Jawa Pos

Hindari agar Tak Jadi Racun

Menyikapi Fenomena Swamedikas­i Hampir tiap rumah tangga memiliki persediaan obat. Umumnya merupakan obat bebas serta obat yang biasa diresepkan dokter mereka. Namun, langkah itu ternyata tidak disarankan karena bisa berimbas bahaya.

-

PENGGUNAAN secara bebas sebuah obat atau swamedikas­i merupakan langkah yang sering dipilih untuk mengatasi penyakit. Apoteker Angelica Kresnamurt­i MFarm Apt kerap menjumpai hal tersebut. Ketika kurang enak badan, biasanya orang langsung mengonsums­i obat yang tersedia di pasaran. ’’Baru kalau nggak sembuh, ke dokter,’’ papar Angelica.

Perempuan yang akrab disapa Nana tersebut menjelaska­n, umumnya obat distok tanpa tahu kegunaan secara tepat. Pengetahua­n seputar obat amat minim. ’’Misalnya, si A mengalami mual. Lalu, diresepkan obat X kok cocok. Dia akhirnya

obat X,’’ ungkapnya mencontohk­an. Padahal, obat tersebut tidak seyogianya dikonsumsi secara terus-menerus. Apalagi tanpa petunjuk dokter. ’’Biasanya dosis, frekuensi, serta lama penggunaan obat diatur sendiri sesuai ujarnya.

Tingginya angka swamedikas­i tersebut terkuak pada hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Sebanyak 35,2 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan rata-rata tiga jenis obat. Yang kerap disimpan adalah antibiotik, obat keras, serta sisa obat yang diresepkan dokter. Nana menegaskan, di sanalah letak bahaya swamedikas­i.

’’Antibiotik dianggap obat umum yang ringan. Kalau salah takaran, bisa fatal,’’ lanjut alumnus Universita­s Airlangga, Surabaya, tersebut. Risikonya resistensi alias tubuh menjadi kebal terhadap zat antibiotik­a. Selain itu, terlampau sering mengonsums­i obat-obatan bisa mengganggu kinerja ginjal. Zat obat pun terbuang percuma, bahkan menjadi racun bagi tubuh.

Dalam dunia kedokteran, perumusan resep obat memerhatik­an banyak aspek. Yang utama menyesuaik­an dengan gejala klinis saat pencatatan anamnesis (riwayat medis pasien). ’’Bahkan, bila perlu dengan tambahan data laboratori­um,’’ papar dr Bernadette Dian Novita Dewi MSc.

Dosisnya akan disesuaika­n dengan berat badan, usia, dan kondisi fungsi ginjal. Dokter yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Universita­s Airlangga itu menyatakan, sebenarnya tidak semua keluhan harus diatasi dengan obat.

Secara medis, obat herbal, kimia, maupun kombinasi keduanya sejatinya adalah racun. Mengutip penemu ilmu toksologi, Philippus Aureolus T. B. von Hohenheim, pembeda antara racun dan obat adalah takaran yang tepat. ’’Aturan minum dan dosis sudah diteliti. Tidak usah ditambah, dikurangi, atau dicampur sendiri,’’ ucap Dian.

Dian menyebut yang bisa disimpan sebagai persediaan di rumah hanyalah antiseptik dan pengisi kotak P3K alias pertolonga­n pertama pada kecelakaan. Di antaranya kapas bersih, perban gulung, termometer, alkohol 70%, gelas pencuci mata, kasa steril, dan plester. ’’Kalau obat, sebaiknya selalu menggunaka­n petunjuk dokter meski itu obat bebas,’’ ujar Dian. (fam/c19/ayi)

 ?? MODEL: ASTRID LOVIANA-FOTO: GUSLAN GUMILANG/JAWA POS ?? JANGAN DISIMPAN: Konsumsi obat semestinya disesuaika­n dengan diagnosis.
nyetok
feeling,’’
MODEL: ASTRID LOVIANA-FOTO: GUSLAN GUMILANG/JAWA POS JANGAN DISIMPAN: Konsumsi obat semestinya disesuaika­n dengan diagnosis. nyetok feeling,’’

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia