Saat Ini Tarkam Bisa Jadi Solusi
LAHIR dan besar di Jakarta, ibu kota Indonesia, tak lantas membuat pemain sepak bola mendapat segala kemudahan. Mereka juga harus bekerja keras untuk tetap bisa bersaing dengan para pemain dari daerah. Termasuk yang saya alami dalam meniti karir panjang sebagai pemain yang bisa diterima publik Jakarta.
Saya lebih banyak berkembang setelah ditempa kompetisi sepak bola di sekitar Jakarta. Bahkan, saya memulai kiprah di sepak bola Indonesia melalui tim Pekan Olahraga Daerah (Porda) di Bekasi medio 2003–2004 hingga direkrut Persitara Jakarta Utara pada musim 2005–2010. Selanjutnya, sampai saat ini, saya tercatat sebagai pemain Persija Jakarta.
Saat itu saya yang menganggap sepak bola hanya sebagai hobi tak pernah bermimpi besar dapat menjadi tumpuan hidup seperti saat ini. Di luar itu, tempaan dan tantangan saya hadapi ketika tampil dalam tarikan kampung (tarkam). Di sisi lain, tarkam kadang dianggap sebagai ajang pelampiasan bagi pemain ’’kelas dua’’ untuk unjuk kebolehan. Tetapi, bagi saya, tarkam tak sekadar mencari pundi-pundi kehidupan, melainkan sebagai media buat mempertajam dan memperkuat kemampuan diri.
Tak bisa dimungkiri, kondisi itu akhirnya membawa saya kerap mengisi laga-laga tarkam pada awal karir saya di sepak bola Indonesia. Dalam beberapa event tarkam itulah, insting bertarung di lini tengah terus saya asah. Dengan begitu, saya mampu mencapai level profesional yang diharapkan.
Saya sadar bahwa tarkam memungkiri nilai-nilai yang terkandung dalam sepak bola profesional. Tentu, saya juga membatasi diri untuk tetap berada di jalur yang sesuai agar tak menyalahi sikap profesional saya sebagai pemain sepak bola.
Ancaman cedera juga bisa menghantui pemain yang memutuskan bermain tarkam. Hanya, semua itu kembali kepada setiap pemain untuk tetap dapat memosisikan diri dengan baik. Risiko sebesar apa pun bisa direduksi dan diantisipasi.
Kesempatan nganggur pada waktu jeda kompetisi menjadi momentum buat saya untuk tetap ambil bagian dalam tarkam. Tetapi, saya jalankan hal tersebut jika memperoleh restu keluarga, istri, dan anak-anak saya. Saya juga tak membabi-buta menerima tawaran yang selalu datang.
Situasi itu juga berlaku saat kompetisi musim 2015 harus dihentikan di tengah jalan. Bagi seorang bapak dan pemimpin keluarga, jalan keluar untuk mendapat nafkah tentu sudah menjadi perhatian saya. Apalagi, saat itu klub saya Persija Jakarta belum bisa menunaikan kewajiban dalam melunasi gaji.
Pada saat seperti itulah, datang para promotor dan teman-teman saya yang dulu untuk mengajak main tarkam. Sebuah berkah yang tersembunyi di balik cobaan yang dihadapi pemain sepak bola Indonesia di mana pun berada. Tak dimungkiri bahwa bermain tarkam dapat memberikan dampak positif buat pemain.
Ke depan, harapan besar kami sampaikan kepada pemangku kebijakan di federasi ataupun pemerintah untuk tetap memperhatikan kondisi pemain. Terutama buat pemain muda yang masih membutuhkan jam bertanding dengan level permainan yang bagus.
Harapan saya, jangan sampai pencarian jati diri yang sempat saya alami dengan bermain tarkam terulang pada masa mendatang. Pemangku kebijakan seharusnya bisa mencarikan solusi terkait dengan masalah tersebut. (nap/c14/ko)