Jawa Pos

Meneteskan Air Mata ketika Menuju Los Angeles

Satu dekade lalu, New Orleans, Louisiana, menjadi neraka karena diterjang badai Katrina. Superstar Los Angeles Clippers Chris Paul tak akan melupakan bencana itu seumur hidupnya. Chris Paul Mengenang 10 Tahun Badai Katrina

-

MASIH segar dalam ingatan Chris Paul pagi itu, 29 Agustus 2005 waktu Amerika Serikat. Ketika itu Paul masih berusia 20 tahun dan merupakan rookie di NBA.

Baru dua bulan Paul bergabung dengan New Orleans Hornets setelah di- pick pada urutan keempat draf NBA 2005. Senin pagi itu di rumahnya, Lewisville, North Carolina, ibu Paul berteriak histeris saat menonton televisi. Karena kaget, Paul langsung bangun dan bergegas ke arah suara ribut itu.

Sampai detik ini, Paul masih ingat benar tragedi yang disaksikan­nya saat itu. Keganasan badai Katrina menghantam empat negara bagian di Amerika Serikat. Sebanyak 1.289 nyawa melayang.

Kota New Orleans, markas Hornets, menjadi salah satu wilayah terdampak bencana yang paling parah. Banjir besar menggenang­i kota seluas 907 kilometer persegi tersebut.

”Itu adalah salah satu kehancuran terparah yang pernah saya lihat,” kata CP3 –julukan Paul– sebagaiman­a dilansir ESPN.

”Tempat itu adalah rumah baru saya, kali pertama saya tinggal jauh dari rumah. Saya merasa sudah memiliki hubungan erat dengan kota tersebut,” kata point guard itu.

Dua bulan setelah kejadian tersebut, Paul baru bisa mendatangi New Orleans. Kondisi hancur lebur yang dia lihat di televisi ternyata belum begitu berubah.

NBA akhirnya memutuskan untuk memindahka­n sementara markas Hornets ke Oklahoma City pada musim 2005–2006. Meski begitu, Paul dkk aktif membantu para korban. Mereka tetap mendatangi New Orleans setiap punya waktu senggang di tengah berjalanny­a kompetisi. Salah satunya, mereka pernah mengadakan jamuan makan bersama 200 keluarga korban saat Thanksgivi­ng Day.

Saat Natal tiba, Paul dan rekan setim juga membagikan bermacam hadiah untuk 100 anak di New Orleans. Hornets pun menggalang dana bantuan untuk membangun lagi rumah-rumah dan lapangan basket yang rusak parah.

Ketika Hornets kembali ke New Orleans pada musim 2007–2008, seluruh anggota tim bertekad memberikan hiburan kepada masyarakat yang lelah berjuang melawan dampak bencana. Pada musim tersebut, mereka meraih 56 kemenangan dan menjadi runner-up wilayah barat.

Mereka menembus semifinal playoff sebelum akhirnya tumbang di tangan San Antonio Spurs dalam tujuh game. Paul pada musim reguler finis kedua dalam pemilihan MPV, di bawah superstar Los Angeles Lakers Kobe Bryant.

Saat itu pertanding­an NBA All-Star juga diboyong ke New Orleans untuk memberikan hiburan bagi kota.

Memasuki musim 2011–2012, Paul harus mengucapka­n selamat tinggal kepada New Orleans. Setelah membela tim itu enam musim, dia di- trade ke Los Angeles Lakers. Tapi, Paul akhirnya mendarat di Clippers karena trade tersebut diveto komisioner ketika itu, David Stern.

Paul terpaksa angkat kaki dari Hornets karena sang owner saat itu, George Shinn, bangkrut. Perpisahan tersebut sangat berat karena kota itu telah memberinya banyak kenangan.

”Saya masih ingat malam ketika saya di- trade. Saya dan salah seorang saudara terbang ke Los Angeles. Hanya saya dan dia di pesawat. Saya ingat sekali meneteskan air mata ketika pesawat mulai terbang,” kenang pemain yang delapan kali masuk NBA All-Star tersebut.

”Saya tidak sempat mengatakan selamat tinggal kepada rekan setim. Namun, Kota New Orleans telah membentuk saya seperti ini. Menjadi seorang pribadi yang sesungguhn­ya dan seorang pemain yang sesungguhn­ya. Itu tidak akan pernah saya lupakan,” ucap pemain 30 tahun tersebut. (irr/c11/nur)

 ?? BILL BAPTIST/NBAE ?? PEDULI: Chris Paul (kiri) bermain basket melawan korban badai Katrina di depan Gereja Bethany Baptist di New Orleans, Lousiana.
BILL BAPTIST/NBAE PEDULI: Chris Paul (kiri) bermain basket melawan korban badai Katrina di depan Gereja Bethany Baptist di New Orleans, Lousiana.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia