Revolusi Mental dan Bioetika Problem Asap
BADAN Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jumat lalu (30/10) melaporkan, jumlah penduduk yang terpapar asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut serta terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sudah mencapai 529.527 jiwa. Angka itu jelas sangat mencengangkan sepanjang sejarah ISPA di Indonesia.
Kebakaranhutandanlahangambut pada 2015 ini memang benar-benar memprihatinkan. Terlebih, hasil investigasi menemukan bahwa penyebab kebakaran adalah perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hutan dan lahan gambut. Tragisnya lagi, peristiwa itu terjadi saat pemerintah berusaha membangun karakter bangsa melalui revolusi mental.
Berdasar fenomena itu, bisa dibilang implementasi revolusi mental belum ”membumi”.Kendati program yang diusung pemerintahan JokowiJK tersebut selalu digaungkan di depan publik.
Di sekolah, revolusi mental lebih dikembangkan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Belum banyak diupayakan menjadi nilainilai yang dibangun melalui mata pelajaran maupun mata kuliah.
Revolusi mental yang dibentuk melalui nilai-nilai karakter masih bersifat parsial. Bahkan, yang berkaitan dengan etika lingkungan belum menyentuh secara mendasar. Padahal, etika lingkungan sangat penting untuk dipahami oleh semua lapisan masyarakat.
Kita tidak bisa membanggakan diri dan puas terhadap program revolusi mental jika hal mendasar dari program tersebut, yaitu meleburnya nilai-nilai karakter dalam bentuk nilai-nilai etika kehidupan (bioetika), tidak menjadi perilaku hidup sehari-hari.
Karena itu, sikap mental positif yang menjadi dasar berperilaku positif dalam revolusi mental harus dibentuk secara sinergis antara budaya etis, peningkatan pengetahuan, dan sikap untuk menghasilkan perilaku etis.
Membumikan revolusi mental sejatinya membumikan bagian dari etika kehidupan (bioetika). Sebab, dalam bioetika terdapat kaidah etik yang biasa diterapkan di bidang kedokteran dan kesehatan. Tapi, selama ini kaidah itu kurang tersosialisasikan dalam bidang lingkungan, kesejahteraan hewan, bahkan bidang pendidikan etika.
Kehadiran bioetika sebagai kajian interdisipliner yang relatif baru di Indonesia seharusnya dapat diperluas dalam berbagai cakupan kehidupan. Termasuk kajian etika biologi dalam bencana kabut asap sekarang.
Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah membumikan empat kaidah bioetika dalam mendukung revolusi mental. Tujuannya, terciptakelestarian dan keseimbangan lingkungan alam, khususnya hutan di Indonesia.
Secara prinsip, empat kaidah bioetika tersebut telah dilanggar cukup lama oleh para pembuka lahan di kawasan hutan wilayah Sumatera dan Kalimantan. Apa saja empat kaidah bioetika yang dilanggar itu?
Pertama, kaidah otonomi ( autonomy) yang menjelaskan bahwa kebebasan bertindak seseorang dalam mengambilkeputusansesuaidengan rencana yang ditentukan sendiri. Di sinilah letak permasalahannya. Jika dipahami secara negatif, yang terjadi sekarang ini adalah keputusan membakar hutan diambil tanpa sama sekali memikirkan dampak yang bakal terjadi bagi lingkungan dan orang lain.
Kedua, kaidah tindakan berbuat benar ( beneficence). Tindakan berbuat benar yang menjadi moral dan etika masyarakat serta bangsa Indonesia telah dilanggar oleh pelaku pembakaran hutan. Disadari atau tidak, pembakaran hutan dengan alasan perluasan lahan untuk pertanian maupun perusahaan adalah tindakan yang sangat ceroboh, tidak bermoral, dan jauh dari etika lingkungan.
Ketiga, kaidah tindakan yang tidak merugikan ( non-maleficence). Pelaku pembakaran hutan jelas-jelas melanggar kaidah bioetika ketiga. Sebab, akibat tindakan mereka sangat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Ada kerugian fisik dan psikis yang besar sebagai dampak kebakaran hutan. Kerugian fisik berupa kerusakan lingkungan yang ditandai oleh rusaknya ekosistem hutan, hilangnya plasma nutfah serta hewan-hewan endemis kawasan Sumatera dan Kalimantan. Juga menurunnya nilai kesehatan masyarakat akibat terpapar asap.
Terkait dengan kerugian fisik, kita masih ingat kasus hebatnya badai El Nino pada 1998. Ketika itu ada pelepasan emisi karbon ke atmosfer akibat kebakaran hutan dan lahan gambut sebesar 0,8 hingga 2,6 miliar ton.
Kempat, kaidah berbuat adil ( justice). Perilaku oknum pembakar hutan adalah perilaku mementingkan diri sendiri, yang otomatis melanggar kaidah bioetika. Hutan dan seluruh organisme yang hidup di dalamnya memiliki hak untuk hidup, bukan untuk dimusnahkan.
Jika berbuat adil pada alam saja tidak pernah terpikirkan, bagaimana menjadikan etika lingkungan sebagai bagian penting revolusi mental? Maka, yang terjadi adalah perilaku deforestasi dan eksploitasi.
Di sinilah pentingnya bioetika dihadirkan dalam revolusi mental, untuk memberikan pemahaman dan makna edukatif yang tepat kepada masyarakat luas. Itu dilakukan agar implementasi revolusi mental secara nasional dapat memberikan solusi untuk bencana asap di Indonesia. (*)
ATOK MIFTACHUL HUDHA*
* Dosen Pendidikan Biologi dan Tim Peneliti PSLK Universitas
Muhammadiyah Malang