Sekolah Aman bagi Anak
KEKERASAN kepada anak di sekolah sesungguhnya bukan fenomena baru. Ada beragam bentuk pelanggaran hak anak, khususnya di sekolah, yang memerlukan perhatian khusus.
Meningkatnya angka kekerasan di sekolah harus mendapat perhatian. Kekerasan kepada anak di sekolah terjadi dalam beragam bentuk. Namun, yang menonjol adalah kekerasan fisik. Kasus guru memukul murid atau sesama murid saling berkelahi, pemerasan, pembunuhan, pemalakan adalah bentuk yang kerap dijumpai di sekolah.
Ironisnya, masih ada pandangan anak laki-laki harus pandai berkelahi atau anak laki-laki harus tahan pukul untuk membenarkan adanya kekerasan. Anak laki-laki yang berani memukul atau melawan temannya adalah pahlawan. Pembentukan karakter dengan kekerasan itu masih terjadi di masyarakat kita hingga hari ini.
Selain kekerasan fisik, ada kekerasan verbal ketika guru memakimaki murid dengan atau tanpa sebab yang jelas. Kekerasan emosional ketika murid dicueki oleh guru. Dan, yang belakangan menyita perhatian banyak pihak adalah kekerasan seksual.
Pemicu kekerasan lainnya adalah sarana dan prasarana sekolah yang tidak aman dan tidak nyaman bagi anak. Lingkungan sekolah sangat mendukung ada tidaknya praktik kekerasan.
Perlindungan anak juga harus menyentuh aspek sarana dan prasarana sekolah sehingga memungkinkan proses pembelajaran dapat berlangsung dengan aman dan nyaman. Jangankan gedung sekolah yang rusak dan nyaris roboh, meja kursi yang runcing di sudut-sudutnya saja sudah harus mendapat perhatian dari sekolah.
Terlalu banyaknya lorong dan ruang gelap di sekolah juga rawan memicu kekerasan. Beberapa sekolah dibangun dengan mengabaikan keselamatan anak, seperti terlalu banyak tangga, naik turun, dan banyak ruang gelap di kawasan sekolah.
Dengan alasan keterbatasan anggaran, banyak sekolah terpaksa menempati gedung tua dan rusak yang jelas-jelas tidak memperhatikan aspek keselamatan anak. Padahal, lingkungan yang pengap dan gelap mudah memicu tekanan psikis penghuninya untuk melakukan kekerasan.
Belum lagi, lemahnya pengawasan informasi yang tidak ramah anak dan dapat memicu kekerasan. Akses informasi ke dunia maya juga mudah sekali menjadi ajang penetrasi kekerasan.
Tidak banyak sekolah membe- rikan perhatian memadai kepada akses informasi bagi muridnya. Di tengah meningkatnya kebutuhan akan informasi yang diakses, terutama dari media elektronik, termasuk internet, yang tampak adalah sikap pragmatis.
Guru tidak pernah mengajari muridnya bagaimana dan di mana mengakses internet dengan benar. Padahal, sebagian fasilitas internet yang tersedia di warung internet tidak ramah anak.
Bilik di warnet yang berada dalam posisi tersembunyi, gelap, dan tanpa pengawasan justru memberikan peluang terjadinya pelecehan kepada anak-anak. Sekolah semestinya harus memastikan warung internet seperti apa yang dikunjungi murid-muridnya dan sebaiknya menugaskan guru untuk me monitor pelayanan yang disediakan.
Selain itu, di tengah meningkatnya kesadaran akan pemenuhan hak anak, kasus-kasus kekerasan kepada anak yang dilaporkan cenderung meningkat. Guru sekarang dituntut memiliki sikap berbeda bila dibandingkan dengan guru-guru satu dua dekade silam.
Meningkatnya kesadaran orang tua dan masyarakat akan perlindungan anak bisa membuat relasi guru dan murid terdampak. Guru tidak dapat semena-mena melakukan kekerasan kepa da muridnya karena bisa menjadi ancaman bagi karir guru bersangkutan. Sudah bukan zamannya lagi guru bersikap temperamental kepada murid.
Bahwa sekarang ada UndangUndang No 23 Tahun 2002 yang direvisi dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak perlu sepenuhnya diketahui guru. Karena itu, sekolah, guru, dan orang tua perlu diajak merumuskan hukuman dan sanksi yang mendidik kepada muridnya.
Apakah sanksi dengan menyuruh murid lari keliling lapangan masih relevan pada zaman sekarang ini? Apakah menyuruh murid menulis seratus kali termasuk mendidik? Semua harus dirumuskan secara seksama dengan melibatkan banyak pihak di sekolah.
Memastikan sekolah mempunyai aturan yang melindungi anak. Dan, sekali lagi, itu harus disepakati bersama seluruh warga sekolah, termasuk orang tua, dan menjadi aturan bersama yang tersosialisasi dengan baik.
Sebab, sangat mungkin terjadi anak terjatuh hingga kepala berdarah karena bermain dengan temannya, gurunyalah yang bakal dilaporkan kepada polisi. Itu terjadi karena sekolah tidak memiliki mekanisme menangani kasus-kasus perlindugan anak.
Kita berharap, pada era kepemimpinan Presiden Jokowi, perlindungan anak menjadi bagian revolusi mental sekolah dan membangun pendidikan. Gerakan yang dimulai di sekolah pasti berdampak besar kepada kehidupan di masyarakatnya.
Karena itu, menciptakan perlindungan anak sekolah memerlukan dukungan dari para pemangku kepentingan, termasuk aparatur terdekat. Misalnya, ketua RT, ketua RW, lurah, kades, babinkamtibmas, dan pihak koramil yang sehari-hari bersinggungan langsung dengan masyarakat. (*)
*) Fasilitator Kabupaten/ Kota Layak Anak Provinsi Jawa Tengah, pengembang sekolah
ramah anak di Semarang.