Menunggu Provinsi ”Telok Lemak”
PULUHAN spanduk bertulisan Selamat Datang di Provinsi Madura bertebaran di Kawasan Jembatan Suramadu sisi Madura. Bukan hanya spanduk, sejumlah tokoh masyarakat juga sudah mendeklarasikan pembentukan provinsi urutan telok lemak (tiga puluh lima dalam Bahasa Madura, Red) di Gedung Rato Ebu, Bangkalan, Selasa lalu (10/11) ( Jawa Pos, 11/11/2015).
Alasan yang mengemuka adalah, dengan pemekaran, pusat pemerintahan bisa semakin dekat dan otomatis dapat memberikan perhatian lebih kepada rakyat. Dampaknya, akan muncul daerah perekonomian baru sehingga pembangunan akan semakin merata.
Permasalahannya, seberapa besar peluang Madura menjadi provinsi mandiri jika mengacu ke persyaratan pendirian provinsi baru?
Otonomi daerah sebagai implementasi pemberlakuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan paradigma pengelolaan daerah. Perubahan tersebut berupa peluang kepada daerah-daerah untuk bergabung membentuk provinsi dan kabupaten/kota baru.
Kendati demikian, wacana mengembangkan Madura menjadi sebuah provinsi otonom tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk melakukan pemekaran wilayah, daerah tersebut (sekumpulan kabupaten) harus merujuk pada pasal 5 ayat 4 UU 32/2004.
Dalam perundangan itu dijabarkan, setidaknya ada sembilan syarat teknis daerah jika ingin menerapkan kebijakan pemekaran wilayah, yakni: (1) kemampuan ekonomi, (2) potensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5) kependudukan, (6) luas daerah, (7) pertahanan, (8) keamanan, dan (9) faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Sembilan syarat dalam perundangan tersebut bersifat akumulatif. Artinya, untuk bisa direalisasikan, semua persyaratan harus dipenuhi. Dalam implementasi lebih lanjut, berdasar pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, pembentukan provinsi harus didukung lima kabupaten/kota.
Jika menyimak keberhasilan Banten, Gorontalo, Bangka-Belitung, Maluku Utara, Kepulauan Riau, Irian Jaya Barat, atau Sulawesi Barat menjadi provinsi mandiri, menjadi wajar pula jika masyarakat lokal berusaha mewujudkan ide pembentukan Provinsi Madura.
Aspek utama pembentukan provinsi mandiri adalah terpenuhinya aspek legal prosedur pembentukan provinsi baru. Langkah Madura menjadi provinsi tersendiri akan terealisasi jika masyarakat setempat benar-benar menginginkan berpisah dengan Jatim.
Untuk mewujudkan semua itu, diperlukan tahapan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembentukan Provinsi Madura harus mendapatkan persetujuan dari empat DPRD dan bupati (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) sebagai representasi suara rakyat di Pulau Garam, persetujuan DPRD dan gubernur provinsi induk (Jatim), serta rekomendasi menteri dalam negeri.
Tidak cukup hanya itu, semua potensi, baik lembaga formal (pemerintah dan wakil rakyat daerah) maupun tokoh masyarakat (ulama, tokoh, dan akademisi), harus dikerahkan dalam rangka menyuarakan aspirasi tersebut. Jika langkah tersebut sudah dilakukan, baru usulan pembentukan Provinsi Madura bisa diajukan kepada pemerintah pusat.
Berkaca pada pengalaman pemekaran Provinsi Banten, untuk mendapatkan izin sebuah wilayah menjadi provinsi tersendiri, minimal harus ada peninjauan oleh 10 sampai 12 departemen teknis. Sedangkan dari segi politis oleh Komisi II DPR yang membidangi masalah anggaran. Jika hasil kajian oleh kedua pihak dianggap layak, daerah tersebut layak diresmikan menjadi sebuah provinsi baru.
Aspek lain adalah pembentukan kabupaten/kota baru. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa untuk menjadi sebuah provinsi otonom, Madura harus menambah satu kabupaten/kota baru di luar empat kabupaten yang sudah eksis.
Permasalahannya adalah masih ada tarik-ulur di kalangan masyarakat Madura mengenai pilihan wilayah mana yang paling layak untuk dimekarkan menjadi kabupaten/kota baru. Sementara itu, pihak Pamekasan menilai layak untuk dimekarkan menjadi satu kota lagi (selain Kabupaten Pamekasan).
Sejumlah pihak juga menilai Bangkalan lebih layak dipecah menjadi kota dan kabupaten atau menjadikan Kamal sebagai kabupaten baru. Namun, sebagian juga menilai Kabupaten Sumenep lebih memenuhi syarat untuk dimekarkan, melalui pembentukan satu kabupaten lagi, yakni Kepulauan Sumenep. Pertimbangannya, Sumenep dikenal sebagai daerah terkaya di Madura.
Parameternya adalah memiliki sumber daya alam, baik minyak maupun gas, dan potensi sumber hasil laut melimpah. Selain itu, selama ini Sumenep selalu men- dapatkan dana alokasi umum terbesar daripada tiga kabupaten lain di Madura.
Persoalannya kini, apakah Pemkab Sumenep (baca: Sumenep Daratan) ”ikhlas” jika daerahnya dimekarkan? Perlu diketahui saja bahwa APBD kabupaten itu juga ikut ditunjang dari dana perimbangan migas.
Padahal, sebagian besar lokasi pengeboran migas berada di wilayah Kepulauan Sumenep (Pagerungan, Kangean). Artinya, jika kelak terbentuk Kabupaten Kepulauan Sumenep, niscaya APBD Sumenep ikut menurun karena dana perimbangan migas akan menjadi hak kabupaten baru.
Berkaca pada alternatif tersebut, sejumlah pihak di Madura perlu duduk bersama untuk membicarakan pemekaran kabupaten/ kota dulu. Sekaligus menentukan kabupaten mana yang paling layak dijadikan ibu kota provinsi kelak.
Syaratnya, setiap pihak harus melepaskan egoisme sesaat, khususnya pada besarnya keinginan masingmasing kabupaten untuk menjadi ibu kota. Dengan demikian, tujuan utama pembentukan Provinsi Telok Lemak untuk menyejahterakan masyarakat dan memeratakan pembangunan dapat segera terwujud. (*)
*) Dosen Universitas Bhayangkara Surabaya, mahasiswa S-3 ITS, kelahiran Sampang