Turun Paling Dalam, Naik Pelan-Pelan
Indeks Saham Syariah Ikut Terimbas Krisis Finansial Krisis finansial juga berimbas ke indeks saham syariah di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sejak awal tahun hingga kemarin, indeks saham syariah Indonesia (ISSI) melorot lebih dalam jika dibandingkan dengan i
PENGGERAK saham syariah tidak selincah saham konvensional. BEI pun akan me- review komposisinya seiring dengan potensi perubahan rasio utang akibat pelemahan rupiah dan perlambatan ekonomi saat ini. Data BEI mencatat, ISSI yang dihuni 318 saham secara sejak awal tahun sampai dengan penutupan perdagangan kemarin turun 15,23 persen. Pada waktu yang sama, pembandingnya, yaitu IHSG yang berisi 519 saham, tercatat minus 13,77 persen. Sementara itu, Jakarta Islamic Index (JII) yang dihuni 30 saham secara year-to-date anjlok 13,25 persen. Pembandingnya, yaitu indeks LQ45 (45 saham paling likuid), minus 14,30 persen.
Analis PT Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya menyatakan, indeks syariah tidak diperkuat beberapa perusahaan besar dari dua sektor industri yang sejauh ini relatif sebagai penggerak bursa. Terutama saham perusahaan bank konvensional dan perusahaan produk tembakau serta industri ritel yang di dalamnya menjual antara lain minuman beralkohol.
Karena itu, wajar pergerakan indeks saham syariah tidak selincah IHSG dan indeks LQ45. ”Lagi pula, karakteristik sahamsaham syariah itu tidak terlalu fluktuatif. Biasanya, kalau naik bertahap, turun juga begitu. Karena itu, ketika turunnya sudah dalam dan kemudian IHSG bisa rebound tinggi, indeks saham syariah naiknya pelan sehingga tidak bisa secepat saham umumnya,” ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin.
Memang, dari sisi jumlah, saham syariah relatif banyak. Yaitu, mencapai 62 persen dari total 519 emiten di BEI. Namun, jumlah pelaku perdagangan saham khusus syariah masih terbilang sedikit. Dari total sekitar 400 ribu investor saham, baru ada 3.400 investor yang khusus tercatat sebagai investor saham syariah. Jumlah brokernya pun baru delapan perusahaan sekuritas anggota bursa (AB). Jumlahnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan total 115 broker AB.
”Investor yang aware terhadap saham-saham syariah itu memang belum terlalu tinggi. Tapi, memang kenyataannya, saham-saham yang mampu bertahan atau bahkan naik dalam kondisi sekarang itu bukan yang masuk saham syariah,” ujarnya. William menyebutkan, beberapa sektor saham penggerak IHSG yang tidak masuk syariah dan masih menjadi favorit investor, antara lain, bank konvensional, pertambangan, dan infrastruktur. ”Saham infrastruktur setahu saya sedikit sekali yang masuk indeks syariah. Mungkin terkait rasio utangnya,” kata dia.
Praktis, motor penggerak indeks saham syariah saat ini adalah saham dari sektor barang konsumsi ( consumer goods) dan perkebunan. Sebuah saham masuk kategori syariah memang tidak mudah. Sektornya tidak boleh bergerak di industri yang menghasilkan pendapatan dari bunga (riba) dan tidak memproduksi barang yang tidak halal seperti alkohol serta banyak faktor lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI menetapkan, emiten yang sahamnya bisa masuk syariah tidak memiliki nisbah alias utang kepada lembaga keuangan ribawi yang jumlahnya lebih dominan daripada modalnya. Rasio antara utang berbasis bunga (ke perbankan) dan ekuitas tidak boleh lebih dari 82 persen. Rasio utang terhadap total aset juga tidak boleh lebih dari 45 persen. (gen/c22/oki)