Jawa Pos

Tantangann­ya, Aktor dan Pemain Musik Saling Berganti Peran

Tidak banyak yang tahu bahwa lerok termasuk embrio seni panggung di Jatim. Keberadaan­nya mendahului ludruk dan nasibnya sama-sama terpinggir­kan. Kini sejumlah seniman Surabaya berupaya membangkit­kan kembali kesenian yang selalu mengusung tema kritik sos

-

TAWA segelintir penonton terdengar menggema di dalam Gedung Wayang Orang Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya Jumat malam (28/8). Kala itu, Kasuanto atau yang dikenal dengan Lupus beraksi di panggung. Adegan yang ditampilka­n, istri Lupus sedang hamil dan hendak melahirkan.

Dia mencari dukun bayi. Nah, Lupus pun mondarmand­ir di desa untuk mencari dukun bayi. Usahanya membuahkan hasil setelah menemukan perem- puan yang berprofesi dukun bayi. ’’ Nah, iki sing tak goleki,’’ teriak Lupus dalam adegan itu.

Namun, nasib sial kembali menimpanya. Si dukun bayi juga hen- dak melahirkan. Dia meminta tolong Lupus untuk mencarikan­nya dukun bayi. Lupus pun bingung. Dia lalu mengajak si dukun bayi ke rumahnya. ’’ Wis, biar melahirkan bersamasam­a,’’ pikir dia.

Sesampai di rumah, permasalah­an semakin bertambah. Istri Lupus terkejut karena sang suami balik ke rumah membawa perempuan yang sedang hamil. ’’ Sopo arek iku,’’ ujar istri Lupus bernama Sarmi.

Lupus berusaha menjelaska­n, tapi telanjur kena semprot Sarmi. Perlahan, setelah emosi Sarmi mereda, Lupus menceritak­an pengalaman selama mencari dukun. Sarmi menggeleng­kan kepala. ’’ Lah, saiki sopo sing bantu melahirkan. Aku wis ga kuat,’’ ucap Sarmi.

Lupus semakin panik

Pada saat bersamaan, Ruminah bertamu ke rumah Lupus. Dia merupakan keponakan Sarmi yang menjadi asisten bidan. Akhirnya, Ruminah membantu Sarmi dan dukun bayi itu untuk melahirkan.

Permasalah­an tidak berhenti sampai di situ. Ada dua orang yang mau melahirkan, tapi hanya satu orang yang bisa menangani. Lupus pun menawarkan diri untuk membantu. Dia tidak ingin istrinya celaka. Karena itu, Ruminah diminta membantu sang istri melahirkan, sedangkan dia membantu si dukun bayi.

Maksud hati ingin membantu, tapi Sarmi protes. ’’ Sampean kok malah cari kesempatan. Pengin lihat perkakasny­a orang lain.’’ Lupus diam. Dia lalu memilih membantu istrinya melahirkan.

Perlahan Ruminah mulai melaksanak­an tugasnya. Dia membantu dukun bayi sambil memberi abaaba kepada Lupus. Akhirnya, dua orang itu melahirkan bayi tanpa masalah. ’’ Sesuk, aku arep buka praktik dukun bayi,’’ ujar Lupus setelah menolong istrinya.

Sepotong adegan itu mengocok perut penonton. Mereka tertawa menyaksika­n rentetan masalah yang menimpa Lupus. Begitu juga adegan lain yang ditampilka­n grup seni Arboyo tersebut.

Sekilas, orang menilai seni yang mereka tampilkan adalah ludruk, padahal bukan. Kasuanto alias Lupus, pemimpin kelompok Arboyo itu, menegaskan bahwa seni yang ditampilka­n adalah lerok. Dia menjelaska­n, lerok merupakan seni sebelum ada ludruk. ’’Usianya lebih tua,’’ katanya.

Kasuanto lantas menceritak­an embrio seni panggung yang tumbuh di Jawa Timur. Awalnya adalah seni besud yang muncul dari Kabupaten Jombang. Seni itu ditampilka­n pada zaman Belanda. Bentuknya parodi dan kritikan kepada aparat pada waktu itu.

Seiring berjalanny­a waktu, seni besud dikembangk­an dengan iringan musik. Adegan itu lalu disebut lerok. Pemain pun harus bisa memainkan musik. Mereka bekerja secara bergantian. Yang tidak tampil di panggung kena giliran memainkan musik. Ketika giliran tampil, alat musik ditinggalk­an dan digantikan anggota lainnya. ’’Lebih seru, tapi ribet,’’ tutur pria yang lahir 53 tahun lalu itu.

Dia juga menjelaska­n maksud kritik yang termuat di seni tersebut. Misalnya, adegan mencari dukun bayi. Pria yang tinggal di Jalan Banyu Urip Lor itu menceritak­an, zaman dahulu sulit mencari dukun bayi. Akibatnya, banyak masyarakat yang mengalami persalinan ala kadarnya.

Mereka tidak memahami cara melahirkan yang aman dan sesuai dengan medis. Perihal steril tidak pernah mereka perhatikan. Pokoknya, bayi keluar dan semua selamat. ’’Tanpa memikirkan dari aspek kesehatan,’’ jelas bapak tiga anak itu.

Zaman dahulu, kata Lupus, aparat yang melihat adegan tersebut pasti tersentuh. Dia menyadari tenaga medis yang kurang. Karena itu, banyak masyarakat yang merasa kesulitan dalam mendapat pertolonga­n pertama bidang kesehatan. ’’Itu pesan yang kami sampaikan,’’ ujarnya.

Seni lerok mulai padam saat masa Orde Baru. Ketika itu seniman tidak berani mengkritik pemerintah melalui guyonan di panggung. Lerok pun disempurna­kan dengan gaya dan banyolan yang lebih modern. Muncullah seni ludruk yang dikenal hingga sekarang.

Suami Muntiah itu ingin lerok muncul kembali. Dia bersama rekan sejawatnya mencoba menghidupk­an seni tersebut. Mereka yang terlibat, antara lain, Puryadi, Dewi, Ning Muntiani, dan Hariyanto.

Sebenarnya, Kasuanto memiliki banyak personel untuk bergelut di seni lerok. Namun, sulit mencari orang yang peduli dengan kesenian tersebut. Anak muda sekarang juga kurang tertarik dengan kesenian tradisiona­l. Meski begitu, Kasuanto tidak putus asa. Dia yakin ketulusan berbuah manis.

Saat ini Kasuanto dan rekan sejawatnya terseok-seok menghidupk­an seni tersebut. Beberapa tema sudah dipersiapk­an. Seminggu sekali dia tampil dan melakukan rekaman di salah satu media elektronik di Indonesia ( TVRI). Harapannya, dari media itu, masyarakat kembali mengenal kesenian lerok.

Kasuanto juga yakin seni lerok tidak ketinggala­n zaman. Konsepnya dikombinas­ikan dengan permasalah­an yang berkembang saat ini. Kritikan tidak tertuju pada masalah politik, tapi kehidupan masyarakat. Selain itu, corak musik yang ditampilka­n lebih modern. Bukan gamelan tradisiona­l saja. (*/c19/fat)

 ?? FRIZAL/JAWA POS ?? kelimpunga­n PELESTARI SENI: Kasuanto alias Cak Lupus manggung di Taman Hiburan Rakyat untuk keperluan syuting di salah satu media televisi.
FRIZAL/JAWA POS kelimpunga­n PELESTARI SENI: Kasuanto alias Cak Lupus manggung di Taman Hiburan Rakyat untuk keperluan syuting di salah satu media televisi.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia