Ada Yang 650 Tahun, Ada Yang Bentuk Tutur Tujuh Jam
Beberapa tahun belakangan, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia, Jakarta, aktif mengumpulkan naskah-naskah kuno Nusantara untuk dilestarikan. Titik Kismiyati menjadi salah satu sosok utama dalam menelusuri naskah-naskah kuno itu.
TUMPUKAN kotak tertata di sejumlah sudut di ruang naskah kuno Perpusnas. Di kotak-kotak itulah naskah-naskah kuno koleksi perpustakaan tersebut disimpan.
Untuk sementara waktu, naskahnas kah langka itu belum bisa di nikmati pengunjung. Sebab, naskah tersebut sedang disiapkan untuk dipindahkan. Per 2016 Per- pusnas memang menempati gedung baru di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.
”Di tempat yang baru, naskah kuno itu akan memiliki ruang khusus yang lebih lega dan fasilitas yang lebih baik dalam perawatannya,kata Titik yang bertugas di bagian Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Perpusnas
Sehingga, lanjut dia masyarakat umum yang hendak menikmati karya-karya abad lampau bisa terlayani lebih baik.
Dari ribuan naskah kuno koleksi Perpusnas, sebagian di antaranya merupakan hasil penelusuran yang dilakukan Titik dan timnya tiga tahun belakangan. Kala itu dia masih menjabat kepala Pusat Pengembangan Bahan Koleksi Perpusnas sejak 2012. Baru sejak Januari lalu dia digeser ke jabatan yang sekarang.
Titik menjelaskan, sebuah naskah bisa disebut naskah kuno apabila usianya sudah lebih dari 50 tahun. Rata-rata koleksi yang dimiliki Perpusnas berusia 50–100 tahun. Sebagian kecil lainnya berusia lebih dari itu. Bahkan, ada yang berusia sekitar 650 tahun seperti Negarakertagama karangan Empu Prapanca.
Memperlakukan manuskrip kuno harus ekstrahati-hati. Tangan tidak boleh langsung bersentuhan. Karena itu, Titik menggunakan sarung tangan khusus untuk membuka naskah-naskah tersebut.
Meski tidak memiliki latar belakang sebagai filolog (ahli manuskrip), Titik tetap tertantang untuk belajar mengenai naskah kuno yang merupakan salah satu tanggung jawabnya. ”Meski ada tim yang menelusuri, saya sering kali ikut turun langsung,” ucapnya. Khususnya dalam meyakinkan para pemilik naskah agar mau melepaskan ”harta karun” miliknya.
Bukan pekerjaan mudah mendapatkan naskah kuno. Tantangan pertama adalah mengetahui keberadaan naskah kuno itu sendiri. Untuk keperluan tersebut, dia bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang memang peduli terhadap naskahnaskah kuno.
Dari mereka Titik mendapatkan informasi keberadaan naskah kuno. Setiap kali Titik dan tim hendak mengakuisisi (istilah Titik untuk mendapatkannaskahkunodaripemiliknya), perwakilan komunitas tersebut selalu dilibatkan.
Tantangan kedua adalah mengakuisisi naskah itu dari pemiliknya. Tidak semua pemilik mau naskah miliknya diboyong ke Perpusnas. ”Rata-rata naskah kuno adalah produk budaya yang sudah lekat dengan kehidupan masyarakat setempat,” ujar pustakawan berusia 57 tahun tersebut. Karena itu, di beberapa tempat, melepaskan naskah sama saja seperti melepaskan satu bagian dari budaya asli.
Titik mengaku tidak hafal persis semua naskah kuno yang berhasil didapatkannya. Sebab, dia memang tidak lantas mempelajari isi naskah kuno tersebut. Dia hanya memastikan bahwa naskah-naskah itu merupakan produk literasi Indonesia yang harus dirawat agar tidak sampai hilang.
Titik menerangkan, pengalamannya mengakuisisi naskah bermula di Karangasem, Bali, pada 2012. Kala itu dia bermaksud mengakuisisi naskah kuno milik sebuah keluarga. ”Di Bali itu tabu menjual naskah. Karena itu merupakan warisan leluhur,” ungkapnya. Padahal, si pemilik naskah sebenarnya sedang kesulitan ekonomi.
Lain di Bali, lain pula halnya di Gorontalo. Titik mendapati sebuah naskah yang ditulis budayawan setempat. Gambaran berbagai macam adat dan budaya masyarakat Gorontalo ditulis budayawan tersebut sampai dia meninggal dunia. ”Di naskah itu saya dapati banyak lembaran kosong. Itu sebenarnya disiapkan untuk ditulis, namun ternyata (penulisnya, Red) keburu meninggal,” lanjut perempuan berlatar pendidikan ilmu perpustakaan tersebut.
Titik berhasil mengakuisisi naskah itu dari keluarga sang budayawan. Saat itu keluarganya hendak pindah rumah dan bingung bagaimana membawa serta naskah yang cukup banyak. Naskah tersebut dianggap sebagai peninggalan sang budayawan sehingga tidak mungkin ditinggalkan. Padahal, mereka mengaku kesulitan untuk merawatnya.
”Saat kami bawa, keluarganya menangis. Bagaimanapun, naskah itu sudah seperti pengganti sosok si penulis,” kenang ibu dua putri tersebut. Dia lalu menghela napas sejenak saat mengenang kejadian itu. Tidak lupa, dia memberikan garansi kepada keluarga sang budayawan bahwa mereka bisa melihat naskah itu lagi kapan pun saat berkunjung ke Jakarta.
Di antara sekitar 60 jenis naskah yang ber- hasil didapatkan, Titik mengaku paling terkesan saat mengakuisisi naskah di Karangasem. Pemiliknya sangat enggan melepas, namun di satu sisi sedang memerlukan biaya. ”Akhirnya saya bilang, ’Pak, ini kami hanya menyimpan di Perpustakaan Nasional. Kalau di sini, Bapak akan sulit merawatnya. Bapak sewaktu-waktu masih bisa melihat. Tidak akan kami jual.”
Ada pula kitab ritual milik sebuah keluarga di Cirebon. Ketika kitab hendak diakuisisi, si pemilik berat untuk melepasnya karena kitab itu setiap hari digunakan. Akhirnya Titik mengambil langkah untuk mengalihmediakan kitab tersebut dengan cara menulis ulang.
Naskah kuno pada dasarnya tidak bisa dinilai dengan uang. Meski setiap mengakuisisi naskah kuno Perpusnas selalu memberikan uang pengganti, hal itu tidak berarti nilai naskah tersebut setara dengan uang yang diberikan.
Sebagian masyarakat pemilik naskah kuno memang mengerti betul betapa berharga naskah yang dipegang sehingga mereka pun jual mahal ketika Perpusnas hendak mengakuisisi. Namun, ada pula masyarakat yang mengikhlaskan begitu saja naskah miliknya tanpa menentukan harga.
Kadang ada pemilik naskah yang punya koleksi banyak, bertumpuk-tumpuk, yang meminta seluruh naskah itu dibawa ketika hendak diakuisisi. Baik yang baik maupun yang rusak.
Kemudian, tidak semua naskah yang usianya lebih dari 50 tahun diakuisisi. Salah satu contohnya Alquran. Titik menuturkan, di berbagai daerah banyak Alquran kuno. Hanya yang benar-benar langka yang diakuisisi Perpusnas.
Dengan berbagai pendekatan tersebut, hubungan para pemilik naskah dengan Titik tidak pernah putus. Kadang pemilik naskah malah memberi tahu bahwa mereka mendapat informasi keberadaan naskah kuno.
Saat ini tantangan terbesar melestarikan naskah kuno adalah mengalihmediakan. Pihaknya berupaya agar sebanyak mungkin naskah kuno bisa dialihmediakan dalam bentuk digital. Dengan begitu, siapa pun bisa dengan bebas menikmati semua produk budaya tersebut. Tantangan lain adalah menerjemahkan bahasa aslinya ke bahasa Indonesia. (*/c9/end)