Aturan Calon Tunggal Belum Final
RANCANGAN peraturan KPU mengenai calon tunggal kemarin (12/10) dibawa ke parlemen. KPU, Bawaslu, dan Mendagri duduk bersama di komisi II untuk memperbaiki rancangan tersebut sebelum disahkan. Yang menjadi sorotan adalah cara mengakomodasi kubu tidak setuju.
Anggota Komisi II Yandri Susanto menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon tunggal harus disikapi dengan hati-hati. Dampaknya akan terasa pada pilkada 2017. ’’Bisa menjadi alasan bagi calon tertentu untuk memborong partai,’’ katanya.
KPU juga belum memberikan ruang bagi kubu yang tidak setuju dengan majunya calon tunggal. ’’Apakah yang tidak setuju itu juga didanai untuk kampanye,’’ ujar politikus PAN itu.
Sementara itu, anggota komisi II dari PDIP Arif Wibowo menilai kubu tidak setuju tidak perlu difasilitasi. Pembuat kebijakan tidak perlu mengurusi orangorang yang tidak menggunakan hak konstitusionalnya. Bagaimanapun, yang berhak berkampanye adalah pasangan calon (paslon). ’’Itu juga memberikan pelajaran bagi partai maupun gabungan partai agar berpikir ulang kalau mau memboikot,’’ ujarnya.
Ketua KPU Husni Kamil Manik menegaskan, pihaknya sudah mendiskusikan fasilitas bagi masyarakat yang tidak setuju dengan calon tersebut. Namun, usulan itu pada akhirnya memang tidak bisa ditampung. Karena itu, pihaknya hanya mengatur secara formal yang bisa difasilitasi berdasar UU.
Dalam aturan calon tunggal, rujukan utamanya adalah putusan MK. ’’Yang kami muat adalah bagaimana calon tunggal ini bisa berkampanye layaknya paslon lebih dari satu,’’ terangnya. Untuk debat, calon tunggal juga tetap harus mendapatkan pembanding dari panelis.
Mengenai legitimasi, Husni menyatakan belum ada aturan baku berapa persen suara minimal untuk melegitimasi kemenangan seseorangdalampemilihan. Bahkan, di dunia internasional pun, belum ada aturannya. ’’Putusan MK juga tidak menyebutkan itu,’’ katanya. MK hanya menyebut calon tunggal menang apabila suara setuju lebih banyak daripada suara tidak setuju.
Mendagri Tjahjo Kumolo sepakat dengan KPU. Masyarakat diberi pilihan melalui kolom setuju dan tidak setuju. ’’Ini sama seperti pemilihan dengan bumbung kosong, namun formatnya berbeda,’’ ujarnya. (byu/c6/ca)