Sindir Amerika dengan Ucapkan Terima Kasih
Puluhan tahun menghadapi sanksi ekonomi membuat Iran gigih belajar. Sektor produksi ditinggikan dan tak mau terbuai kekayaan sumber daya alam. Berikut laporan wartawan Jawa Pos SOFYAN HENDRA dari Teheran, Iran.
DUBAI International Airport, Uni Emirat Arab, hanya berjarak 2 jam penerbangan dari Teheran, Iran. Namun, tak satu pun money changer di bandara itu yang melayani penukaran dari dan ke mata uang Iranian rial (IRR).
’’Maaf, kami tidak menyediakan Iranian rial di sini,’’ kata Omar, staf di Emirates NBD, bank retail ternama di UEA
Pencabutan sanksi PBB atas Iran pada Juli lalu memang belum membuka isolasi sistem keuangan di Negeri Para Mullah itu. Resolusi yang diketuk seiring dengan kesepakatan di Wina, Austria, antara lima anggota Dewan Keamanan PBB plus Jerman (P5+1) tersebut memang mencabut sanksi atas Iran. Namun, ada syaratnya. Yang utama tentu kepatuhan Iran untuk menerima inspeksi program nuklir.
Berikutnya juga bergantung pada negara-negara yang selama ini secara sepihak menjatuhkan sanksi. Misalnya, AS yang menerapkan larangan lembaga keuangan bekerja sama dengan daftar hitam Negeri Paman Sam. Termasuk Iran. Itu menambah tebal tembok pengucil finansial Iran sejak bank sentral mereka diputus dari temali sistem keuangan global.
Namun, negeri yang kini dipimpin Presiden Hassan Rouhani tersebut sudah kenyang pengalaman embargo. Hasilnya, sampai kini perekonomian Iran masih amat tangguh. Dengan kondisi puluhan tahun menghadapi sanksi pasca Revolusi 1979, Bank Dunia mencatat pendapatan per kapita di Iran saat ini di angka USD 5.314. Bandingkan dengan kita yang masih sulit beranjak dari USD 3.491.
Selain karena isolasi ekonomi, Revolusi 11 Februari 1979 yang ditandai penjatuhan takhta Shah Mohammad Reza Pahlavi oleh Imam Ruhollah Khomeini memang mengarahkan ekonomi Iran untuk meninggikan sektor produksi.
Namun, di sisi lain, kendati konsumerisme ala Barat berusaha ditekan, Iran tetap harus menghidupi lebih dari 75 juta penduduknya. Maka, ada begitu banyak makanan dan kebutuhan sehari-hari yang diproduksi sendiri.
Daging, susu, yoghurt, dan keju diolah mandiri. Industri tekstilnya, meski tidak semeriah tetangganya, Turki, juga menggeliat. Dan yang lebih penting tentu adalah industri strategis.
Iran dikenal sebagai negara dengan cadangan gas bumi terbesar di dunia. Angkanya mencapai 1.187,28 TCF (triliun kaki kubik) gas bumi. Itu setara dengan lebih dari 17 persen cadangan gas di planet ini. Jika ditambah dengan cadangan minyak yang sekitar 157 miliar barel atau nomor empat di dunia, Iran memang tidak mungkin tidak diperhitungkan.
Laporan terbaru Dana Moneter International (IMF) bahkan berharap pengenduran sanksi ekonomi atas Iran pasca- deal nuklir bakal mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.
Namun, Iran bukan tipe negara yang terbuai melimpahnya sumber daya alam. Terlebih karena Revolusi 1979 telah membuat perusahaan multinasional hengkang begitu saja dari Iran. General Electric (GE), misalnya.
Padahal, ketika itu banyak pembangkit listrik di sana yang menggunakan komponen dari GE.’’Pilihannya cuma dua. Tinggalkan itu semua atau kita berusaha memperbaiki,’’ kata Mahmood Sepahbodnia, market development manager Mapna Turbine Engineering & Manufacturing Co.
Mapna Group, perusahaan yang kini menjelma menjadi perusahaan penyedia pembangkit listrik terbesar di Timur Tengah, adalah contoh keberhasilan Iran dalam menghadapi kesulitan ekonomi karena embargo. Lahir pada 1993, perusahaan tersebut kini memiliki 41 anak usaha dengan pembangkitan listrik sebagai inti bisnisnya.
Jawa Pos bersama lima jurnalis lain dari Indonesia yang berkunjung ke pabrik Mapna Group pada 13-14 Oktober lalu menyaksikan bagaimana perusahaan itu mampu memproduksi komponen-komponen pembangkit listrik dari hulu sampai hilir. Di Karaj, kota berjarak 40 kilometer dari pusat ibu kota Teheran, Mapna Group memproduksi turbin, generator, boiler, hingga kontrol kelistrikan dalam satu area.
Di produksi turbin, misalnya, para pekerja mencetak dan merangkai satu demi satu sekitar 10 ribu jenis komponen di tiap turbin. Butuh waktu 6 bulan untuk menuntaskan satu unit turbin.
Kebanyakan teknologinya mengadopsi Siemens. Mayoritas insinyur Mapna memang belajar ke perusahaan asal Jerman itu. Dan, alih teknologi tersebut berjalan dengan mulus. Dalam lima tahun terakhir, untuk turbin dan generator, mereka sudah mampu membuat sendiri.
Disiplin kualitas Eropa itulah yang menjadi jaminan perusahaan yang total secara global mengerjakan 64.214 mw proyek listrik tersebut. Mapna mengklaim berada di atas kualitas perusahaan serupa asal Tiongkok dan India. ’’Kami ini kualitas Eropa, harga Asia,’’ ujar Mahmood berpromosi.
Dia mencontohkan proyek life time extension (LTE) pada unit 2,1 dan 2,2 V94.2 turbin gas di PLTG Belawan, Medan, Sumatera Utara. Mahmood menyebut harga di proyek itu lebih murah 30 persen jika dibandingkan dengan penawar lain. Selain Indonesia, Mapna lebih dulu berekspansi ke Oman, Iraq, Aljazair, dan Syria.
Meskipun negerinya punya cadangan gas dan minyak yang amat besar, Mapna Group juga tidak menge- sampingkan pengembangan energi alternatif. Masih dalam satu kompleks industri, diproduksi pula pembangkit listrik tenaga angin.
Secara global, saat ini Mapna telah mampu menguasai 2 persen pangsa industri power. Tentu, itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan General Electric yang menguasai lebih dari 40 persen (angka yang wajar mengingat konsumsi listrik AS yang amat besar). Namun, setidaknya Mapna sudah melampaui Hitachi, Jepang, (1 persen), dan terpaut sedikit dari Solar Turbines, AS (3 persen).
Mahmood menyatakan, sanksi ekonomi yang dilancarkan AS telah membuat negerinya lebih gigih belajar. Di seluruh perusahaan di bawah bendera Mapna Group, misalnya, separo di antara 13.462 pegawainya mengenyam pendidikan sarjana atau lebih tinggi. Sedangkan di Mapna sendiri, 379 di antara 819 pegawai bergelar master atau doktor, 400 sarjana, dan hanya 40 yang berlevel pendidikan di bawahnya.
Dia menambahkan, sanksi ekonomi juga membuat perusahaannya bisa melakukan alih teknologi secara cepat. Sebab, mau tidak mau, mereka dituntut lebih mandiri.
’’Jadi, terima kasih dari kami untuk Amerika!’’ ujar Mahmood setengah menyindir. (*/c5/ttg)