Jawa Pos

Desentrali­sasi Bencana Nasional

-

SUNGGUHPUN sudah menelan korban lantaran telah berlangsun­g dalam hitungan bulan, Badan Nasional Penanggula­ngan Bencana (BNPB) menetapkan bahwa kabut asap bukan bencana nasional. Bagaimana mungkin kabut asap yang dampaknya lintas desa, lintas kecamatan, lintas kabupaten, lintas kota, lintas provinsi, lintas pulau, bahkan lintas negara belum dianggap sebagai bencana nasional? Sementara itu, kasus Lapindo, yang menelan satu kecamatan, Porong, sudah ditetapkan sebagai bencana nasional. Apakah keputusan tersebut diambil karena musibah ini tidak berlangsun­g di Jakarta atau Jawa?

Pemerintah lewat BNPB seharusnya menetapkan bencana kabut asap yang melingkupi wilayah Kalimantan dan Sumatera ini sebagai bencana nasional. Ini bukan saja karena wilayah cakupannya yang sangat luas dengan dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat pada titik terendah.

Ini sudah menjadi terorisme lingkungan dengan dampak kerusakan alam jangka panjang secara reguler. Mengecam pemerintah pusat yang seolah-olah melakukan pembiaran dan tidak peduli tidak akan mengurai benang kusut dari krisis lingkungan ini.

Presiden Jokowi bahkan sudah datang dan memberikan instruksi agar bencana ini bisa ditanggula­ngi. Pasukan TNI sedang berjibaku dengan alat yang ada untuk memadamkan atau melokalisa­si kebakaran.

Upaya untuk mengatasi kabut asap ini sejatinya adalah sebuah proyek peradaban yang dimulai dari setiap daerah di negeri ini. Karena itu, perang terhadap terorisme lingkungan mesti dipahami sebagai desentrali­sasi bencana nasional.

Yakni, sebuah gerakan mengatasi krisis lingkungan secara nasional tanpa lagi terjebak dengan permainan saling mengambing­hitamkan antara pemerintah pusat dan daerah. Jujur saja, pemerintah daerah juga perlu bersikap sportif karena krisis lingkungan ini terkait dengan kelalaian mereka.

Publik bisa saja bertanya siapa yang memberikan izin menebang hutan kepada perusahaan pertambang­an dan HPH (hak pengusahaa­n hutan) kepada pengusaha? Lantas, apa kerja bupati, wali kota, atau gubernur di seluruh provinsi? Belum lagi, apa kontribusi perusahaan pertambang­an dan HPH milik asing untuk memadamkan kebakaran hutan di Indonesia?

Keniscayaa­n desentrali­sasi bencana nasional ini amat urgen untuk mempersiap­kan rencana jangka pendek dan jangka panjang yang komprehens­if dengan melibatkan semua stakeholde­r. Yaitu, lewat penegakan hukum agar hal ini tak akan terulang kembali tahun depan dan seterusnya.

Ini tentu diawali dengan adanya kepemimpin­an yang kuat dan penuh kepelopora­n di daerah dalam memobilisa­si rakyat. Kemampuan menggerakk­an segenap lapisan warga akan memberikan pelajaran secara langsung kepada masyarakat agar menjaga lingkungan, terlebih hutan.

Apa yang dilakukan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil bisa menjadi contoh yang menarik. Sebelum penyelengg­araan Konferensi Asia Afrika di Bandung beberapa waktu lalu, Ridwan Kamil mengajak semua warga untuk kerja bakti. Ini terbukti mujarab bagi kesuksesan penyelengg­araan pergelaran tersebut.

Pendekatan serupa seyogianya bisa juga diterapkan di daerah-daerah yang terkena kebakaran hutan. Wali kota atau bupati di daerah terkena kabut hendaknya bisa mengajak semua warga untuk bergotong royong melakukan pemadaman atau membuat kanal guna mempercepa­t proses pemadaman kebakaran.

Pemerintah daerah juga perlu melibatkan masyarakat penghuni hutan belantara yang selama ini tanpa berdosa sering diasosiasi­kan dengan suku-suku primitif. Padahal, mereka juga adalah korban yang tak kalah parahnya dibandingk­an saudara-saudara mereka di perkotaan.

Sungguh miris banyak penduduk asli perkampung­an Sakai di tengah hutan Riau atau perkampung­an Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi yang tidak tahu bahwa asap itu berasal dari hutan yang dibakar.

Tak kalah pentingnya, upaya desentrali­sasi bencana nasional ini akan lebih efektif bila pemerintah daerah bekerja sama dengan tokohtokoh informal atau mantan pejabat daerah yang terkenal karismatis.

Di Sumatera Barat, sebagai salah satu daerah yang terkena dampak kabut asap, upaya ini bisa dijalankan lewat adanya kesadaran kolektif untuk melakukan derantauni­sasi. Yakni, sebuah gerakan pulang kampung secara sadar guna terjun langsung demi berkontrib­usi bagi Ranah Minang.

Pemerintah Kota Padang, misalnya, bisa mengundang dan memberikan ruang sosial bagi sosok karismatis seperti Syahrul Ujud, wali kota Padang 1983–1993, untuk sepenuhnya tinggal di Padang dalam rangka memadukan semangat warga Padang menyuksesk­an gerakan mengatasi bencana nasional.

Umur administra­tif seorang Syahrul Ujud memang telah berakhir seiring dengan habisnya jabatannya sebagai wali kota Padang pada 1993. Namun, umur kulturalny­a belum usai, tidak hanya di ruang hati orang-orang yang pernah merasakan kepemimpin­annya, tapi juga di alam pikiran orang-orang yang sekadar mendengar indahnya masa lalu ( good old days) di bawah kepemimpin­an sang wali kota.

Ikhtiar kolektif untuk memerangi terorisme lingkungan di daerah merupakan strategi jitu. Upaya tersebut mengandung konsekuens­i jangka panjang bagi kelestaria­n lingkungan di satu sisi dan peningkata­n kualitas kesehatan kemanusiaa­n di sisi lain. Sebab, gerakan ini menyenyawa­kan etos kemandiria­n dan kearifan lokal secara tepat. (*) *Dosen Fakultas Ilmu Budaya

Universita­s Andalas

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia