Di Sinilah ’’Merdeka atau Mati’’ Kali Pertama Diteriakkan
Mengunjungi Richmond, Mampir ke Gereja St. John’s yang Bersejarah
Pekikan ’’Merdeka atau Mati’’ merupakan salah satu yang paling menggetarkan dalam sejarah Indonesia. Ternyata, kalimat itu kali pertama diucapkan pada 1775 di sebuah gereja di Richmond.
RICHMOND, ibu kota Negara Bagian Virginia di Amerika Serikat, bukanlah kota yang besar. Penduduknya ’’hanya’’ sekitar 215 ribu orang. Kalau menghitung kawasan metropolitannya, baru angkanya mencapai 1,2 juta orang
Pada 20–27 September lalu, kota itu menjadi sorotan dunia olahraga, menjadi tuan rumah kejuaraan dunia balap sepeda.
Tidak tanggung-tanggung, penyelenggara menyebut lebih dari 645 ribu orang datang menyaksikan event tersebut. Tiga kali lipat jumlah penduduk kota!
Dengan menjadi tuan rumah, Richmond ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kota itu bukan sekadar kota sejarah. Bahwa Richmond siap menjadi ”kota dunia”.
Antara 24–27 September itu, penulis berada di Richmond untuk menyaksikan dan meliput kejuaraan dunia. Sekaligus berwisata sepeda, menjajal rute lomba plus merasakan jalur khusus sepeda yang memanjang dari Richmond ke arah timur, ke arah lautan Atlantik.
Misalnya, Virginia Capital Trail, ”jalan tol” khusus sepeda yang memanjang lebih dari 80 km dari Richmond menuju Williamsburg. Melewati pula Jamestown, kota yang terkenal lewat kisah Pocahontas.
Dan tentu saja, ikut mengunjungi situs-situs wisata yang ada di Richmond, kota yang memang punya sejarah sangat panjang di Amerika. Khususnya dalam perang kemerdekaan pada akhir 1700-an dan perang sipil akhir 1800-an.
Ada gedung-gedung menarik untuk jadi background foto di Richmond. Misalnya, State Capitol (Kantor Gubernur) di pusat kota. Tapi, yang paling seru ada di sisi timur kota, di kawasan kota lama.
Sisa-sisa pabrik rokok masih berdiri di Richmond. Dulu, Richmond memang hidup dan besar dari industri rokok.
Kota lama itu berposisi agak tinggi. Jadi, dari sana bisa melihat pemandangan downtown baru Richmond, atau James River (sungai). Ada Museum Edgar Allan Poe, mengenang sang penyair kondang yang pernah tinggal di Richmond.
Dan yang paling penting atau signifikan: Gereja St. John’s. Lokasinya ada di Church Hill (bukit gereja), di East Broad Street. Bagi penonton kejuaraan dunia, lokasi itu sangat praktis untuk dikunjungi. Sebab, berada di antara dua tanjakan berbatu yang paling menentukan dalam lomba, paling menarik untuk ditonton langsung. Yaitu, Libby Hill dan 23rd Street. Kalau mau pindah menonton, bisa melewati Gereja St. John’s.
Mengapa paling signifikan? Pertama, gereja episcopal itu merupakan yang tertua di Richmond. Sudah berusia 274 tahun (didirikan pada 1741). Kedua, gereja tersebut merupakan salah satu tonggak penting kemerdekaan Amerika Serikat (AS), yang kemudian menjadi inspirasi kemerdekaan negara-negara lain. Termasuk mungkin Indonesia.
Di gereja itulah, pada 1775 alias 240 tahun lalu, kalimat ”Merdeka atau Mati” kali pertama dipekikkan.
Lebih tepatnya dalam bahasa Inggris waktu itu: ” Give me Liberty or Give me Death”.
Kalimat tersebut merupakan bagian dari orasi/argumentasi panjang yang disampaikan Patrick Henry, seorang politikus era tersebut.
Waktu itu, 23 Maret 1775, pertemuan super- penting diselenggarakan di Gereja St. John’s (Virginia Convention). Yang hadir? Lebih dari 100 pimpinan koloni di Virginia kala itu. Selain Henry, ada calon presiden pertama Amerika, George Washington. Ada pula namanama besar sejarah Amerika: Thomas Jefferson, Richard Henry Lee, dan Peyton Randolph.
Pertemuan tersebut adalah pertemuan ilegal kala itu, diselenggarakan di Richmond supaya jauh dari para petinggi dari Kerajaan Inggris, yang ada di Williamsburg (kawasan Williamsburg dan Jamestown merupakan kawasan koloni Inggris pertama di Amerika).
Pertemuan itu harus memutuskan, apakah Virginia akan menyatakan perang melawan Inggris untuk meraih kemerdekaan (American Revolution).
Orasi Patrick Henry waktu itu mampu mengayunkan momentum. Koloni-koloni akhirnya bersatu, mayoritas akhirnya sepakat untuk mengirim pasukan melawan Inggris. Pada bulan berikutnya, perang dimulai di Lexington dan Concord.
Pada 1776, Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika ditulis Thomas Jefferson. Henry sendiri menjadi gubernur pertama di Virginia.
*** Penulis, bersama rekan-rekan cycling dari Indonesia, mengunjungi Gereja St. John’s di tengah-tengah lomba utama kejuaraan dunia, kelas Men Elite, Minggu 27 September lalu.
Datang pukul 11.30-an, kami masuk ke halaman gereja, yang merupakan pemakaman umum pertama di Richmond. Banyak tokoh sejarah Amerika dimakamkan di sana. Misalnya, George Wythe, salah seorang yang ikut menandatangani deklarasi kemerdekaan Amerika. Juga, Elizabeth Arnold Poe, ibu penyair/penulis Edgar Allan Poe.
Pintu gereja saat itu tertutup rapat. Duduk di sebuah bangku di depan, Ray Baird, aktor/ guide yang berdandan gaya era kolonial. Dengan sopan, dia bilang sedang berlangsung doa di dalam. Kami diminta kembali setelah tengah hari. Setelah itu, dia akan mengajak kami ke dalam.
Beberapa pengunjung lain juga diberi tahu sama. Maka, kami pun jalan ke 23rd Street untuk nonton lomba, dan berencana kembali pukul 12.30.
Ketika kembali, pintu gereja sudah terbuka. Dengan penuh antusias, Baird menyambut kami kembali. Mempersilakan kami masuk ke dalam.
Begitu masuk, kami berjalan ke isle (lorong) sisi kiri. Di ujung depannya ada plakat tentang ” Liberty or Death” dan Patrick Henry. Di situlah Henry berdiri saat berorasi pada 1775.
Di sana, kami juga bertemu dengan Sarah F. Whiting, executive director St. John’s Church Foundation (yayasan). Penasaran melihat kami datang berbaju batik, dia bertanya kami dari mana. Kami jawab dari Indonesia, dan dia jadi bersemangat.
Menurut Whiting, sekitar 40 ribu turis mengunjungi Gereja St. John’s setiap tahunnya. Pihaknya juga banyak melakukan program kunjungan sekolah, dan para pelajar diberi suguhan suasana semirip mungkin dengan suasana 1775 lalu.
”Ada 20 aktor berdandan kolonial, lalu merekayasa ulang peristiwa bersejarah itu,” ungkap Whiting. ”Karena kami mendapat dana dari pemerintah, siswa-siswa itu bisa berkunjung dengan gratis,” tambahnya.
Kami pun mendapat suguhan performa Baird menirukan orasi Henry. Duduk di baris terdepan, Baird meminta kami untuk ikut berkonsentrasi. ”Anda harus membantu saya merasakan atmosfer waktu itu. Henry telah berbicara 20–30 menit, dan saya akan mengutip bagian akhir pidatonya,” tuturnya.
Dengan lantang dan gaya full action, Baird pun berakting ala Henry. Dan menutupnya dengan kalimat terpenting itu:
”Is life so dear, or peace so sweet, as to be purchased at the price of chains and slavery? Forbid it, Almighty God! I know not what course others may take; but as for me, give me liberty, or give me death!” Bahasa Indonesianya kira-kira begini: ”Apakah hidup ini begitu disayangkan, atau kedamaian begitu manis, sehingga harus rela dibayar dengan belenggu rantai dan perbudakan? Jangan biarkan itu terjadi, Tuhanku yang Mahakuasa! Saya tak tahu orang lain akan mengambil langkah apa. Tapi, bagi saya, berilah saya kemerdekaan, atau biarkan saya mati!”
Saat mengucapkan bait penutup, Baird mengepalkan tangan kanannya tinggi ke atas, lalu memukulkannya ke dada. Baird menjelaskan, Henry waktu itu memegang sebuah pembuka amplop (seperti pisau) yang terbuat dari gading. Jadi seolah-olah menusukkan pisau ke dada sendiri.
Ditirukan oleh Baird, pidato itu memang cukup menggetarkan. Sulit dibayangkan seperti apa suasananya pada 1775 lalu, saat situasi sedang kritis. Baird bercerita, begitu Henry selesai berorasi, semua yang duduk di gereja langsung terhenyak diam…
Tulisan ” Give me Liberty or Give me Death” itu kemudian banyak disingkat menjadi ” Liberty or Death” alias ”Merdeka atau Mati”.
Di luar gereja, ada bangunan lagi yang merupakan gift shop, tempat pengunjung bisa membeli berbagai macam suvenir.
Yang paling banyak dipajang adalah kaus: Kaus polos berbagai warna dengan tulisan ” Got Liberty?” (Sudahkah Anda Merdeka?).
Tentu saja, ada pula kaus bergambar Henry, uniknya sedang naik sepeda, dan dengan tulisan ” Liberty or Death”.
Sebelum kami pergi, Whiting sempat meminta kami untuk memberikan testimoni via video. Dia sedang membuat video kompilasi respons pengunjung tentang Gereja St. John’s. Dan karena kami dari Indonesia, dan ucapan ”Merdeka atau Mati” juga dipakai di Indonesia, dia ingin penulis meneriakkannya dalam bahasa Indonesia.
Di ujung testimoni, penulis pun berteriak ”Merdeka!”
Kami pun mengucapkan terima kasih, lalu berjalan ke luar. Kembali ke hiruk pikuk di sekeliling gereja, bergabung dengan ribuan penggemar balap sepeda, menyaksikan bagian akhir lomba yang mendebarkan… (*)