Jawa Pos

Bekerja Siang dan Malam, Pelototi Lebih dari 2 Ribu Foto

Liku-Liku Tim Identifika­si Jenazah PPIH Telusuri Korban Tragedi Mina

- ENDRAYANI DEWI, Makkah

Aturan birokrasi yang berubahuba­h menyulitka­n penelusura­n

dan identifika­si jamaah Indonesia yang menjadi korban tragedi Mina. Pendekatan

kultural jadi kunci untuk mendekati petugas setempat.

TINGGAL di Arab Saudi sejak berusia tujuh tahun, Naif Bajri Basri tak cuma lancar berbahasa Arab. Dia juga tahu luar-dalam kebiasaan atau budaya warga setempat. ”Pak Naif tahu hal-hal yang bisa menyentuh dan mempererat silaturahm­i sehingga petugas Arab Saudi bisa terbuka,” ujar Jaetul Muchlis.

Pengetahua­n itulah yang memang akhirnya banyak menolong kerja tim yang dikomandan­i Jaetul Muchlis: tim identifika­si jenazah korban peristiwa Mina. Di tim tersebut, selain dengan Muchlis, Naif yang berstatus sebagai tenaga musiman bekerja sama dengan Taufik Tjahjadi dan Fadhil Ahmad. Taufik berasal dari Kementeria­n Kesehatan, sedangkan Fadhil dari KJRI Jeddah.

Hasil kerja keras mereka dalam dua pekan, 123 jamaah Indonesia yang menjadi korban tragedi Mina berhasil diidentifi­kasi

Padahal, tantangan yang mereka hadapi sangat berat. Hingga kemarin (12/10), lima jamaah lain masih dicari.

Pada hari nahas 24 September lalu itu, sampai beberapa jam setelah kejadian yang menewaskan ribuan jamaah gara-gara berdesak-desakan dan terinjak-injak tersebut, informasi yang utuh sulit didapatkan.

”Setiap askar (polisi Arab Saudi, Red) yang ditanya di mana terjadinya desak-desakan itu kompak mengaku tidak ada kejadian. Jalan Arab 204 (tempat kejadian perkara/TKP, Red) sudah bersih,” ujar seorang petugas daker Madinah, mengenang peristiwa tersebut.

Tragedi itu memang terjadi pada pukul 08.00 waktu setempat. Tapi, menurut beberapa saksi, hingga pukul 11.00 masih terjadi saling dorong di antara ribuan jamaah dari Afrika, Arab, dan Indonesia.

Menurut kesaksian jamaah di TKP, para korban diletakkan berjajar di Jalan 204 yang hanya selebar 6 meter. Yang tampak meninggal dimasukkan ke kontainer. Sedangkan yang kelihatan masih hidup dibawa dengan ambulans ke rumah sakit. Terakhir, terbuka informasi bahwa ada sembilan kontainer untuk mengangkut korban ke pemulasara­an Al Muaishim.

Karena sulit menelusuri korban di TKP, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang juga amirulhaj langsung membentuk tiga tim khusus. Tim pertama bertugas mendata ulang jamaah yang belum kembali ke rombongan. Tim kedua mencari jejak korban di rumah sakit Arab Saudi. Lalu, tim ketiga yang dipimpin Muchlis ditugaskan untuk lebih awal mengetahui jumlah sebenarnya korban dari Indonesia yang dinyatakan wafat dalam tragedi tersebut sekaligus mengidenti­fikasinya.

”Makanya, akses kami tentunya mungkin agak unik, ke kamar-kamar jenazah ataupun ke penampunga­n pemulasara­an jenazah yang ada di Arab Saudi,” jelas Muchlis.

Sebenarnya anggota tim Muchlis selama ini sudah bertugas sebagai penelusur jamaah yang hilang dan meninggal. Tapi, tugas ketiganya terpisah. ”Dalam bekerja, kami bersamasam­a, ada yang mencatat, ada yang melihat, juga ada yang membongkar arsip dokumen,” terang Taufik, yang juga seorang dokter.

Namun, sampai lebih dari 1x24 jam sejak pe- ristiwa itu, mereka baru mendapat akses di Al Muaishim. Itu pun terbatas untuk melihat, mengamati, danmencerm­atifoto-fotoyangdi­rilis.

Muchlis menyatakan, tidak mudah mendapatka­n izin masuk ke Al Muaishim. Setiap petugas memiliki aturan dan keketatan tersendiri. Bahkan, setiap hari aturan berubah.

Misalnya, hari ini boleh lihat rilis foto dan dokumen, besok belum tentu. Ketat atau tidaknya birokrasi bergantung siapa yang jaga. Terkesan tak ada prosedur tetap dalam penanganan kejadian darurat.

Di situlah peran Naif sangat krusial. Apalagi, dia tipe orang yang tak mudah menyerah. Meski awalnya dia tak kuat berada di dekat jenazah. ”Dengan bahasa Arab saya yang lancar, saya dekati petugas yang baik. Saya ajak ngobrol. Ujung-ujungnya minta izin melihat jenazah,” ujar mukimin 33 tahun yang tidak lancar berbahasa Indonesia itu.

Langkah selanjutny­a adalah membantu pekerjaan orang Arab. Sebab, biasanya mereka langsung ramah terhadap orang yang baru dikenal kalau sudah dibantu.

”Misalnya, kita bantu pekerjaan mereka mengarsipk­an dokumen, dia suka. Ya sudah, kita bisa sekalian ambil data yang kita mau,” tutur Naif, yang sudah tujuh tahun menjadi petugas Panitia Penyelengg­ara Ibadah Haji (PPIH).

Meski demikian, Naif menyatakan bahwa kendala tetap saja ada. Jika sudah begitu, dia berusaha mencari jalan lain. Kalau bertemu dengan petugas yang sulit dimintai tolong, dia akan beralih ke petugas lain. Begitu seterusnya.

”Lazimnya, orang sini harus peluk kiri-kanan, cipika-cipiki. Ya kami lakukan semua itu. Kami perkenalka­n Indonesia sehingga ada komunikasi,” kata Muchlis.

Akhirnya, akses terhadap arsip jenazah diperoleh. Berbeda dengan gedung galeri foto, tempat untuk menyimpan file itu berada di gedung yang sama dengan pemulasara­an jenazah. Persisnya di ruangan yang bersebelah­an.

Dengan bertambahn­ya usia jenazah, otomatis perjuangan tim kian berat. Mereka bekerja di tengah sengatan bau. Tapi, Muchlis dan kawan-kawan tak mempermasa­lahkannya. Yang terpenting, akses ke arsip bisa didapat meskipun harus kucing-kucingan. Maksudnya, karena aturan tiap petugas bisa berbedabed­a, jika ada petugas yang melarang, tim identifika­si memilih menunggu.

”Paling geser aja dulu. Nanti sebentar, yang lain lagi mengajak kami masuk. Walaupun pada akhirnya kami diusir lagi. Itu tidak masalah. Di sini, yang ada cuma satu, yaitu ketidakpas­tian,” ujarnya.

Agar maksimal, para pemburu korban Mina itu harus bekerja siang dan malam. Mereka lebih intens bekerja malam. Sebab, situasi di Saudi lebih hidup saat malam, setelah isya.

Pada pagi dan siang, mereka berempat hanya melihat foto yang dirilis. Baru malam hari mereka mencocokka­n file dengan jenazah. ”Kami harus ekstrahati-hati. Meski sudah ada rilis foto dan dokumen, tidak boleh langsung percaya. Harus dicocokkan langsung dengan jenazah,” tutur Muchlis.

Setelah itu, baru mereka mengonfirm­asi petugas kloter, kerabat yang ikut berhaji, atau temanteman sesama kloter. Hasilnya, paling banyak mereka bisa mengidenti­fikasi 31 korban tragedi Mina dalam semalam. Tapi, pernah juga seharian tak mendapat informasi sama sekali.

Secara keseluruha­n, tim identifika­si harus memelototi lebih dari 2 ribu foto yang dirilis di Al Muaishim. Lalu, mereka mencocokka­nnya dengan arsip milik polisi dengan melihat nomor register.

”Jika file itu mendukung dugaan jenazah berasal dari Indonesia, seperti ada gelang identitas atau ada paspor atau lainnya, baru kami bisa memastikan bahwa itu adalah jenazah jamaah haji Indonesia,” tegasnya.

Jika masih ragu, lanjut Muchlis, tim tersebut masuk ke tahap berikutnya, yaitu melihat langsung jenazah korban sesuai dengan nomor foto yang diperoleh. ”Kami buka file dengan nomor yang sama dengan foto itu. Selanjutny­a, kami meyakinkan dengan melihat jenazah yang ada dalam peti,” tutur Muchlis.

Taufik menyatakan pernah melihat gelang jamaah yang masih melekat di jenazah. Menurut dia, hal itu sangat membantu.

Menurut pria kelahiran Makassar pada 1955 itu, ke depan perlu dipikirkan agar gelang jamaah haji tidak mudah terlepas. Selain itu, nama jamaah haji di gelang perlu ditulis dalam huruf Arab sesuai dengan penulisan identitas jenazah di Arab Saudi.

Gelang yang digunakan jamaah negara lain umumnya tidak mudah hilang. Gelang itu tetap melingkar di tangan korban. Kecuali, tangan korban putus. Indonesia tampaknya perlu membuat gelang identitas seperti itu. (*/c11/ttg)

 ?? NAIF BAJRI BASRI FOR JAWA POS ?? KERJA KERAS: Dari kiri Jaetul Muchlis, Fadhil Ahmad, Taufik Tjahjadi, dan Naif Bajri Basri di depan kontainer jenazah di Al Muaishim.
NAIF BAJRI BASRI FOR JAWA POS KERJA KERAS: Dari kiri Jaetul Muchlis, Fadhil Ahmad, Taufik Tjahjadi, dan Naif Bajri Basri di depan kontainer jenazah di Al Muaishim.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia