Ingin Dengar Lagi, ’’Ma, Dicha Mau Sekolah, Dicha Sudah Kuat’’
Untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik, Dicha Larasati harus dibawa ke Jogjakarta. Sang ibu tak punya pilihan selain berniat menjual ginjal untuk menutupi biaya. Anak Derita Hemofilia, sang Ibu Berniat Jual Ginjal
DALAM lima bulan terakhir, Nurlina seperti sudah melihat secercah cahaya di ujung terowongan yang gelap. Sang buah hati yang menderita hemofilia, Dicha Larasati, telah bisa ber sekolah dan bermain bersama te man- temannya.
Kendati masih harus kontrol sebulan sekali, Dicha tak mengalami penu- runan kondisi. Nurlina pun mengaku sempat membatin, ’’Alhamdulillah, Dicha perlahan membaik.’’
Sampai kemudian cahaya tadi seperti lenyap diempas angin. Selasa malam pekan lalu (13/10), perempuan 36 tahun itu seolah dilemparkan kembali ke dalam terowongan. Kondisi sang putri tiba-tiba drop. Bocah perempuan kelahiran 21 Juni 2010 tersebut demam dan muntah darah.
Murid sebuah PAUD di dekat rumahnya di Sraat III, Gunung Samarinda, Balikpapan, Kalimantan Timur, itu pun harus kembali dilarikan ke rumah sakit. Tempat yang rutin menjadi jujukannya sejak pertama dideteksi menderita hemofilia atau kelainan pada darah yang disebabkan kekurangan faktor pembekuan darah pada usia 2 bulan
Hingga saat dibesuk Kaltim Post ( Jawa Pos Group) Selasa (20/10) di Ruang Flamboyan C Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo, Balikpapan, sudah 20 kantong darah golongan B yang masuk ke tubuhnya.
Dalam sehari, Dicha bisa 20–30 kali muntah darah. Karena kondisinya terus memburuk, Nurlina menyebutkan, Dicha harus dibawa kembali ke RSUP Dr Sardjito, Jogjakarta, agar mendapatkan perawatan lebih baik. Di rumah sakit itu pula pada Mei lalu Dicha dirawat selama sekitar sebulan.
Persoalannya, biaya yang dibutuhkan untuk berobat ke sana tidak sedikit. Padahal, Nurlina hanyalah ibu rumah tangga biasa dan kini berstatus single parent pula. Dia berpisah dari suami sekaligus ayah Dicha sejak beberapa bulan lalu.
”Ayah Dicha pergi entah ke mana, tak pernah menengok Dicha lagi,” ungkap Nurlina dengan intonasi tertahan, seperti berupaya keras meredam emosi.
Tapi, Nurlina tak mau menyerah. Karena tak mau merepotkan para dermawan yang selama ini telah banyak membantu, dia mengaku siap menjual ginjal untuk membiayai pengobatan sang putri.
”Apa pun akan saya lakukan untuk anak satu-satunya yang saya miliki. Termasuk menjual ginjal saya,” tuturnya.
Tatapan Nurlina terlihat kosong saat menyatakan kesiapannya melepas ginjal ke pasaran. Dia bukannya tidak sadar kompleksitas atau kontroversi yang bisa muncul karena keputusannya itu.
Dia juga bukannya tidak tahu risiko yang dihadapi orang yang hidup dengan satu ginjal. Tapi, semua itu tak penting kini. Di hadapan bidadari kecilnya yang tergolek tak berdaya, yang membutuhkan penanganan yang lebih baik secepatnya, hanya itulah yang bisa dia lakukan.
Nurlina bahkan tak tahu berapa persisnya rupiah yang dia kehendaki untuk ginjal yang siap dijualnya itu. Bagi dia, yang penting bisa menutupi biaya berobat selama sebulan di Jogjakarta yang diperkirakan menghabiskan Rp 30 juta.
”Bukannya harganya bisa Rp 70 juta sampai Rp 80 juta?” tanya Kaltim Post. Raut Nurlina tak banyak berubah mendengar pertanyaan itu. Tatapannya tetap kosong sambil tangan kanannya terus membelai Dicha yang tidur di sebelahnya.
” Terserahlah, Mas. Yang penting Dicha bisa segera dibawa ke Jogjakarta,” ujarnya.
Sebagian pengobatan Dicha memang di- tanggung BPJS. Namun, ada sejumlah item lain seperti obat tertentu serta transfusi darah yang harus diongkosi sendiri.
Selain ke RSUP Sardjito, alternatif pengobatan Dicha adalah rumah sakit di Penang, Malaysia. Namun, ongkosnya lebih berlipat, hingga Rp 80 juta.
Karena itu, hampir pasti pilihannya adalah kembali ke Jogjakarta. Jika kondisi Dicha membaik beberapa hari ke depan, Nurlina bersama ibu, seorang dokter, dan seorang perawat berencana berangkat ke sana.
Rekomendasi izin terbang dari rumah sakit telah dikeluarkan dokter yang merawat Dicha. ”Saya kasihan kepada Dicha. Saya enggak tega melihatnya. Jika boleh minta, saya saja yang sakit, dia yang sembuh,” katanya berharap.
Dalam hari-hari yang tersisa, Nurlina akan berusaha semampunya mengumpulkan dana. Tentu tak mudah. Sebab, selama hampir 24 jam, tiap hari dalam sepekan terakhir, dia harus menunggui Dicha.
Tapi, sesulit apa pun itu, Nurlina tetap percaya, cahaya di ujung terowongan gelap yang menyanderanya bersama sang putri selama lima tahun ini akan kembali terlihat. Dia yakin, suatu hari sang buah hati akan kembali merengek manja kepadanya seperti sepulang dari Jogjakarta dulu, ”Ma, Dicha mau sekolah. Dicha sudah kuat.” (*/JPG/c5/ttg)