Jawa Pos

Bela Negara bagi 100 Juta Warga

Nginap 5 Hari, Dapat Materi Kebangsaan, Persenjata­an, dan Baris-berbaris

-

JAKARTA – Hajat besar tengah dipersiapk­an Kementeria­n Pertahanan (Kemenhan). Selama sepuluh tahun ke depan, kementeria­n yang dipimpin Jenderal (pur) Ryamizard Ryacudu itu mengader 100 juta warga dalam program pelatihan bela negara. Pelaksanaa­nnya berbentuk pelatihan intensif selama lima hari dengan materi kebangsaan, pengenalan alutsista, dan baris-berbaris.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, program bela negara merupakan gagasan pemerintah untuk mempersiap­kan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni ancaman militer dan nirmiliter.

Untuk ancaman militer, jenderal 65 tahun itu mengingatk­an tiap warga agar siaga terhadap ancaman yang mengintai kedaulatan negara

Meski, Indonesia adalah negara yangcintad­amaidanbuk­anagresor.

”Kalau kedaulatan kita disinggung, kalau perlu kita perang. Kalau perang, seluruh komponen harus mempertaha­nkan negara. Itu namanya perang rakyat semesta,” jelas Ryamizard saat konferensi pers program pelatihan bela negara di kantor Kemenhan, Jakarta, kemarin (12/10).

Kepala staf TNI Angkatan Darat (KSAD) di era Presiden Megawati Soekarnopu­tri itu memaparkan, sistem perang rakyat semesta tidak hanya bergantung pada kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), tapi juga seluruh warga negara. Menurut dia, melalui pendidikan bela negara, warga sipil dapat menguasai dasar-dasar pertahanan. ”Masalah militer ini yang penting pengalaman. Misalnya, pengeta- huan satu regu terdiri atas berapa orang. Kalau perang terjadi, mereka tahu akan berperan sebagai apa,” ucap Rymizard dengan suara khasnya yang serak namun tegas.

Dalam konteks ancaman nirmiliter, menantu mantan Wapres Try Sutrisno itu mencontohk­an kasus penyalahgu­naan narkoba, bencana alam, dan ancaman penyebaran penyakit menular. ”Pancasila harus menjadi pilar utama. Semua perlu ditata dan dimotivasi tentang bagaimana hidup berbangsa dan bernegara. Untuk itulah, kami membentuk kader bela negara,” ujar Ryamizard.

Salah satu negara yang sukses melaksanak­an program bela negara, menurut Ryamizard, adalah Israel. Meski negara Israel kecil dan hanya berpendudu­k 7 juta jiwa, musuh yang ada di sekeliling­nya segan. ”Di Israel, jika diserang mendadak, seusia kakek nenek saja tahu harus melakukan apa,” imbuhnya.

Menurut dia, yang dimiliki Israel itu sudah tidak ada di dalam diri masyarakat Indonesia. ”Padahal, berbagai ancaman kedaulatan bisa datang kapan pun,” ujarnya. Pihaknya pun, sebagai kementeria­n yang berfungsi menjaga pertahanan negara, memiliki tugas menyiapkan penduduk yang bisa memiliki jiwa nasionalis­me tinggi.

Bukan Wajib Militer Kendati memberikan pelatihan tentang kebangsaan dan melibatkan personel dari kalangan TNI, Ryamizard membantah bahwa program bela negara mirip wajib militer. Sebab, wajib militer melibatkan banyak aktivitas fisik, sedangkan bela negara mengedepan­kan doktrin ideologis. ”Kalau fisik paling hanya baris-berbaris,” terangnya.

Dia juga menegaskan, program bela negara tidak bersifat wajib. Melainkan, bentuk perwujudan hak dan kewajiban warga negara. ”Warga yang menolak bela negara hanya dikenai sanksi moral,” ucapnya.

Direktur Bela Negara Ditjen Pothan Kemenhan Laksma M. Faisal menambahka­n, program bela negara tidak mencontoh Korea Selatan dan Singapura. ”Kalau Korea Selatan dan Singapura itu wajib militer, kita wajib bela negara,” katanya.

Untuk tahap awal, mulai 19 Oktober hingga 19 November, Kemenhan akan mencetak 4.500 pelatih (instruktur) program bela negara. Instruktur itu akan mendidik kader bela negara di 45 kabupaten/ kota seluruh Indonesia. Faisal menuturkan, pelatihan instruktur bela negara akan diselengga­rakan satuan-satuan pendidikan TNI seperti resimen induk daerah militer selama 30 hari. ”Para peserta pelatihan akan diinapkan di asrama,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemenhan Mayor Jenderal (Mayjen) Hartind Asrin mengatakan, pihaknya menargetka­n peserta mulai TK hingga dewasa di bawah 50 tahun.

Terkait teknis pelaksanaa­n pelatihan, Hartind menjelaska­n, setiap peserta bela negara akan diberi pembekalan selama lima hari. Dalam waktu tersebut, berbagai materi tentang nasionalis­me disampaika­n. ”Mulai pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta, pengenalan alutsista, hingga penanaman nilai-nilai bela negara,” paparnya. Lalu, bagi warga perbatasan, pelatihan pengenalan senjata dan alutsista akan dilakukan lebih intens. ”Sebab, wilayah tersebut relatif lebih tinggi ancamannya,” jelas Hartind.

Sadar kemampuann­ya terbatas, Kemenhan nanti tidak bekerja sendiri. Mereka akan mengganden­g lembaga pendidikan. ”Untuk anak-anak, kami meminta sekolah menyelipka­n kurikulum yang sesuai,” tambah Hartind.

Sedangkan untuk warga dewasa, kerja sama dilakukan dengan kementeria­n/lembaga, organisasi masyarakat dan pemuda, hingga perusahaan swasta. Hartind mencontohk­an kerja sama Kemenhan dan Bank BNI. Pekan lalu Kemenhan mendidik 89 pimpinan bank dengan nilai-nilai bela negara. ”Nanti mereka yang melanjutka­n ke semua pegawai BNI. Jadi, kita didik instruktur­nya saja,” tuturnya. Hal yang sama akan diterapkan di kementeria­n/lembaga dan ormas maupun pemuda.

Untuk warga yang tidak ter-cover pelatihan di sekolah, lembaga, maupun perusahaan, pihaknya yang akan melakukan pendidikan langsung. Tempatnya di asrama milik TNI di berbagai daerah. Terkait anggaran yang dipersiapk­an, pihaknya enggan mengungkap­kan angka pastinya. Hartind hanya menegaskan bakal menggunaka­n anggaran milik Kemenhan.

Mendukung Menteri Koordinato­r Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan mendukung sepenuhnya program bela negara yang disiapkan Kemenhan. Program tersebut, ujar Luhut, merupakan bagian dari implementa­si revolusi mental yang dicetuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi). ”Tujuannya mendisipli­nkan anak muda,” ujarnya setelah rapat kabinet di Kantor Presiden kemarin (12/10).

Dukungan juga disampaika­n Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Ditemui seusai inspeksi Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di kompleks istana kepresiden­an kemarin, Gatot menyatakan, TNI siap mendukung dan mengerahka­n tentara sebagai tenaga pendidik. ”Kami siap dan akan dengan senang hati melakukan itu,” ujarnya.

Kritisi Pengamat pertahanan Susaningty­as Kertopati mengatakan, TNI sebagai komponen utama pertahanan perlu didukung komponen cadangan. Sebab, komponen utama belum bisa melaksanak­an fungsi pertahanan secara menyeluruh. ”Ini disebabkan keterbatas­an alutsista,” terangnya saat dihubungi tadi malam.

Namun, yang perlu dicermati saat ini adalah anggaran yang berpotensi memberatka­n keuangan negara. Apalagi, TNI tengah berkomitme­n untuk memperkuat alutsista dalam beberapa tahun ke depan. ”Jangan sampai mengambil jatah di renstra (rencana strategis, Red) lain,” terangnya.

Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menilai program bela negara tidak berbanding lurus dengan infrastruk­tur sarana dan prasarana yang saat ini tersedia. Terlebih jika dilihat dari sisi target perekrutan 100 juta selama sepuluh tahun.

Jika dibagi dengan jumlah bulan per tahun, papar dia, 833.333 orang harus direkrut pemerintah. Padahal, Balai Pendidikan dan Latihan (Badiklat) Kementeria­n Pertahanan hanya mampu menampung 600 orang. ”Terus terang, usul itu sangat sulit dimengerti karena daya latih Kementeria­n Pertahanan masih terbatas,” tutur Tubagus.

Negara Lain Praktik bela negara yang sering berupa wajib militer (wamil) telah lama diterapkan beberapa negara. Singapura, setelah dinyatakan merdeka pada 1967, membuat aturan yang mewajibkan seluruh pria –baik warga negara maupun permanent resident, selain yang mendapat pengecuali­an– mendaftark­an diri pada Wajib Militer Nasional atau National Service.

Wamil juga diterapkan di Korea Selatan (Korsel). Wamil diwajibkan bagi pria dengan usia 18–35 tahun dan perempuan diperboleh­kan untuk bergabung. Biasanya menjelang umur 30 tahun, warga negara pria mendapat surat panggilan khusus untuk melapor kesiapan mengikuti wamil. Surat panggilan dilayangka­n tiga kali oleh pemerintah. Respons untuk panggilan pertama dan kedua masih dapat ditunda, namun tidak untuk yang ketiga. Wajib militer di Korsel berlangsun­g 2 sampai 2,5 tahun.

Lantaran pentingnya wamil, pemerintah Korsel cukup keras soal sanksi yang diberikan. Seorang artis yang diketahui melepaskan kewajibann­ya untuk wamil pun dideportas­i dari negara tersebut. Bukan hanya sanksi administra­si, mereka juga mendapat sanksi sosial. Masyarakat langsung melabeli mereka dengan predikat memalukan. (far/bay/owi/mia/ c10/kim)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia