Jawab Hakim, Kades Baca Kerpekan
Duit Pasir Masuk Kantong DPRD sampai Kotak Amal Masjid
SURABAYA – Pengusutan kasus pembunuhan Salim Kancil, warga yang menolak penambangan pasir liar di Desa Selok AwarAwar, Lumajang, membuka kotak pandora. Daftar yang berisi nama-nama oknum polisi dan pihak yang menikmati fulus dari bisnis pasir ilegal Kepala Desa Selok Awar-Awar Hariyono terungkap kemarin (12/10).
Hariyono menyebut nama para petugas itu di depan majelis hakim sidang disiplin terhadap tiga anggota Polsek Pasirian di Mapolda Jatim kemarin. Mereka adalah mantan Kapolsek Pasirian AKP Sudarminto, Kanitreskrim Polsek Pasirian Ipda Samsul Hadi, dan anggota babinkamtibmas Aipda Sigit Purnomo
Status Hariyono dalam sidang itu adalah saksi. Dia bersama dua tersangka lain pembunuhan Salim Kancil, yakni Kaur Pembangunan Desa Selok Awar-Awar Eko Adi Sumardianto dan pengurus alat berat di tambang Pantai Watu Pecak Harmoko.
Sebelum memberikan keterangan dalam sidang yang dimulai pukul 10.00 itu, Hariyono mengeluarkan selembar kertas yang diselipkan di saku celananya. Dia meletakkannya di kursi yang diduduki, di antara kedua pahanya. Dia lancar dalam menjawab pertanyaan yang diajukan Wakapolres Lumajang Kompol Iswahab selaku kepala sidang setelah menunduk untuk melihat kertas yang diduga kerpekan itu.
Saat ditanya soal aliran dana, pria yang telah memimpin Desa Selok Awar-Awar selama dua periode tersebut mulai ”menyanyi”. Nama pertama yang dia sebut adalah Sugiantoko, wakil ketua DPRD Kabupaten Lumajang yang berasal dari Partai Gerindra. ”Anggota dewan itu (Sugiantoko, Red) pernah meminjam uang Rp 3 juta. Lalu, saya juga pernah ngasih lagi Rp 1 juta,” ungkapnya.
Hariyono kemudian mengaku juga setor kepada asisten Perhutani Kabupaten Lumajang. Hal itu diperkuat dengan keterangan Eko. Dia menyatakan, ada enam staf Perhutani yang menerima uang tambang, masing-masing Rp 500 ribu.
Hariyono juga mengaku memberikan uang keamanan kepada oknum polisi. ”Saya sendiri yang menyetor ke Mapolsek Pasirian. Uang itu saya berikan secara sukarela, tanpa paksaan dari polisi.”
Selama ini, pihak desa memang sering mendapat bantuan keamanan dari polsek. Dia menganggap jajaran kepolisian dan muspika sebagai mitra desa. Karena itu, memberikan uang bensin maupun keamanan adalah hal wajar.
Hariyono menyatakan memberikan uang kepada Kapolsek dan babinkamtibmas enam kali. Sementara untuk Kanitreskrim, dia menyetor tiga kali. ”Kalau babin, saya kasih pas patroli,” bebernya.
Sejak dibukanya tambang pasir, Hariyono mengaku menghabiskan banyak uang untuk masyarakat desa. Dari jawabannya, dia terkesan menonjolkan dirinya bak pahlawan bagi Desa Selok AwarAwar. ”Dari hasil itu, desa sudah membayar PBB (pajak bumi dan bangunan, Red) masyarakat Rp 63,5 juta,” kilah pria yang meng- gunakan sandal jepit berwarna merah dalam sidang kemarin itu.
Hariyono mengatakan, warga desa yang dipimpinnya kerap mengajukan permintaan, misalnya untuk menyelenggarakan acara hiburan, olahraga, hingga sumbangan untuk kotak amal masjid. ”Nah, lewat uang hasil tambang itu, semua permintaan warga itu dipenuhi,” terangnya. Dengan dibantu Tim 12 (kelompok preman yang selalu mendampinginya), dia sering mengadakan kegiatan seperti karnaval, pergelaran wayang, sepak bola antardesa, lomba Agustusan, hingga kegiatan motocross.
Apakah Hariyono memeras? Dia menuturkan, selama menjalankan aktivitas penambangan, dirinya tidak pernah memaksa truk yang lewat untuk memberikan uang setoran. Dalam sehari, ada 80–100 truk yang lewat di wilayahnya. Satu dump truck kecil membayar Rp 270 ribu. ”Saya tak memaksa. Sebab, sebelumnya sopir truk sudah membuat surat pernyataan keikhlasan ngasih sumbangan,” kelit Hariyono.
Dia juga mencatut dua aktivis antitambang Salim Kancil dan Tosan. Kali pertama proyek tambang digarap, Hariyono yakin pernah memberikan Rp 1 juta kepada Salim Kancil. Dia juga mengaku pernah didatangi Tosan. ”Pagi-pagi dia (Tosan, Red) datang, lalu memeluk dan mencium saya. Katanya mau mendatangkan investor tambak udang,” tutur dia.
Sidang disiplin berlangsung sekitar 1,5 jam. Pada pukul 11.20, pimpinan menskors sidang untuk memberikan kesempatan istirahat, salat, dan makan. Selanjutnya, mereka mengadakan rapat tertutup. Tapi, belum sampai waktu break berakhir, pimpinan sidang mengumumkan bahwa keterangan para tersangka sudah cukup dan agenda pemeriksaan tiga polisi itu ditunda Kamis.
Soal kerpekan yang dibawa Hariyono, Kabidhumas Polda Jatim Kombespol Raden Yuwono Argo mengaku tidak tahu. ”Saya tidak mengikuti jalannya sidang tersebut secara menyeluruh,” ungkapnya.
Argo menegaskan, sidang itu sengaja terbuka agar masyarakat tahu bahwa polisi transparan dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Kabagpenum Divhumas Polri Kombespol Suharsono juga menyebut sidang disiplin yang terbuka itu sebagai bukti transparansi Polri. Dengan begitu, semua pihak bisa memonitor prosesnya. ”Tidak ada yang akan ditutup-tutupi.” (did/gun/idr/c11/kim)