumpai wartawan di garis finis Stadion Sarang Burung, Beijing, Jumat (28/8).
Beberapa saat kemudian, Schippers menjatuhkan badan ke lintasan lari. Memegangi kepala dan menunjukkan wajah tak percaya. Schippers tampak memikirkan akibat atas apa yang baru saja dia lakukan. Ingatannya melayang pada momen tahun lalu saat hanya segelintir orang yang mengenal dan memujinya. Dia tahu, kemenangan atas pelari Jamaika Elaine Thompson dan juara dunia Veronica CampbellBrown bakal mengubah karirnya.
Bagaimana tidak, apa yang dilakukan Schippers menutup kerinduan penonton akan absennya Usain Bolt di Kejuaraan Dunia Atletik di Beijing. Schippers benar-benar membuat penonton ternganga. Tak hanya mendobrak stereotip yang berkembang di dunia atletik terkait juara nomor pendek, Schippers juga mencatatkan rekor sebagai pelari putri tercepat ketiga sepanjang sejarah dengan waktu 21,63 detik di nomor 200 meter
Sontak saja, raihan itu langsung memicu perdebatan. Sebab, banyak orang menyadari Schippers bisa dianggap sebagai pelari tercepat sepanjang sejarah. Rekor dunia saat ini masih dipegang dua pelari Afro-Amerika, Florence GriffithJoyner (21,62) dan Marion Jones (21,62). Namun, Jones terlibat skandal steroid yang mengakibatkan penarikan medali Olimpiade yang dimilikinya. Pun demikian dengan Griffith Joyner yang terlibat kasus doping.
Lalu, bagaimana reaksi Schippers dengan perdebatan tersebut? Setelah berhasil menata tempo pernapasannya, pelari 23 tahun asal Belanda itu mengaku tak mau ambil pusing dengan kontroversi yang ada. Dia memilih fokus pada dirinya sendiri. ’’Catatanku masih bisa lebih cepat. Semakin banyak Anda berlatih, Anda selalu bisa lebih cepat,’’ terangnya kepada Reuters.
Apalagi, Schippers mengatakan, andai kata dirinya tak mengikuti pelatihan di Pantai Daytona, Florida, semua yang terjadi padanya adalah mimpi. Ya, Schippers terbilang telat terjun di atletik. Sebelumnya, dia masih yakin karirnya terletak pada cabang atletik thlon (tujuh lomba). Namun, kecepatan yang dimilikinya mem buat pelatih terpana. Orang-orang pun kemudian menyarankannya untuk menjadi sprinter. ’’Pada titik itu, aku hanya berpikir ’Siapa tahu?’,’’ terang Schippers.
Dia pun memulai latihan seadanya dengan sedikit sekali perencanaan. Bermodal dengkul dan kenekatan, Schippers pun memutuskan mengikuti Kejuaraan Eropa tahun lalu di Swiss. Hasilnya, dua medali emas diboyong pulang ke Belanda.
Apa yang diraih Schippers semakin membuat orang yakin bahwa masa depannya adalah menjadi seorang sprinter. Maka, di usia ke-22, pelari bertinggi 189 cm itu memutuskan sprinter adalah jalan hidupnya.
Lalu, menyesalkah Schippers telat terjun di jalan yang menjadikannya bintang?
Bagi dia, tidak ada tempat untuk penyesalan. Karir di bidang heptathlete membantunya meraih medali emas di nomor 200 meter itu. Di babak final, Schippers mengaku tubuhnya sudah tak memiliki tenaga. Namun, alih-alih kehilangan kecepatan, dia justru mencatatkan rekor dunia. (rif/c17/ang)