Pengusaha Siap Laksanakan, Buruh Siap Demo
KEPUTUSAN pemerintah dalam menetapkan formula upah buruh disambut baik oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Menurut dia, formula yang dirancang pemerintah itu bisa membantu pengusaha untuk menentukan langkah pada tahun berikutnya. Kepastian investasi itulah yang diinginkan pengusaha selama ini.
’’Kalau boleh jujur, masih ada beberapa pengusaha yang tidak puas dengan kebijakan ini. Tetapi, ini adalah pilihan terbaik di antara pilihan terburuk. Setidaknya, pengusaha bisa memprediksi berapa beban upah yang ditanggung tahun depan,’’ ujarnya ke Jawa Pos tadi malam (15/10)
Dia menganggap, konteks upah minimum di Indonesia sudah bergeser dari makna awal. Seharusnya, upah minimum menjadi jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, buruh seakanakan menuntut agar upah minimum berada di standar upah rata-rata.
”Pengusaha pun tahu bahwa upah minimum bukan upah ratarata. Pada 2013 sempat akan dikoreksi pemerintahan SBY. Tetapi, pemerintah daerah masih menggunakan hal itu sebagai komoditas politik,” tegasnya.
Jika formula tidak diterapkan, Hariyadi menyatakan khawatir upah digunakan sebagai alat politik pendongkrak kampanye. Sebab, beberapa daerah juga melaksanakan pemilihan umum serentak dalam waktu dekat. ”Dari pengalaman selama 10 tahun, hampir semua penetapan upah di daerah bermasalah. Memang, idealnya ditetapkan pemerintah pusat.”
Tidak semua pengusaha seoptimistis Haryadi. Kalangan pengusaha alas kaki justru waswas. ”Kalau kondisinya masih seperti tahun ini, tetap buruk, dan ternyata upah harus naik 10 persen misalnya, pasti tidak kuat. Pengusaha bisa tiba-tiba stres. Terpaksa, pabrik kami tutup saja daripada rugi,” ujar Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Wijanarko tadi malam.
Apalagi para pengusaha mempertimbangkan, jika serikat pekerja juga menolak hal itu, akan terjadi tarik ulur lagi dengan pemerintah. ”Lebih baik kita berpikir nasionalis. Kita terima formula pemerintah supaya situasi aman terkendali,” lanjut Eddy.
Buruh Bagaimana respons kelompok pekerja? Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menyatakan sangat kecewa atas keputusan pemerintah. Padahal, pihaknya sudah memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam penanganan upah.
”Mulai paket kebijakan pertama, pemerintah terus membahas bagaimana pengusaha survive. Tetapi, sekarang malah membuat kebijakan yang merugikan buruh. Ini sama sekali menghapus peran dewan pengupahan,” terangnya. Dia pun menegaskan bakal mengumpulkan massa pekerja untuk mengadakan aksi besar-besaran sebagai tanggapan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpandangan berbeda. Menurut dia, boleh-boleh saja pemerintah menetapkan hal tersebut. Namun, kebijakan itu harus diterapkan setelah tidak ada regulasi yang berseberangan.
”Sudah jelas tercantum dalam pasal 89 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003. Upah minimum ditetapkan gubernur dan diusulkan oleh dewan pengupahan, bupati, atau wali kota. Kalau mau terapkan, ubah dulu regulasi tersebut.”
Setelah itu, pemerintah perlu menambahkan unsur indeks risiko pada indikator formula pengupahan. Hal tersebut dinilai perlu untuk menjaga daya beli masyarakat jika terjadi krisis ekonomi seperti tahun ini. ”Selain itu, pemerintah tidak boleh menyamaratakan persentase kenaikan upah. Sebab, pertumbuhan ekonomi dan inflasi di setiap daerah jelas berbeda,” ungkapnya. ”Kalau formulanya begitu, yang untung adalah daerah dengan gaji yang lebih besar,” ujarnya. (owi/dyn/bil/wir/c5/kim)