Jawa Pos

AYO BANGUNKAN PROYEK PINGSAN

Pemerintah­an Presiden Jokowi lebih suka membuat proyek infrastruk­tur baru daripada memberesi yang sudah ada. Padahal, kerugian bagai gajah di pelupuk mata. Dana triliunan rupiah yang sudah dikeluarka­n terbuang sia-sia. Karena dana itu berasal dari utang,

-

DI tengah kelesuan ekonomi, belanja pemerintah melalui pembanguna­n infrastruk­tur adalah napas yang masih menyambung nyawa perekonomi­an. Selain menciptaka­n ribuan lapangan kerja, banyak sekali perusahaan yang mendapat order dari proyek padat modal yang dibangun di seluruh negeri. Ujungujung­nya, roda perekonomi­an bergerak, pertumbuha­n pun tercapai.

Sayang, ”rantai surga” itu tak pernah terjadi di negeri yang memiliki manajemen pemerintah­an buruk

Alih-alih berujung pertumbuha­n ekonomi, puluhan proyek infrastruk­tur yang dibangun asalasalan dan minim dukungan pemerintah justru menciptaka­n ”lingkaran setan” yang berujung pertumbuha­n utang.

Kekhawatir­an itu diungkapka­n oleh Sofjan Wanandi, ketua Tim Ahli Kantor Wakil Presiden. Mantan bos Gamala Group tersebut menuturkan, ada 37 proyek infrastruk­tur senilai USD 11,3 miliar atau sekitar Rp 147,3 triliun yang terhenti alias mangkrak sejak empat tahun terakhir. ”Dari sekian banyak proyek itu, baru PLTU Batang yang akhirnya bisa digroundbr­eaking Presiden Jokowi pada Jumat lalu (28/8),” kata dia akhir pekan lalu.

Sebagian proyek infrastruk­tur tak kunjung bisa dimulai lagi karena terhambat pembebasan lahan. Sebagian proyek lain sudah melakukan peletakan batu pertama ( groundbrea­king), tapi tak berlanjut ke tahap berikutnya. Akibatnya, selain infrastruk­tur tak terbangun, Indonesia harus membayar denda berupa commitment fee kepada kreditor. Sebab, mayoritas proyek itu dibiayai pinjaman luar negeri. ”Jadinya, kita rugi dobel,” ujar Sofjan. ”Jadi, sudah nggak dapat manfaat proyeknya, masih harus bayar bunga utangnya,” lanjut dia.

Berdasar data statistik utang luar negeri dari Kementeria­n Keuangan, nilai commitment fee yang dibayar setiap tahun terus menggelemb­ung. Pada 2013 commitment fee mencapai Rp 378 miliar; setahun kemudian naik menjadi Rp 388,4 miliar; lalu pada Januari–Mei 2015 sudah mencapai Rp 160,9 miliar. Artinya, sejak 2013 hingga pertengaha­n 2015, Indonesia harus buangbuang duit hampir Rp 1 triliun atau tepatnya Rp 927 miliar untuk membayar biaya atas utang yang nganggur karena proyek macet.

Anggota Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki mengatakan, berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah untuk mempercepa­t realisasi proyek-proyek mangkrak itu. Hasilnya pun sudah terlihat di proyek PLTU Batang yang akhirnya bisa dimulai setelah bertahunta­hun tanpa kejelasan. ”Proyek infrastruk­tur memang menjadi prioritas utama pemerintah,” terang dia.

Selain memperkuat koordinasi dan sinergi antar kementeria­n, beberapa upaya ekstra dilakukan Presiden Jokowi. Deputi II Kantor Staf Kepresiden­an Yanuar Nugroho menyebutka­n, saat ini presiden sudah mengantong­i nomor telepon seluruh penanggung jawab proyek infrastruk­tur. Dengan begitu, presiden bisa memantau perkembang­an proyek setiap hari tanpa melalui laporan menteri. ”Pelaksana di lapangan pun bisa termotivas­i karena langsung diawasi presiden dan langsung bisa melapor jika ada hambatan,” jelasnya.

Di bagian lain, Asisten Deputi Perumahan, Pertanahan, dan Pembiayaan Infrastruk­tur Bastary Pandji Indra mengungkap­kan, ruwetnya birokrasi serta rendahnya komitmen pemerintah daerah menjadi penyebab utama mangkrakny­a banyak proyek infrastruk­tur. ”Sebenarnya masingmasi­ng (proyek mangkrak) itu ada masalahnya. Tapi, mayoritas ya karena pemerintah­nya nggak komit, kemudian juga ada masalah birokrasi yang berbelit,” paparnya kepada Jawa Pos akhir pekan ini.

Proyek Mangkrak Tak hanya merugikan keuangan negara, tersendatn­ya proyek juga menguras kantong investor swasta. Misalnya yang terjadi pada pembanguna­n ruas tol Jombang–Mojokerto (Joker), Jawa Timur. Tol yang dibangun anak perusahaan Astra, PT Marga Harjaya Infrastruk­tur (MHI), sejak 2012 itu kini terbelit persoalan cukup rumit.

Presiden Direktur PT MHI Wiwiek D. Santoso menceritak­an, MHI sudah merampungk­an pekerjaan ruas tol hingga 5 kilometer. Namun, proyek yang semula berjalan mulus tersebut tiba-tiba terhenti saat ruas kurang 900 meter lagi. ”Hanya karena ada lahan belum dibebaskan,” sebut Wiwiek pekan lalu.

Akibatnya, sejak Maret proyek terkatung-katung. Padahal, penyelesai­an ruas tol Joker ditunggutu­nggu karena bakal membuka sumbatan kemacetan di jalur tengah Jawa Timur-Jawa Tengah. MHI pun tak bisa apa-apa atas kendala yang di luar perhitunga­n tersebut. ”Untuk pembebasan lahan itu ranah pemerintah. Kalau kami hanya membangun lahan yang sudah ada,” ungkapnya.

Berdasar informasi di lapangan, kesepakata­n pembebasan lahan tak kunjung tercapai karena penawaran pemerintah dinilai warga terlalu murah. Tim penilai ( appraisal) tanah menetapkan harga Rp 141 ribu sampai Rp 308 ribu per meter persegi untuk bidang tanah, rumah, maupun sawah. ”Namun, warga meminta lima hingga tujuh kali lipat dari harga yang ditawarkan,” kata Wiwiek yang mengaku menganggar­kan dana Rp 3,7 triliun untuk proyek Joker.

Jika Joker terhambat karena lambatnya pemerintah membebaska­n lahan, proyek Jembatan Mahakam Kota (Mahkota) II, Kalimantan Timur, mandek gara-gara minimnya dukungan pemerintah dalam kucuran dana. Akibatnya, sudah 12 tahun sejak dicanangka­n, Mahkota II yang telah menelan dana Rp 568,3 miliar tak kunjung rampung. Kurun waktu itu hampir menyamai tiga periode kepemimpin­an gubernur Kaltim.

Wakil Wali Kota Samarinda Nusyir wan Ismail mengeluhka­n perhatian pusat yang setengah hati. Padahal, Mahkota II merupakan inisiatif Kementeria­n Pekerjaan Umum yang digagas bersamaan dengan pembanguna­n Jembatan Suramadu. ”Tapi nyatanya, perhatian berhenti saat awal dimulai,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPRD Samarinda Mursyid Abdurrasyi­d mengatakan, meski dukungan pemerintah pusat minim, setiap tahun anggaran selalu ada alokasi dana untuk jembatan yang dibangun sejak 2003 itu. Terlebih, jembatan sepanjang 1,3 kilometer tersebut sangat dibutuhkan Samarinda sebagai ibu kota Provinsi Kaltim.

Bukan hanya Jembatan Mahkota II, Kaltim pun dibebani proyek Bandara Samarinda Baru (BSB) yang juga mangkrak. Padahal, pembanguna­n BSB sudah dimulai saat H M. Ardans memimpin Kaltim 20 tahun silam. Dalam kurun waktu tersebut, Kaltim telah berganti empat gubernur.

Selain kecilnya kucuran dana dari APBN, adu gengsi antara Kota Samarinda dan Kutai Kartanegar­a (Kukar) yang berebut agar daerah mereka dibangunka­n bandara turut menjadi penyebab mandeknya pembanguna­n. Apalagi, proyek itu pun sempat berurusan dengan proses hukum.

BSB memulai konstruksi pada 2005 dengan rencana gedung terminal penumpang seluas 16.468 meter persegi. Jika jadi, bandara itu ditargetka­n bisa menampung 5 juta penumpang. Bandara di utara Samarinda tersebut juga bisa memenuhi aktivitas pesawat Boeing lantaran dilengkapi fasilitas landasan pacu 2.250 meter dengan lebar 45 meter. Kini semua rencana indah itu masih tertuang di atas kertas. ”Kami minta semua pihak tidak hanya semangat menganggar­kan, namun juga semangat menyelesai­kan,” tutur Mursyid. (owi/ken/ lus /mir/riil/JPG/c11/c9/kim)

 ?? TAUFAN/KALTIM POS/JPG ?? TAK KUNJUNG MENYAMBUNG: Jembatan Mahakam Kota (Mahkota) II, Kaltim, yang dibangun sejak 2003 sampai kini tak kunjung selesai gara-gara minimnya dukungan pendanaan.
TAUFAN/KALTIM POS/JPG TAK KUNJUNG MENYAMBUNG: Jembatan Mahakam Kota (Mahkota) II, Kaltim, yang dibangun sejak 2003 sampai kini tak kunjung selesai gara-gara minimnya dukungan pendanaan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia